Selasa, 31 Januari 2012

AUDIO Jangan Jadikan Kuburan Sebagai Masjid Ust Abu Ubaidah Yusuf as Sidawi

 
Dari Jundub bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu berkata: “Aku mendengar bahwa lima hari sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللهِ أَنْ يَكُوْنَ لِي مِنْكُمْ خَلِيْلٌ، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدِ اتَّخَذَنِي خَلِيْلاً، كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيْلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلاً، أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ.

‘Sungguh aku menyatakan kesetiaanku kepada Allah dengan menolak bahwa aku mempunyai seorang khalil (kekasih mulia) di antara kamu, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil, seandainya aku menjadikan seorang khalil dari umatku, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai khalil. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai tempat ibadah, tetapi janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu.” (HR. Muslim (no. 532 (23)) bab: An-Nahyu ‘an Binaa-il Masaajid ‘alal Qubuuri wa Ittikhadzis Shuwari fiiha wan Nahyu ‘an Ittikhadzil Qubuuri Masaajid (Larangan Membangun Masjid di Atas Kuburan dan Larangan Membuat Patung-Patung serta Larangan Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

اَللَّهُمَ لاَ تّجْعَلْ قَبْرِيْ وَثَنَا، لَعَنَ اللَّهُ قَوْمًا اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Ya Allah, janganlah Engkau menjadikan kuburanku sebagai berhala (yang disembah). Allah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai temp ibadah” (HR. Ahmad (II/246), al-Humaidi dalam Musnadnya (no.1025) dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’. Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata, “Sanadnya shahih”, Musnad Ahmad (VII/173 no. 73520. Diriwayatkan juga oleh Imam Malik (I/156 no. 85), dari ‘Atha’ bin Yasar secara marfu’. Hadits ini mursal shahih. Lihat Tahdziirus Saajid (hal.25-26)
Simak pembahasan seputar Hadits yang melarang menjadikan kuburan sebagai masjid, makna kalimah menjadikan kuburan sebagai masjid, syubhat seputar maslah ini dan Hikmah dibalik larangan ini. Diambilkan dari kitab Tahdzirussajid Min at Tikhodzil Qubur Masajid karya Syaikh Muhammad Nashiruddin bin Nuh rahimahullah, semoga bermanfaat
 

Leave a Reply

 
 
  1. alfa
    assalamu’alaikum. ‘afwan, link-nya kurang “/” seharusnya “Jangan Jadikan Kuburan Sebagai Masjid Ust Abu Ubaidah Yusuf “″
     
  2. Jazakalloh Khoiron, alhamdulillah sudah kami perbaiki
     

Senin, 30 Januari 2012

AUDIO Kumpulan Khutbah Jumat Masjid Jami’ Al Utsaimin Ponpes Al UKhuwah Sukoharjo Solo (5 Khutbah)

 
Sesungguhnya khutbah Jum’at merupakan kesempatan yang sangat besar untuk berdakwah dan membimbing manusia menuju keridhaan Allah. Hal itu, jika khutbah dimanfaatkan sebaik-baiknya, dengan menyampaikan materi yang dibutuhkan oleh hadirin menyangkut masalah agama mereka, dengan ringkas, tidak panjang lebar, dan dengan cara yang menarik serta tidak membosankan, sebagaimana dicontohkan telah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seorang khathib harus memahami aqidah yang shahihah (benar), sehingga dia tidak sesat dan menyesatkan orang lain. (Seorang khatib seharusnya) memahami fiqih, sehingga mampu membimbing manusia dengan cahaya syari’at menuju jalan yang lurus. (Seorang khatib harus) memperhatikan keadaan masyarakat, kemudian mengingatkan mereka dari penyimpangan-penyimpangan dan mendorong kepada ketaatan.
Seorang khathib sepantasnya juga seorang yang shalih, mengamalkan ilmunya, tidak melanggar larangan, sehingga akan memberikan pengaruh kebaikan kepada para pendengar.

Simak Khutbah Jmat berikut bersama para asatidzah Ponpes Al Ukhuwah Sukoharjo Jawa Tengah, semoga bermanfaat
 

Leave a Reply

 
 

Minggu, 29 Januari 2012

AUDIO Jurus Jitu Mendidik Anak Shalih Ust Abdullah Zaen MA (Plus Khutbah) Jogja

 
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak sholih yang mendo’akan orang tuanya.” (HR. Muslim no. 1631)

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

(Wahai Robb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa) (QS. Al Furqon:74)
Lima Jurus Mendidik Anak
JURUS PERTAMA: MENDIDIK ANAK PERLU ILMU
JURUS KEDUA: MENDIDIK ANAK PERLU KESALIHAN ORANGTUA
JURUS KETIGA: MENDIDIK ANAK PERLU KEIKHLASAN
JURUS KEEMPAT: MENDIDIK ANAK PERLU KESABARAN
JURUS KELIMA: MENDIDIK ANAK PERLU IRINGAN DOA

Makalah Lengkap Word Document .doc    File .pdf
 

Leave a Reply

 
 
