Sabtu, 04 Februari 2012

Kedudukan Penguasa Dalam Syariat

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)
Ulil amri (pemimpin/penguasa) memiliki kedudukan yang tinggi. Mereka menempati martabat yang luhur dan mulia. Syariat menganugerahi mereka berkaitan dengan kekuasaan dan tugas mereka yang memiliki keluhuran. Selain, tentunya terkait tanggung jawabnya yang demikian besar. Karenanya, mereka diberi gelar kedudukan dalam keimamahan yang menggantikan nubuwah dalam menjaga agama dan politik dalam urusan dunia. 
Sesungguhnya, seseorang tidak akan mampu mengendalikan kekuasaan kecuali dengan kekuatan dan keteguhan kepemimpinan. Jika syariat tidak memberikan padanya apa yang terkait tabiat amal, yaitu individu yang menghormati dan mengagungkannya, sungguh akan menjadi batu ujian bagi manusia. Apalagi jika mereka tidak mampu mengendalikannya. Akibatnya akan timbul bencana dan kekacauan di masyarakat umum, lenyaplah berbagai kemaslahatan, timbulnya kerusakan dunia dan telantarnya kehidupan beragama.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait mulianya kedudukan penguasa, di antaranya:
1.    Sesungguhnya Allah l telah memerintahkan untuk taat kepada penguasa diiringkan dengan ketaatan kepada-Nya, ketaatan kepada Rasul-Nya n. Ini menunjukkan luhurnya urusan dan besarnya kekuasaan mereka. Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), serta ulil amri di antara kalian.” (An-Nisa’: 59)
Ketaatan kepada penguasa diwajibkan terhadap semua hamba dengan batasan selama tidak memerintahkan bermaksiat kepada Allah l. Jika penguasa itu memerintahkan kemaksiatan, tidak wajib untuk menaatinya, karena tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq (Allah l).
2.    Syariat mengabarkan bahwa barangsiapa memuliakan penguasa, Allah l akan memuliakannya. Barangsiapa menghinakan/merendahkan penguasa, Allah l akan merendahkan/menghinakannya. Maknanya, sesungguhnya siapa saja yang lancang terhadap penguasa maka dia telah menghinakan penguasa, dalam bentuk perbuatan atau perkataan (pernyataan). Dia telah melampaui hukum-hukum Allah l, melanggar larangan-larangan yang jelek. Dia akan mendapatkan sanksi atas segala perbuatannya tersebut. Allah l akan membalas kehinaan dengan kehinaan. Bahkan, kehinaan yang Allah l timpakan lebih besar dan lebih keras. Pada sebagian lafadz dari hadits Abu Bakrah z disebutkan:
مَنْ أَجَلَّ سُلْطَانَ اللهِ أَجَلَّهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa memuliakan penguasa Allah, Allah akan memuliakannya pada hari kiamat.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, 2/492)
3.    Sesungguhnya penguasa adalah zhillullah (naungan Allah l) di muka bumi. Hadits yang meriwayatkan tentang hal ini banyak dan diriwayatkan dari banyak perawi pula. Yang paling shahih adalah yang diriwayatkan Abu Bakrah z dan lafadz tersebut sebagaimana dalam As-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim t:
السُّلْطَانُ ظِلُّ اللهِ فِي الْأَرْضِ فَمَنْ أَكْرَمَهُ أَكْرَمَهُ اللهُ وَمَنْ أَهَانَهُ أَهَانَهُ اللهُ
“Penguasa itu naungan Allah l di muka bumi. Barangsiapa memuliakannya, Allah l pun memuliakannya. Barangsiapa menghinakannya, Allah l akan menghinakannya pula.”
Pernyataan السُّلْطَانُ ظِلُّ اللهِ ‘penguasa itu naungan Allah l’ mengandung pengertian bahwa dengannya Allah l akan melindungi manusia dari gangguan, sebagaimana naungan adalah pelindung dari gangguan terik matahari. Penyandaran kepada Allah l pada kata zhillullah (ظِلُّ اللهِ), atau pada sebagian lafadz dengan menyebutkan sulthanullah (سُلْطَانُ اللهِ), merupakan bentuk maklumat kepada manusia bahwasanya naungan tersebut tidaklah seperti seluruh naungan yang lain. Itu menunjukkan ketinggian dan kemuliaan naungan tersebut, sekaligus menunjukkan bahwa naungan tersebut memiliki faedah dan manfaat yang besar. Penyandaran (idhafah) kepada Allah l sesungguhnya menunjukkan idhafah tasyrif (penyandaran pemuliaan) sebagaimana pada kata Baitullah (بَيْتُ اللهِ), Ka’batullah (كَعْبَةُ اللهِ), atau yang lainnya. Ini mengandung isyarat akan ketinggian kedudukan penguasa dan kemuliaan keberadaannya.