  1. January 12, 2012 at 11:14
    Makalah yang bagus…
     

Kelemahan Hadits-hadits yang Menyebutkan Bacaan Basmalah Secara Jahr

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Ulama yang mendalam pengetahuannya terhadap hadits telah bersepakat, tidak ada satu pun hadits (sahih, pen.) yang tegas menyebutkan pembacaan basmalah secara jahr. Demikian pula, tidak diketahui ada salah satu kitab sunan yang masyhur—seperti Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-Nasa’i—yang membawakan periwayatan basmalah secara jahr. Periwayatan yang menyebutkan secara jahr hanya didapatkan dalam hadits-hadits maudhu’ah (palsu) yang diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labi dan Al-Mawardi—dalam Tafsir—dan yang serupa dengan beliau berdua, atau disebutkan di beberapa kitab fuqaha yang tidak membedakan antara riwayat yang palsu dan yang tidak.
Ketika Al-Imam Ad-Daraquthni t datang ke Mesir, beliau pernah diminta mengumpulkan hadits-hadits yang menyebutkan pembacaan basmalah secara jahr. Beliau pun melakukannya. Ketika beliau ditanya, adakah yang sahih dari hadits-hadits tersebut? Beliau menyatakan, “Adapun dari Nabi n, tidak didapatkan, sedangkan atsar dari sahabat Nabi n ada yang sahih dan ada pula yang dhaif (lemah).” (Majmu’ Fatawa, 22/416,417)
Beliau juga berkata, “Sebenarnya, banyak beredar kedustaan dalam hadits-hadits yang menyebutkan pembacaan basmalah secara jahr karena orang-orang Syi’ah berpendapat bacaan basmalah dijahrkan, padahal mereka dikenal oleh kaum muslimin sebagai kelompok yang paling pendusta di antara kelompok-kelompok sempalan dalam Islam. Mereka memalsukan hadits-hadits dan membuat rancu agama mereka dengan hadits-hadits tersebut.
Oleh karena itu, didapatkan ucapan imam Ahlus Sunnah dari penduduk Kufah, seperti Sufyan ats-Tsauri t, yang menyatakan bahwa termasuk sunnah adalah mengusap kedua khuf dan meninggalkan membaca basmalah secara jahr. Sebagian mereka juga menyebutkan bahwa Abu Bakr dan Umar c lebih berhak menjadi khalifah, lebih utama dan lebih mulia daripada para sahabat yang lainnya, dan ucapan-ucapan yang semisalnya, karena hal-hal tersebut—yaitu tidak mau mengusap khuf, membaca basmalah secara jahr, menganggap ada yang lebih berhak menjadi khalifah, lebih utama, dan lebih mulia daripada Abu Bakr dan Umar—merupakan syiar Rafidhah. Ada pula seorang imam mazhab Syafi’i, Abu Ali ibnu Abi Hurairah t, yang meninggalkan jahr ketika membaca basmalah. Ketika ditanya sebabnya, beliau t berkata, “Karena membaca basmalah secara jahr telah menjadi syiar orang-orang yang menyelisihi agama.” (Majmu’ Fatawa, 22/424)
Hadits yang menyebutkan secara tegas bahwa basmalah diucapkan dengan jahr diriwayatkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i dalam Musnad-nya (hadits no. 145), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/233), dan Al-Baihaqi dalam Sunan-nya (2/47), dari jalan Abdullah bin Utsman bin Khutsaim, dari Abu Bakr bin Hafsh bin Umar, dari Anas bin Malik z, bahwasanya Mu’awiyah z pernah mengimami shalat di Madinah dan menjahrkan bacaan Al-Qur’an, membaca basmalah sebelum membaca Al-Fatihah, dan tidak membaca basmalah sebelum surah yang dibaca setelah Al-Fatihah sampai selesai bacaan tersebut. Beliau z tidak bertakbir ketika turun sujud hingga selesai shalat. Setelah mengucapkan salam dari shalatnya, para sahabat Muhajirin yang mendengar hal tersebut menyerunya dari setiap tempat, “Wahai Mu’awiyah, apakah engkau mencuri shalat, ataukah engkau lupa?” Setelah peristiwa itu, bila shalat mengimami manusia, Mu’awiyah z membaca basmalah sebelum surah yang dibaca setelah Ummul Qur’an (Al-Fatihah) dan bertakbir ketika turun sujud.
Hadits yang lain diriwayatkan dari Abdullah bin Utsman bin Khutsaim, dari Ismail bin Ubaid bin Rifa’ah, dari bapaknya, bahwasanya Mu’awiyah z pernah mengimami penduduk Madinah tanpa membaca basmalah dan tanpa bertakbir ketika melakukan gerakan turun dan naik dalam shalat. Beliau ditegur oleh para sahabat Muhajirin dan Anshar, kemudian disebutkanlah hadits yang semakna dengan hadits di atas. (Musnad Al-Imam Asy-Syafi’i no. 146)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan, hadits ini dhaif ditinjau dari beberapa sisi.
1. Riwayat yang sahih dan masyhur menyebutkan secara jelas penyelisihan dari Anas z terhadap riwayat di atas.
2. Poros sanad dalam kedua hadits tadi dari Abdullah bin Utsman bin Khutsaim. Ia dilemahkan sekelompok ahlul hadits. Mereka memandang hadits ini mudhtharib/goncang periwayatannya, baik secara sanad maupun matan. Ini menjelaskan bahwa hadits tersebut ghairu mahfuzh (mungkar).
3. Pada sanadnya tidak ada kesinambungan mendengarnya seorang perawi dari perawi yang lain. Bahkan, dalam sanad itu ada kelemahan dan kegoncangan yang dikhawatirkan menyebabkan inqitha’ (terputusnya sanad), juga jeleknya hafalan perawinya.
4. Anas z tinggal di Bashrah, sedangkan ketika Mu’awiyah z di Madinah, tidak ada seorang ulama ahli sejarah pun yang menyebutkan Anas bersamanya. Bahkan, secara zahir Anas tidak bersama Mu’awiyah.
5. Kalaupun benar terjadi di Madinah dan perawinya adalah Anas z, tentu murid-murid beliau yang terkenal menemani beliau—demikian juga penduduk Madinah—akan meriwayatkan hadits tersebut dari beliau. Akan tetapi, tidak didapatkan salah seorang dari mereka yang meriwayatkan dari Anas, bahkan yang dinukil dari mereka justru sebaliknya.
6. Bila benar Mu’awiyah membaca basmalah dengan jahr, ini menyelisihi kebiasaan beliau yang dikenal oleh penduduk Syam yang menemani beliau, sementara tidak ada seorang pun dari mereka yang menukilkan bahwa Mu’awiyah membaca basmalah dengan jahr. Bahkan, seluruh penduduk Syam, baik pemimpin maupun ulamanya, berpendapat tidak menjahrkan bacaan basmalah. Dalam hal ini Al-Imam Al-Auza’i sendiri—yang dikenal sebagai imam negeri Syam—bermazhab seperti mazhab Al-Imam Malik, yaitu tidak membaca basmalah sama sekali, baik sirr ataupun jahr.
Dengan demikian, orang yang berilmu (para muhaddits) yang melihat beberapa sisi ini akan memastikan bahwa hadits ini batil, tidak ada hakikatnya, atau telah diubah dari yang sebenarnya.
Adapun yang membawakan hadits ini, telah sampai kepadanya (hadits tersebut) dari jalan yang tidak sahih, sehingga menimbulkan cacat berupa terputusnya sanad.
Kalaupun hadits ini selamat, dia tetap syadz (ganjil), karena menyelisihi periwayatan perawi yang banyak dan lebih kokoh (hafalannya) yang meriwayatkan dari Anas z bahkan menyelisihi periwayatan penduduk Madinah serta Syam. (Majmu’ Fatawa, 22/431—433)

Sabtu, 28 Januari 2012

AUDIO Syarah Hadits Perpecahan Umat Ust Abu Ubaidah Yusuf as Sidawi

 
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ  إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لأَمْلأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ 
Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Rabbmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan; sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. Surat Huud 118-119

Hadits dari ‘Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu

افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة فواحدة في الجنة وسبعين في النار, وافترقت النصارى على ثنيتين وسبعين فرقة فإحدى وسبعين في النار و واحدة في الجنة والذي نفس محمد بيده لتفترقن أمتي على ثلاث وسبعين فرقة واحدة في الجنة وسبعين في النار, قيل يا رسول الله من هم؟ قال: هم الجماعة

“Telah berpecah belah umat Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan, satu golongan di Surga dan tujuh puluh golongan di Neraka. Dan telah terpecah belah umat Nashrani menjadi tujuh puluh dua golongan, tujuh puluh satu golongan di Neraka dan satu golongan di Surga. Demi dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, benar-benar akan terpecah belah umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan, satu di Surga dan tujuh puluh dua golongan di Neraka”. Sahabat bertanya:’Siapakah mereka ya Rasulullah?’. Sabdanya:”Mereka adalah Al-Jama’ah” (HR. Ibn Majah; At-Thabari dalam Al-Kabir 18/70; Al-Lalaka’I dalam Syarh I’tiqod Ahlus Sunnah Wal Jama’ah 1/101; Al-Hakim dalam Mustadrak 1/47). Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadis ini shahih dalam shahih Ibnu Majah II:36 nomor 3226 cetakan Maktabut Tarbiyah Al’Arabiy Li Duwalil Khalij, cet: III, tahun 1408 H.

Selengkapnya silahkan simak kajian berikut yang dilaksanakan di Masjid Nurussunnah Tembalang Semarang, semoga bermanfaat
 

Leave a Reply

 
 

Bolehnya Membaca Basmalah Secara Jahr dalam Keadaan Tertentu Karena Maslahat

Samahatusy Syaikh Al-Imam Abdul Aziz bin Baz t berkata, “Riwayat yang menyebutkan basmalah dibaca dengan jahr dibawa kepada (pemahaman) bahwa Nabi n pernah menjahrkan basmalah untuk mengajari orang yang shalat di belakang beliau (para makmum) apabila beliau membacanya (dalam shalat sebelum membaca Alhamdulillah…). Dengan pemahaman seperti ini, terkumpullah hadits-hadits yang ada. Terdapat hadits-hadits shahih yang memperkuat apa yang ditunjukkan oleh hadits Anas z yaitu disyariatkannya membaca basmalah secara sirr.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/296)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Terkadang disyariatkan membaca basmalah dengan jahr karena sebuah maslahat yang besar, seperti pengajaran imam terhadap makmum, atau menjahrkannya dengan ringan untuk melunakkan hati dan mempersatukan kalimat kaum muslimin yang dikhawatirkan mereka akan lari kalau diamalkan sesuatu yang lebih afdhal. Hal ini sebagaimana Nabi n mengurungkan keinginan untuk membangun kembali Baitullah sesuai dengan fondasi Ibrahim q karena kaum Quraisy di Makkah pada waktu itu baru saja meninggalkan masa jahiliah dan masuk Islam. Beliau n mengkhawatirkan mereka dan melihat maslahat yang lebih besar berkenaan dengan persatuan dan keutuhan hati-hati kaum muslimin. Beliau n pun lebih memilih hal tersebut daripada membangun Baitullah di atas fondasi Ibrahim q.
Pernah pula Ibnu Mas’ud z shalat dengan sempurna empat rakaat di belakang Khalifah Utsman bin Affan z dalam keadaan mereka sedang safar. Orang-orang pun mengingkari Ibnu Mas’ud yang mengikuti perbuatan Utsman z, karena seharusnya dia shalat dua rakaat dengan mengqashar. Akan tetapi, beliau n menjawab dan menyatakan, “Perselisihan itu jelek.”
Oleh karena itu, para imam, seperti Al-Imam Ahmad dan lainnya, membolehkan berpindah dari yang afdhal kepada yang tidak afdhal, seperti menjahrkan basmalah dalam suatu keadaan, menyambung shalat witir, atau yang lainnya, untuk menjaga persatuan kaum mukminin, mengajari mereka As-Sunnah, dan yang semisalnya.” (Majmu’ Fatawa, 22/437—438)

Jumat, 27 Januari 2012

Sahkah Khulu’ Tanpa Ganti Rugi?

Sepasang suami istri telah menjalani kehidupan rumah tangga cukup lama. Tiba-tiba, istrinya meminta berpisah dengan alasan dirinya tidak bisa lagi mencintai suaminya. Setelah menjalani proses pembicaraan yang serius, sang suami menerima permintaan sang istri. Keduanya memahami bahwa hal itu adalah peristiwa khulu’. Akan tetapi, tidak ada pembayaran ganti rugi sebagai tebusan dari sang istri hingga sekarang. Peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.
1.     Apakah dari kasus di atas, jatuh hukum khulu’ sebagaimana yang dipahami oleh keduanya, ataukah talak?
2.    Bagaimana bila sang suami merelakan saja tanpa menuntut ganti rugi?
3.    Bolehkah keduanya menjalin hubungan lagi?
4.    Si lelaki sekarang dalam kebingungan yang serius, seakan-akan memikul beban yang berat karena peristiwa tersebut dan menganggap dirinya telah melakukan kesalahan yang fatal. Apa yang harus diperbuatnya?


Fulan di bumi Allah


Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad as-Sarbini al-Makassari
Berdasarkan kasus yang diuraikan, tampak bagi kami kesimpulan dan jawaban sebagai berikut.
1 & 2. Kasus tersebut tidak jatuh sebagai hukum khulu’ yang berstatus fasakh (pembatalan akad), meskipun keduanya memahami bahwa kasus mereka adalah khulu’ dan sang suami menganggap dirinya telah menjatuhkan khulu’. Hal ini disebabkan tidak adanya pembicaraan ganti rugi sebagai tebusan dari pihak istri atas permintaan khulu’ yang diajukannya, padahal itu adalah salah satu rukun khulu’ yang harus ada dalam kasus khulu’ yang berstatus fasakh (pembatalan akad nikah). Ibnu Taimiyah menukilkan kesepakatan ulama bahwa kasus khulu’ tanpa pembayaran ganti rugi sebagai tebusan dari istri tidak bisa jatuh sebagai fasakh, sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa (32/191, cet. Darul Wafa’). Demikian pula dalam Zadul Ma’ad (5/675—676), Ibnul Qayyim menukilkan dari gurunya (Syaikhul Islam) adanya kesepakatan ulama dalam hal ini dan beliau membenarkannya.
Akan tetapi, apakah kasus tersebut jatuh sebagai talak? Jika yang dimaksud adalah talak ba’in1, maka tidak. Hal ini menurut pendapat yang rajih bahwa seorang istri tidak dibenarkan untuk meminta khulu’ kepada suaminya dengan menceraikannya sebagai talak ba’in tanpa tebusan ganti rugi. Suami juga tidak berwenang untuk menjatuhkan hal itu,2 karena hak raj’ah—hak suami untuk menariknya kembali sebagai istri tanpa akad baru selama dalam masa ‘iddah—yang gugur dengan talak ba’in merupakan hak Allah l yang telah tetap dalam syariat ini dan tidak bisa diganggu gugat. Oleh karena itu, keduanya tidak dibenarkan untuk bersepakat menggugurkan hak tersebut.
Ini adalah salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad dan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, dirajihkan oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (5/675), Asy-Syaukani dalam As-Sailul Jarrar (2/370), dan As-Sa’di dalam Al-Fatawa As-Sa’diyyah (hlm. 389). Ibnu Taimiyah pun mendukungnya dalam Majmu’ Al-Fatawa (32/191). Beliau menyatakan, pendapat inilah yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta mayoritas riwayat yang tsabit (tetap) dari mayoritas sahabat.
Berdasarkan pendapat ini, apabila sang suami menjatuhkan khulu’ dengan menggunakan lafadz-lafadz tertentu (khusus) untuk khulu’, yaitu khulu’ (melepaskan), fasakh (membatalkan akad nikah) atau fida’/iftida’ (menerima tebusan) tanpa disertai niat menalaknya maka tidak ada sesuatu yang terjadi antara keduanya. Keduanya masih sebagai suami-istri.
Apabila sang suami menggunakan lafadz-lafadz khas tersebut atau lafadz lainnya yang merupakan bahasa kiasan untuk talak disertai dengan niat talak maka jatuh sebagai talak raj’i3. Demikian pula, jika menggunakan lafadz talak atau cerai yang jelas dan gamblang untuk talak, maka jatuh sebagai talak raj’i.4
3. Apabila tidak terjadi sesuatu pun dalam kasus ini berdasarkan keterangan di atas, keduanya masih sebagai suami-istri sampai sekarang. Hendaklah keduanya memproses ulang kasus khulu’ yang diinginkan dengan cara syar’i yang terpenuhi rukun-rukunnya, jika memang sang istri tidak bisa lagi mencintai suaminya dan khawatir terjerumus dalam nusyuz (pelanggaran hak suami yang wajib). Hal ini dilakukan dengan cara sebagai berikut.
-    Pembayaran ganti rugi sebagai tebusan dari pihak istri dengan nilai yang disepakati bersama, sebaiknya tidak lebih dari nilai mahar yang pernah diberikan saat pernikahan.
-    Pihak suami menjatuhkan khulu’ dengan salah satu lafadz khulu’ yang khusus atau lafadz lainnya.5
-    Disertai kerelaan masing-masing pihak tanpa ada unsur tekanan dan pemaksaan.6
Dengan demikian, proses khulu’ pun jatuh dengan sah dan benar sebagai fasakh (pembatalan akad). Dengannya, keduanya bukan lagi suami-istri meskipun tanpa diproses di hadapan hakim (melalui Kantor Pengadilan Agama), menurut pendapat yang rajih. Akan tetapi, kami sarankan agar kasus ini diselesaikan secara administrasi pemerintahan di Kantor Pengadilan Agama agar tidak tersandung oleh hal-hal yang membingungkan dan memberatkannya di kemudian hari.
Setelah itu, hendaklah sang wanita menjalani masa ‘iddah (penantian) hingga haid satu kali dalam rangka pembebasan rahim dari bibit yang mungkin telah ada akibat hubungan suami-istri. Setelah masa ‘iddah itu selesai, sang wanita halal untuk menikah dengan laki-laki lain. Akan tetapi, sang lelaki bekas suaminya memiliki hak untuk menikahinya kembali dengan akad yang baru, baik dalam masa ‘iddah maupun setelahnya, jika keduanya ingin bersatu kembali.
Apabila yang terjadi sesuai uraian di atas, kasus tersebut adalah talak raj’i, maka kasusnya telah selesai dengan hukum talak raj’i tersebut. Jika sang lelaki ingin bersatu kembali, dia bisa menarik kembali istrinya sebagai istrinya tanpa akad yang baru, jika masih dalam masa ‘iddah (belum melewati tiga kali haid). Adapun jika masa ‘iddah-nya telah selesai, keduanya bisa bersatu kembali dengan akad nikah yang baru.
4. Yang harus dilakukan adalah bersegera memperjelas kasus yang dialaminya, kemudian menentukan langkah yang tepat berdasarkan bimbingan di atas, agar dirinya menjadi tenang dan bisa mantap melangkah ke depan tanpa beban.
Jika selama ini dia sering mengecewakan istrinya dengan kelalaian dan akhlaknya yang jelek, dia pantas merasa bersalah, lalu bertaubat kepada Allah l atas semua itu. Jika istrinya kecewa kepadanya dan tidak bisa mencintainya lagi karena sesuatu yang sudah ditakdirkan oleh Allah l atas dirinya dan di luar kemampuannya, hendaklah dia bersabar atas takdir Allah l.
Terakhir, kami ingatkan kepada siapa saja yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya untuk bertakwa kepada Allah l dalam urusan-urusan mereka, agar tidak berucap dan bertindak tanpa bimbingan ilmu yang menerangi langkah mereka. Wallahul muwaffiq.