4.    Syariat melarang seseorang mencela penguasa dan mencegahnya terjatuh dalam perbuatan tersebut. Anas bin Malik z berkata:
نَهَانَا كُبَارَاؤُنَا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ n قَالُوا: لَا تَسُبُّوا أُمَرَاءَكُمْ وَلَا تَغُشُّوهُمْ وَلَا تُبْغِضُوهُمْ، وَاتَّقُوا اللهَ وَاصْبِرُوا فَإِنَّ الْأَمْرَ قَرِيبٌ
“Kalangan tua dari para sahabat Rasulullah n melarang kami (mencela penguasa). Mereka berkata, ‘Janganlah kalian mencela pemerintah kalian, janganlah melakukan tipu daya terhadapnya, jangan pula membencinya. Bertakwalah kalian kepada Allah dan bersabarlah, karena sesungguhnya (keputusan) urusan itu sangat dekat’.” (As-Sunnah, Ibnu Abi ‘Ashim, 2/488)
Juga disebutkan oleh Al-Munawi t dalam Faidhul Qadir (6/499), Allah l telah menjadikan sultan (penguasa) sebagai penolong makhluk-Nya. Oleh karena itu, jagalah kedudukannya dari celaan dan hinaan. Jadikanlah penghormatan kepadanya sebagai sebab terbentangnya naungan Allah l dan bersinambungannya pertolongan (Allah l) terhadap makhluk-Nya. Sungguh, kalangan As-Salaf telah memperingatkan agar tidak mendoakan kejelekan terhadap penguasa, karena bertambahnya kejelekan (pada penguasa) akan menambah bencana (bala) terhadap kaum muslimin.
5.    Badruddin ibnu Jamaah telah menukil dari Ath-Thurthusyi sehubungan dengan firman Allah l:
“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini.” (Al-Baqarah: 251)
Maknanya, seandainya Allah l tidak menegakkan kedudukan penguasa di muka bumi, niscaya yang lemah akan ditindas yang kuat, yang dizalimi akan diadili oleh yang menzaliminya, dan sebagian manusia akan menguasai sebagian yang lain secara zalim. Kemudian Allah l menganugerahkan kepada hamba-hamba-Nya tegaknya penguasa atas mereka dengan firman-Nya:
“Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (Al-Baqarah: 251)
6.    Umat telah bersepakat, sesungguhnya manusia tidaklah akan menegakkan urusan agama dan dunia mereka kecuali dengan adanya keimamahan (pemerintahan). Kalaulah Allah l tidak (menegakkan) kepemimpinan (pemerintahan) niscaya agama akan telantar dan urusan dunia pun rusak.
Pengertian ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Faqih Abu Abdillah Al-Qal’i Asy-Syafi’i dalam kitab Tahdzibu Ar-Riyasah (hlm. 94—95). Beliau t menyebutkan bahwa mengatur urusan agama dan dunia yang dimaksud ini tidak akan membawa hasil (tidak akan bisa terlaksana) kecuali dengan keberadaan imam (penguasa)
7.    Sesungguhnya imamul a’zham adalah orang yang mendapat pahala yang paling utama jika dia bersikap adil. Disebutkan oleh Al-Izz bin Abdis Salam t dalam kitabnya Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam (1/104):
Pahala imamul a’zham lebih utama daripada pahala seorang mufti dan hakim (qadhi), karena kemaslahatan yang dihasilkannya dan kerusakan yang dicegahnya lebih menyeluruh.
Karena, keberadaan mereka akan memberikan kebaikan secara total dan mencegah setiap kerusakan yang menyeluruh. Disebutkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah z, dari Nabi n, beliau n bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ؛ إِمَامٌ عَادِلٌ ….
“Tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah ada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil….” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
8.    Kaum muslimin telah bersepakat bahwa pemerintahan termasuk ketaatan yang paling utama. Sebagaimana dinyatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sesungguhnya pemerintahan termasuk kewajiban agama yang paling agung. (Majmu’ Al-Fatawa, 28/390)
(Diringkas dari Mu’amalatul Hukkam fi Dhau’i Al-Kitab wa As-Sunnah, Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas, hlm. 48—59)
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Arsip Blog