1 Talak ba’in yang dimaksud di sini adalah bainunah shugra’ (perpisahan kecil), yaitu keduanya bukan lagi suami-istri dengan talak itu. Selama masa ‘iddah (penantian) hingga haid satu kali, sang suami tidak lagi memilki hak untuk menariknya kembali menjadi istrinya tanpa akad baru. Sebaliknya, sang istri tidak memilki hak lagi untuk diberi nafkah dan tempat tinggal. Yang dibahas di sini bukan talak ba’in yang merupakan bainunah kubra’ (perpisahan besar) yang terjadi pada talak tiga. –pen.
2 Demikian pula jika disertai tebusan ganti rugi, karena pendapat yang benar adalah bahwa khulu’ semuanya adalah fasakh dengan lafadz apa pun sang suami menjatuhkannya.
Ada pendapat yang mengatakan khulu’ bisa jatuh sebagai fasakh (pembatalan akad) atau sebagai talak ba’in, tergantung lafadz yang digunakan serta niatnya. Akan tetapi, pendapat ini lemah dan yang rajih adalah apa yang kami sebutkan. –pen.
3 Talak raj’i yaitu talak yang selama masa ‘iddah (penantian) hingga haid tiga kali sang suami memiliki hak untuk menariknya kembali menjadi istrinya, tanpa akad yang baru. Sebaliknya, istri memiliki hak untuk diberi nafkah dan tempat tinggal –pen.
4 Yang kami maksud adalah dengan lafadz Arab, atau dengan maknanya dalam bahasa Indonesia, atau bahasa daerah, dan yang mengucapkannya mengerti makna dan maksud dari lafadz yang diucapkannya. Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa (32/191) berkata, “Khulu’ dan talak sah dijatuhkan dengan selain bahasa Arab, menurut kesepakatan ulama.” –pen.
5 Lihat catatan kaki no. 4
6 Hal ini tidak menafikan wewenang hakim untuk mengharuskan pihak suami melepas istrinya pada kasus khulu’, jika sang istri benar-benar tidak bisa lagi hidup bersamanya, menurut pendapat yang rajih.

AUDIO Solidaritas Untuk Dammaj Ust Abu Qotadah Syaikh Aruumi Syaikh Udaini

Blokade dan tembakan sniper masih berlangsung. Pasukan Rafidhah berdatangan dari San’a, Dzammar, Hajjah, ‘Amran, dll untuk membantu saudara mereka (rafidhah) dalam memerangi apa yg mereka sebut sebagai ‘wahhabiyah’ (update 17des11, http://basweidan.wordpress.com/)
Dari Abu Fairuz (dammaj) -semoga Alloh menjaganya- berkata “telah mengabarkan kepada kami dari Abu ‘Ashim (penulis ‘al-Wajiz fit Tauhid’) berkata “Abdurrohman asy-Syaffan yang di kitaf mengabarinya bahwa dalam pertempuran hari ini (Jum’at Malam, 21 Muharram 1433H) di kitaf, rofidhoh mengeluarkan mobil perang yang bersenjata canggih. Maka Alloh mengirimkan meteror dari langit yang menghantamnya sampai hancur” dan Telah mengabarkan kepada kami Muhammad Samidi (mas’ul hirosah) bahwa Abdul ‘Alim ash-Shilwi (mustafid ma’ruf di sini) yang ikut perang di kitaf juga mengabarkan begitu. Kejadian itu terjadi setelah datang malam” (Sabtu, 21 Muharram 1433, http://isnad.net/)
Syaikh Abdurraman Al-’Arumy : Ikhwah telah berhubungan dengan beliau (syaikh Yahya al Hajuuri) dan mendapatkan dari beliau penerimaan dan keterbukaan dan juga pengingkaran terhadap orang yang mencela ikhwah yang telah bersungguh-sungguh dalam membantu saudara-saudara mereka di Dammaj. Syaikh Yahya Al-Hajury telah menerima bantuan dari Palang Merah Internasional -sementara ini adalah organisasi kafir-. Oleh sebab itu kami berharap orang-orang yang berkata : “Jangan ambil bantuan dari hizbiyyin” atau yang semisalnya agar diam. Saudara kita menghadapi kematian, jangan kalian tolak (bantuan tersebut)! Sedangkan saudara-saudara kalian di sana membutuhkannya.(, http://muslim.or.id)

BANTULAH Saudaramu di Dammaj
Bantuan dapat disalurkan melalui: Rekening Bank BNI Syari’ah Yogyakarta, No. Rekening 0105338917
Atas nama: Syarif Mustaqim QQ LBIA
Bagi yang telah menyalurkan donasi mohon mengirimkan sms konfirmasi dengan format:
peduliyaman [spasi] nama [spasi] alamat [spasi] jumlah donasi [spasi] tanggal donasi
Kemudian dikirimkan ke nomor: 0856 4326 6668
LAPORAN TERAKHIR 15/12/11

Simak kajian terakhir seputar Dammaj
Aqidah Syiah dan Bahayanya Ust Abu Qotadah at Tasiky
Bantulah Saudaramu dan Keadaan Terakhir Dammaj Syaikh Aruumi Syaikh Al Udaini hafidzhumahullah
 

Leave a Reply

 
 
assalamu’alaikum
mohon untuk download audio syaikh Al Udaini di perbaiki sebab terputus-putus suaranya.
kalo bisa jangan di convert dngn bit rate kecil seperti itu, ukuran normal saja, takut kualitas suara tidak bagus
jazakallohu khair

Kamis, 26 Januari 2012

Islam, Satu-satunya Agama yang Benar

(ditulis oleh: Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc.)

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah l dan mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Terlebih, nikmat paling besar yang tidak didapatkan oleh setiap orang, bahkan oleh kebanyakan manusia, yaitu nikmat dikaruniai agama Islam. Allah l berfirman:
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103)
Oleh karena itu, marilah kita senantiasa menjaga karunia yang paling besar ini, dengan bersungguh-sungguh dalam berpegang teguh dengan ajarannya. Bukan menjadi orang yang sekadar mengaku beragama Islam namun tidak mau membuktikan keislamannya.
Hadirin rahimakumullah,
Islam adalah agama yang menuntut pemeluknya untuk menyerahkan diri kepada Allah l dan meninggalkan seluruh jenis perbuatan syirik sekaligus orang-orang yang melakukannya. Islam juga agama yang dibangun di atas fondasi dan penopang yang disebut rukun Islam. Nabi n bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ البَيْتِ
“Agama Islam dibangun di atas lima hal: Persaksian bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, serta haji ke Baitullah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada hakikatnya, merupakan kesalahan besar bila ada yang menganggap bahwa seseorang akan tetap di atas keislamannya selama dirinya mengaku muslim dan mengakui kebaikan ajaran Islam, meskipun dirinya di atas akidahnya orang-orang jahiliah, sehingga masih terjatuh pada syirik besar dan tidak mewujudkan dua kalimat syahadat yang merupakan fondasi Islam. Di samping itu, merupakan suatu kebodohan yang nyata bila ada yang menyangka bahwa seorang muslim tidak mungkin akan keluar dari agamanya meskipun dirinya terjatuh dalam perbuatan memperolok-olok ajaran Islam, seperti memperolok-olok disyariatkannya memakai cadar, memelihara jenggot, mengangkat kain di atas mata kaki, dan yang semisalnya. Allah l memperingatkan perbuatan memperolok-olok agama meskipun hanya dengan maksud bersenda-gurau dalam firman-Nya:
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang perbuatan memperolok-olok Nabi n dan sahabatnya), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya, kamu selalu berolok-olok? Tidak ada udzur bagi kalian. Kalian telah kafir sesudah beriman.” (At-Taubah: 65—66)
Oleh karena itu, setiap muslim wajib mengenal agamanya dengan sebenar-benarnya serta mengamalkan ajarannya. Sebab, ketidaktahuannya terhadap ajaran Islam bisa menyebabkan dirinya terjatuh pada perbuatan syirik dan pembatal-pembatal keislaman lainnya.
Hadirin rahimakumullah,
Barang siapa memerhatikan keadaan umat yang tidak mendapatkan hidayah Islam atau tidak menjalankan aturan-aturan Islam dalam kehidupannya baik di masa lampau maupun di masa kini, dia akan mendapatkan keadaan yang penuh ketidakteraturan. Mereka hidup dalam keadaan tidak tenteram dan diliputi rasa khawatir serta saling menyakiti satu sama lain. Hal ini sebagaimana terjadi di masa jahiliah, misalnya, yaitu zaman sebelum diutusnya Nabi n di jazirah Arab. Di masa itu, manusia hidup dalam keadaan diliputi kebodohan, kegelapan, dan kerusakan. Karena kebodohannya, mereka tidak mengenal Rabbnya dan terjatuh pada peribadatan kepada selain Allah l. Di antaranya, mereka berdoa kepada orang yang telah meninggal dunia dengan persangkaan bahwa orang-orang yang telah mati tersebut bisa dijadikan sebagai perantara untuk meminta kepada Allah l dan bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah l. Allah l menyebutkan keadaan orang-orang musyrikin di zaman dahulu ini dalam firman-Nya:
Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az-Zumar: 3)
Begitu pula keadaan orang-orang yang tidak mendapatkan hidayah Islam di masa kini. Mereka terjatuh pada perbuatan syirik dengan berbagai ragamnya, hingga melakukan perbuatan-perbuatan yang menutupi akal mereka, seperti berebut kotoran kerbau atau air comberan untuk mengambil berkah darinya. Mereka juga dipenuhi rasa takut dan saling bermusuhan, sebagaimana yang terjadi di tempat yang masih banyak praktik-praktik sihir dan perdukunan. Begitu pula yang terjadi pada masyarakat yang masih mengeramatkan pohon atau tempat-tempat tertentu.
Adapun orang-orang yang mendapatkan hidayah Islam dan memahaminya dengan sebenar-benarnya, mereka hidup di atas kemuliaan dan kebahagiaan. Mereka menjalani kehidupan dunia ini di atas aturan-aturan hidup yang lengkap, sempurna, penuh dengan keindahan dan kemudahan.
Hadirin rahimakumullah,
Oleh karena itu, di hadapan kita ada jalan menuju kebahagiaan dan jalan menuju surga serta keridhaan Allah l. Di hadapan kita ada jalan yang terang dan jelas dalam mengatur seluruh urusan kita. Namun, mengapa  ada yang tidak bersungguh-sungguh mengikuti ajarannya? Bahkan, ada  kaum muslimin yang justru meninggalkan akidah, prinsip, dan aturan Islam, serta lebih memilih akidah orang-orang musyrikin dan ajaran orang-orang kafir? Tidakkah mereka menginginkan ajaran yang akan membuat ketenteraman dan kebahagiaan serta jauh dari kekhawatiran dan ketidakteraturan? Lebih dari itu, tidakkah mereka menginginkan keselamatan dari siksa api neraka dan merasakan nikmatnya surga? Namun, mengapa ada  kaum muslimin yang justru meninggalkan ajaran agamanya? Mengapa sebagian kaum muslimin lebih bangga ketika bisa berpenampilan dengan model orang Barat? Mengapa pula sebagian wanita muslimah lebih memilih berpenampilan dengan busana orang kafir yang menampakkan auratnya, berpakaian tetapi telanjang, serta meninggalkan busana muslimah yang menjaga kehormatan dan kesuciannya? Tidakkah ajaran Islam adalah ajaran yang indah dan mulia, sedangkan yang menyelisihinya adalah ajaran yang hina dan rendah?
Hadirin rahimakumullah,
Apa pun sikap seseorang terhadap ajaran Islam, kerugiannya akan kembali pada dirinya sendiri. Orang-orang yang berpegang teguh di atas ajaran Islam dengan sebenar-benarnya akan terus ada, dengan kehendak dan pertolongan Allah l. Allah l berfirman:
“Dan jika kalian berpaling niscaya Dia akan mengganti (kalian) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kalian.” (Muhammad: 38)
Hadirin rahimakumullah,
Marilah kita bersungguh-sungguh mewujudkan keislaman kita dan berhati-hati dengan tipudaya musuh-musuh Islam yang ingin mengeluarkan pemeluknya dari ajarannya yang mulia. Allah l berfirman:
“Dan mereka (orang-orang kafir) tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), jika mereka mampu. Barang siapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 217)
Upaya memerangi kaum muslimin yang dilakukan oleh orang-orang kafir tidaklah selalu menggunakan cara fisik. Akan tetapi, mereka memerangi melalui pemikiran dan keyakinan serta akhlak yang akan merusak agama kaum muslimin. Mereka akan menawarkan akidah dan prinsip yang akan merusak serta menghilangkan akidah seorang. Mereka juga menawarkan akhlak yang dipenuhi keinginan untuk memuaskan syahwat. Mereka akan memanfaatkan berbagai kesempatan dan sarana yang beraneka ragam: media cetak, elektronik, dan lainnya. Oleh karena itu, kaum muslimin harus senantiasa waspada dari makar dan tipudaya serta upaya pemurtadan yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam. Mudah-mudahan Allah l senantiasa menjaga dan menolong kita untuk bisa mengamalkan ajaran Islam yang sebenarnya serta menjauhkan kita dari mengikuti ajaran-ajaran orang kafir yang menyesatkan.
Khutbah kedua
الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي هَدَانَا لِلْإسْلاَمِ، وَامْتَنَّ عَلَيْنَا بِبِعْثَةِ خَيْرِ الأَنَامِ، نَبِيِّنَا وَحَبِيْبِنَا مُحَمَّدٍ n، أَحْمَدُهُ تَعَالَى وَأَشْكُرُهُ حَيْثُ أَكْمَلَ لَنَا الدِّيْنَ، وَأَتَمَّ عَلَيْنَا النِّعْمَةَ، وَرَضِيَ لَنَا الْإِسْلاَمَ ديناً، وَأَشْهَدُ أنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، أَمَرَنَا بِاتِّبَاعِ صِرَاطِهِ الْمُسْتَقِيْمِ، وَحَذَّرَنَا مِنْ طُرُقِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ، وَالضَّالِّيْنَ وَغَيْرِهِمْ مِنَ الْمُنْحَرِفِيْنَ عَنِ اْلهُدَى الْمُسْتَقِيْمِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، بَلَّغَ الْبَلَاغَ الْمُبِيْنَ، وَتَرَكَ النَّاسَ عَلَى المَنْهَجِ القَوِيْمِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِينَ وَالسَّائِرِيْنَ عَلَى نَهْجِهِمْ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً. أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah l dan bersyukur atas karunia-Nya yang sangat besar, yaitu agama yang sempurna dan diutusnya Rasul yang mulia. Allah l berfirman:
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali Imran: 164)
Hadirin rahimakumullah,
Allah l berwasiat kepada orang-orang yang beriman untuk tetap kokoh di atas agama yang dibawa oleh Rasulullah n hingga ajal menjemputnya. Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran: 102)
Allah l juga telah meridhai Islam sebagai satu-satunya agama bagi kita, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agama bagi kalian.” (Al-Maidah: 3)
Oleh karena itu, selain Islam adalah agama yang batil dan tidak akan diterima oleh Allah l, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 85)
Dengan demikian, adalah suatu kesalahan yang sangat besar dan nyata bila menganggap semua agama itu benar. Mungkin mereka beralasan bahwa semua agama diturunkan dari langit, atau bahwa semuanya mengajak kepada Tuhan yang sama.
Hadirin rahimakumullah,
Ketahuilah, agama selain Islam yang saat ini dianut oleh sebagian orang adalah bukanlah agama yang Allah l turunkan melalui para nabi-Nya. Agama Nasrani yang sekarang dianut oleh sebagian orang, misalnya, bukanlah agama yang dahulu diturunkan kepada Nabi ‘Isa q. Akan tetapi, agama tersebut telah diubah oleh pemeluknya sehingga tidak lagi seperti yang dibawa oleh Nabi ‘Isa q. Hal ini terbukti dengan keyakinan mereka yang mengatakan bahwa Nabi ‘Isa adalah anak Tuhan, bahkan meyakininya sebagai salah satu Tuhan yang diibadahi. Keyakinan yang salah ini telah dibantah oleh Allah l di dalam firman-Nya:
Dan (ingatlah) ketika Allah mengatakan (di akhirat), “Wahai Isa putra Maryam, apakah engkau mengatakan kepada manusia: ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang sesembahan selain Allah?’.” (Nabi) Isa menjawab, “Mahasuci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya, tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku, sedangkan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara-perkara yang gaib.” (Al-Maidah: 116)
Bila demikian keadaannya, agama Nasrani dan yang selain Islam sudah tidak lagi sama dengan yang dibawa oleh para nabi, apakah kemudian akan dikatakan bahwa semua agama itu benar karena datangnya dari langit dan mengajak kepada Tuhan yang sama? Oleh karena itu, janganlah kita tertipu dengan pernyataan yang akan merusak akidah kita ini, siapa pun yang mengatakannya.
Hadirin rahimakumullah,
Ketahuilah, sesungguhnya agama seluruh para nabi memiliki tujuan yang sama, yaitu mengajak manusia untuk berserah diri kepada Allah l dengan beribadah hanya kepada-Nya dan berlepas diri dari peribadatan kepada selain-Nya. Oleh karena itu, seluruh agama para nabi—meskipun berbeda syariatnya—disebut agama Islam, dan para pengikutnya disebut kaum muslimin karena memiliki prinsip dan tujuan yang sama. Allah l berfirman:
Dan (Nabi) Ibrahim telah berwasiat dengan wasiat tersebut kepada anak-anaknya, demikian pula (Nabi) Ya’qub. (Nabi Ibrahim berkata), “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kalian, maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan memeluk agama Islam.” (Al-Baqarah: 132)
Oleh karena itu, kita membenarkan ajaran seluruh para nabi dan kitab suci yang diturunkan kepada mereka. Namun demikian, dengan diutusnya Rasulullah n, syariat agama yang terdahulu telah dihapus kecuali prinsip dan tujuannya, yaitu mentauhidkan Allah l. Artinya, agama Islam yang dibawa oleh penutup para nabi—Nabi kita Muhammad n— itulah yang harus kita ikuti. Bahkan, dengan diutusnya beliau, seluruh manusia dan jin yang ada di muka bumi ini tidak memiliki pilihan lain kecuali harus mengikuti ajarannya. Barang siapa tidak mau mengikuti agama yang dibawanya, maka dia adalah orang kafir yang akan menjadi penghuni neraka. Nabi n bersaba:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat ini yang telah mendengar diutusnya aku, baik dia Yahudi maupun Nasrani, kemudian mati dalam keadaan tidak beriman terhadap agama yang aku diutus dengannya (Islam), melainkan dia termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim)
Hadirin rahimakumullah,
Akhirnya, mudah-mudahan Allah l senantiasa mengaruniakan kepada kita semua istiqamah di atas satu-satunya agama yang diridhai-Nya.

AUDIO Panduan Akhlaq Penuntut Ilmu Ust Abu Qotadah, Masjid Ponpes Al Ukhuwah Sukoharjo

 
Dari Yahya bin Ya’mar, rahimahullah dia berkata:
Dahulu, yang pertama kali mempersoalkan masalah takdir di Bashrah adalah Ma’bad al-Juhani. Maka suatu ketika, aku beserta Humaid bin Abdurrahman al-Himyari memutuskan untuk bersama-sama berangkat menunaikan haji atau umrah, kami berkata, “Seandainya kita bisa dipertemukan dengan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kita tanyakan kepadanya mengenai apa yang dilontarkan oleh orang-orang itu seputar masalah takdir.”
 Maka kamipun bisa bertemu dengan Abdullah bin Umar bin al-Khaththab tatkala masuk ke dalam masjid. Kemudian aku dan temanku memeluknya. Seorang dari kami memeluk dari sebelah kanan, sementara yang lain dari sebelah kiri. Aku pun mengira bahwa temanku akan menyuruh diriku untuk berbicara. Maka aku pun berkata, “Wahai Abu Abdirrahman -panggilan Ibnu Umar-, sesungguhnya telah muncul di tempat kami orang-orang yang suka membaca/menghafal al-Qur’an dan gemar mengumpulkan ilmu -lalu dia menceritakan keadaan mereka- akan tetapi mereka mengklaim bahwa takdir itu tidak ada, dan semua urusan itu terjadi begitu saja/tidak ditakdirkan sebelumnya.”

Maka dia -Ibnu Umar- radhiyallahu anhuma berkata, “Apabila kamu bertemu dengan mereka, sampaikan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka juga berlepas diri dariku. Demi tuhan yang dengannya Abdullah bin Umar bersumpah, seandainya salah seorang di antara mereka mempunyai emas sebesar gunung Uhud lalu dia infakkan niscaya Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman terhadap takdir.”
Lalu dia -Ibnu Umar radhiyallahu anhuma- berkata:
Ayahku Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu menuturkan kepadaku, dia berkata:
Pada suatu hari, ketika kami sedang duduk-duduk bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul seseorang dengan pakaian yang sangat putih dan memiliki rambut yang sangat hitam. Tidak tampak padanya bekas menempuh perjalanan. Namun, tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenali identitasnya. Sampai akhirnya dia duduk di depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian meletakkan kedua lututnya di depan lutut beliau dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya………(HR. Muslim no. 8, lihat Syarh Muslim [2/5-17])
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Apabila engkau menghadiri majlis ilmu, maka janganlah kehadiranmu melainkan untuk menambah ilmu dan pahala, bukannya hadir dengan kesombongan, mencari kesalahan untuk engkau sebarkan atau sesuatu yang ganjil untuk engkau beberkan. Karena ini adalah perbuatan orang-orang yang rendah dan tidak akan beruntung dalam ilmu selama-selamanya”. (Al-Akhlak was Sair fi Mudaawaatin Nafus halaman 92)
Tujuan hadir di majelis ilmu, bukan hanya terbatas pada faidah keilmuan semata. Ada hal lain yang juga harus mendapat perhatian serius. Yaitu melihat dan mencontoh akhlak guru. Demikianlah para ulama terdahulu. Mereka menghadiri majelis ilmu, juga untuk mendapatkan akhlak dan budi pekerti seorang ‘alim. Untuk dapat mendorong mereka berbuat baik dan berakhlak mulia. Diceritakan oleh sebagian ulama, bahwa majelis Imam Ahmad dihadiri lima ribu orang. Dikatakan hanya lima ratus orang yang menulis, dan sisanya mengambil faidah dari tingkah laku, budi pekerti dan adab beliau. Abu Bakar Al Muthaawi’i berkata,“Saya menghadiri majelis Abu Abdillah – beliau sedang mengimla’ musnad kepada anak-anaknya- duabelas tahun. Dan saya tidak menulis, akan tetapi saya hanya melihat kepada adab dan akhlaknya”(Siyar A’lam Nubala 11/316)
Selengkapnya simak dalam kajian berikut semoga bermanfaat
 

Leave a Reply

 
 

Rabu, 25 Januari 2012

AUDIO Mencintai Ahlul Bait Rasulullah Ust Abu Qotadah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammenegaskan bahwa beliau meninggalkan dua perkara besar bagi umatnya. Yang pertama Kitab Allah, sedangkan yang kedua adalah sabda beliau berikut ini:

وَأَهْلُ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي

Dan Ahli baitku. Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku. [HR. Muslim Kitab Fadha’il ash-Shahabah, bab Min Fadha’il Ali Radhiyallahu 'anhu].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan tentang hadits di atas bahwa, “(yang dimaksud) bukan kekhususan bagi Ali Radhiyallahu ‘anhu (dan keturunannya-pen), tetapi meliputi semua Ahli Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan orang yang paling jauh dari (pelaksanaan terhadap) wasiat ini adalah kaum Rafidhah. Karena sesungguhnya mereka (kaum Rafidhah) memusuhi al-Abbas beserta keturunannya, bahkan memusuhi mayoritas Ahli Bait dan membantu orang-orang kafir untuk membinasakannya” [Lihat Majmu’ Fatawa (IV/419].

Zaid bin Arqam, seorang sahabat Nabi yang membawa riwayat hadits di atas, menerangkan bahwa Ahli Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meliputi Keluarga Ali bin Abu Thalib, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas. Isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk Ahli Bait beliau. Hanya saja isteri-isteri beliau tidak termasuk yang diharamkan menerima shadaqah (zakat), sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi. [Lihat Syarh Nawawi, Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, juz XV hal. 175-176]
Imam Muslim dalam Kitab Shahih-nya meriwayatkan hadits dariSuatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah di hadapan kami, di samping sebuah mata air di suatu tempat yang disebut Khum, (terletak) di antara Mekah dan Madinah. Maka beliau membaca hamdalah dan memuji Allah. Beliau memberikan nasihat dan memberikan peringatan. Kemudian beliau bersabda : “Amma ba’du : Ketahuilah wahai manusia! Saya hanyalah seorang manusia, siapa tahu utusan Rabbku segera datang memanggilku lalu akupun menyambutnya. Saya tinggalkan kepada kalian dua hal besar : Yang pertama : Kitab Allah. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Maka ambillah Kitab Allah itu dan pegangilah ia dengan kuat”. Maka beliau menekankan untuk berpegang pada Kitabullah dan mendorong untuk bersemangat berpegang padanya. Kemudian beliau berkata lagi : “Dan Ahli Baitku, saya ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku, saya ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku, saya ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku”. Kemudian Hushain (bin Sabrah) berkata kepada Zaid (bin Arqam) : “Siapakah Ahli Baitnya?, Wahai Zaid, bukankah isteri-isteri beliau termasuk Ahli Baitnya?” Zaid menjawab : “Isteri-isteri beliau memang termasuk Ahli Baitnya, namun Ahli baitnya (yang dimaksudkan-pen) ialah orang yang diharamkan shadaqah (zakat) bagi mereka sepeninggal Nabi”. Hushain bertanya : Siapakah mereka?. Zaid menjawab : Mereka ialah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far dan keluarga Abbas. Hushain bertanya : Mereka semua diharamkan menerima shadaqah?. Zaid menjawab : Ya. [Shahih Muslim, Syarh Nawawi. Tahqiq Khalil Ma’mun Syiha XV/174-175]
mam Ibnu Katsir juga menjelaskan : Kita tidak boleh mengingkari orang-orang yang mewasiatkan agar berbuat baik dan berbuat ihsan kepada Ahli Bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga agar menghormati dan memuliakan Ahlul Bait. Sebab mereka adalah termasuk anak-anak keturunan keluarga suci, berasal dari sebuah keluarga paling mulia yang pernah ditemukan dipermukaan bumi, khususnya bila mereka mengikuti Sunnah Nabi yang Shahih, seperti ditauladankan oleh para pendahulunya yaitu al-Abbas beserta anak-anaknya dan Ali beserta keluarganya Radhiyallahu ‘anhum. [Tafsir Ibnu katsir , surat asy-Syura ayat 23 – IV/143]
Selengkapnya simak dlam kajian berikut, semoga bermanfaat
 

Leave a Reply

 
 
  1. Yudha
    January 12, 2012 at 21:37
    Ijin Download kajian ini,Jazakallohu khoiro
     

Orang Lain dalam Kehidupan Kami

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah)

Yang dimaksud ‘orang lain’ dalam judul di atas, sebenarnya bukanlah benar-benar orang lain atau pihak asing yang tak ada hubungannya dengan pasangan suami istri. Mereka justru masih ada hubungan erat dengan si suami atau si istri, karena mereka adalah pihak kerabat dekat, dalam hal ini orang tua dan saudara-saudara suami atau istri. Namun, kita pinjam istilah ‘orang lain’ dengan maksud mengecualikan mereka dari keluarga baru yang dibentuk oleh sepasang suami-istri. 
Tentu saja keberadaan mereka, pihak keluarga suami dan istri, tak dapat dimungkiri. Sebagaimana mereka ada dalam kehidupan seorang lelaki sebelum ia bertemu dengan seorang wanita untuk kemudian menjalin ikatan pernikahan dengannya dan dalam kehidupan seorang wanita sebelum ia bertemu dengan pasangan hidupnya, tentunya setelah itu mereka tetap ada. Namun bagaimanakah interaksi dengan mereka setelah itu? Kita sering mendapatkan keluhan munculnya permasalahan antara suami dengan keluarganya atau dengan keluarga istrinya. Sebaliknya, timbul problem antara istri dengan pihak keluarganya atau dengan keluarga suaminya.
Islam sebagai agama yang mengajarkan seluruh kebaikan tentu telah memberikan tuntunan yang terindah dan paling sempurna. Islam memerintahkan insan yang beriman untuk tetap menyambung hubungan silaturahim dengan orang tua dan karib kerabat serta berbuat baik kepada mereka. Allah l berfirman:
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, serta hamba sahaya kalian.” (An-Nisa: 36)
Allah k juga memuji hamba-hamba-Nya yang menyambung hubungan rahimnya, seperti dalam firman-Nya yang agung:
“Dan orang-orang yang menyambung/menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan…” (Ar-Ra’d: 21)
Rasulullah n bersabda dalam haditsnya yang mulia:
Sesungguhnya Allah l menciptakan makhluk hingga ketika selesai dari menciptakan mereka, berdiri Ar-Rahim seraya berkata, “Ini tempat berdiri orang yang berlindung kepada-Mu dari memutus hubungan1.” Allah l berfirman, “Iya, tidakkah engkau ridha Aku menyambung orang yang menyambungmu dan Aku memutus orang yang memutusmu?” Ar-Rahim menjawab, “Tentu (aku ridha).” Allah l berfirman, “Maka itulah untukmu.” Kemudian Rasulullah n bersabda, “Bacalah bila kalian mau, ayat: ‘Maka apakah kiranya bila kalian berkuasa kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan rahim/kekeluargaan kalian?…’.” (Muhammad: 22-23) [HR. Al-Bukhari no. 4830 dan Muslim no. 6465 dari sahabat Abu Hurairah z]
Dalam riwayat Al-Bukhari:
فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ, وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ
Allah l berfirman, “Siapa yang menyambungmu, Aku akan menyambungnya. Siapa yang memutusmu, Aku akan memutusmu.”
Dalam hadits yang mulia ini, terdapat ancaman terhadap orang yang memutus hubungan rahimnya. Jubair bin Muth’im z mengabarkan bahwa Rasulullah n bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan rahimnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5984 dan Muslim no. 6468)
Selain hukuman di akhirat, pelakunya pun akan beroleh hukuman di dunia sebagaimana ditunjukkan dalam hadits berikut ini.
Abu Bakrah z berkata: Rasulullah n bersabda:
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَحْرَى أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوْبَةَ فِي الدُّنْيَا، مَعَ مَا يُدَخِّرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada satu dosa pun yang lebih pantas untuk Allah l segerakan hukuman bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan hukuman yang menantinya di akhirat daripada dosa memutus hubungan rahim dan dosa kezaliman.” (HR. Abu Dawud no. 4902 dan At-Tirmidzi no. 2511, disahihkan dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih At-Tirmidzi)
Dalam Fathul Bari (10/513—514) disebutkan, Al-Qurthubi t menyatakan bahwa rahim yang disambung itu bermakna umum dan khusus. Makna secara umum adalah hubungan rahim karena agama, wajib disambung dengan rasa cinta, saling menasihati, bersikap adil, dan inshaf, serta menunaikan hak-hak yang wajib maupun mustahab. Adapun makna rahim yang khusus adalah memberi nafkah kepada kerabat, mencari tahu keadaan/kabar mereka dan memaafkan kesalahan mereka. Ibnu Abi Jamrah t mengatakan, “Silaturahim bisa dilakukan dengan memberikan materi (harta), memberikan bantuan ketika dibutuhkan, menghindarkan dari kemudaratan, berwajah manis, dan mendoakan.” Adapun makna yang mencakup/menyeluruh (makna jami’) dari silaturahim adalah menyampaikan kebaikan sebisa mungkin dan menghindarkan kejelekan yang mungkin menimpa sesuai dengan kemampuan.
Dengan demikian, sepasang suami-istri harus berupaya untuk tetap menyambung hubungan dengan orang tua, saudara-saudara, dan sanak famili mereka yang lain. Mereka pun harus berupaya menyambung hubungan dengan orang tua, saudara-saudara, dan sanak famili pasangan mereka; suami dengan kerabat istrinya, dan istri dengan kerabat suaminya.
Bagaimana bentuk menyambung silaturahim? Ini kembali kepada ‘urf (kebiasaan) yang diikuti oleh masyarakat muslim yang terjaga (‘urf islami), karena memang macam silaturahim, jenis dan kadarnya tidak diterangkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Nabi n tidak mengaitkannya dengan sesuatu yang tertentu, misalnya dengan menetapkan silaturahim itu adalah karib kerabat tersebut harus makan bersama, minum bersama, atau tinggal bersama. Bahkan, beliau n menetapkan secara mutlak (bebas). Oleh karena itulah, masalah ini kembali kepada ‘urf. Apa yang berlangsung dalam ‘urf sebagai menyambung hubungan, berarti itu adalah menyambung silaturahmi). Apa yang dikenali manusia sebagai qathi’ah/memutus hubungan, itu adalah pemutusan hubungan. Demikian asalnya, menurut Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t, dengan ketentuan ‘urf tersebut belum rusak karena ‘urf yang rusak tidak bisa menjadi patokan. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 2/131—132)
Kaitannya dengan tetap menyambung hubungan dengan keluarga bagi pasangan yang telah menikah, ada beberapa permasalahan yang mungkin timbul.
1. Apakah orang tua berhak meminta putrinya tetap tinggal bersama mereka setelah ia menikah?
Apakah seorang istri harus mematuhi permintaan orang tuanya untuk tetap tinggal bersama keluarga besarnya dan tidak tinggal di rumah yang disediakan suaminya?
Tentu saja tidak. Bahkan, dia wajib tinggal di rumah suaminya, karena konsekuensi dari akad nikah adalah menyerahkan istri kepada suaminya di rumah suaminya. Oleh karena itu, tidak ada hak bagi kedua orang tuanya untuk menahannya di rumah mereka, sebagaimana si istri tidak bisa memaksa suaminya tinggal bersamanya di rumah orang tuanya. Demikian keterangan Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh t. (Fatawa wa Rasail Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 10/193)
Bagaimana bila hal tersebut menjadi persyaratan dalam pernikahan, yang sebelum akad nikah berlangsung sang ayah mempersyaratkan kepada calon suami putrinya agar membiarkan putrinya tetap tinggal bersamanya untuk mengurusi/berkhidmat kepadanya?
Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh t menjelaskan bahwa syarat-syarat dalam pernikahan hanya khusus untuk pihak suami dan pihak istri. Adapun syarat yang diajukan oleh ayah si istri sebagaimana di atas merupakan syarat yang tidak ada nilainya, sehingga sama sekali tidak harus dipenuhi. Tidak ada hak bagi sang ayah menghalangi si suami dari istrinya selama keadaan keduanya baik-baik saja dan si istri ridha/senang kepada suaminya. (Fatawa wa Rasail Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 10/196)
2. Apakah istri harus menuruti suaminya untuk tinggal serumah bersama keluarga suaminya?
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin t berkata, “Sepantasnya, seorang istri bersikap lunak dan merasa terbiasa/tidak canggung berada bersama keluarga suaminya, baik ibu, ayah, saudara-saudara, maupun karib kerabatnya.
Hendaklah ia hidup bersama mereka dengan kehidupan yang terpuji, karena hal itu termasuk kebahagiaannya dan kebahagiaan suaminya. Hendaklah ia bersabar dan mengharapkan pahala atas beberapa hal yang tidak ia sukai. Apabila ia tidak mendapati hal-hal tersebut, ia wajib berpegang dengan kesabaran dan tidak mempersulit kehidupan suaminya bersama keluarganya. Bisa jadi, bila terjadi pertentangan dan kesalahpahaman berulang-ulang akan menyebabkan suami menceraikannya, hingga terurailah ikatan/tali pernikahan, padahal ada anak-anak. Lalu, bagaimana keadaan mereka setelah perpisahan kedua orang tua mereka? Tanpa diragukan, anak-anak itu keadaannya tidaklah berbahagia menghadapi perpisahan ayah dan ibu mereka.
Karena itulah, hendaknya seorang istri mengintrospeksi dirinya dan kembali kepada kelurusannya. Saya menasihatkan kepadanya agar memaksa jiwanya untuk ta’awun (saling membantu) bersama suaminya dalam menghadapi kehidupan. (Fatawa Manarul Islam, 3/109)
3. Bolehkah seorang istri meminta kepada suaminya untuk ditempatkan di rumah sendiri, tidak serumah dengan keluarganya?
Bila sebelumnya sepasang suami istri tinggal bersama keluarga si suami, namun di belakang hari terjadi permasalahan antara si istri dan keluarga suaminya, bolehkah si istri meminta suaminya pindah dari rumah tersebut dan mencari rumah lain untuk mereka tempati?
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t menyatakan, “Permasalahan seperti ini banyak terjadi di antara keluarga suami dengan si istri. Dalam keadaan ini, yang sepantasnya dilakukan adalah si suami berusaha menyelesaikan persoalan yang terjadi antara istrinya dengan keluarganya. Semampu mungkin ia berupaya mendekatkan mereka dan memberikan peringatan kepada pihak yang zalim dan melampaui batas terhadap hak saudaranya. Peringatan diberikan dengan cara yang baik dan lembut, hingga tercapailah kedekatan dan penyatuan, karena kedekatan dan penyatuan seluruhnya merupakan kebaikan.
Bila tidak terwujud ishlah/perbaikan yang diharapkan, tidak ada masalah bila si suami mencari rumah yang terpisah dari keluarganya. Bahkan, terkadang hal ini lebih baik dan lebih bermanfaat bagi semua pihak, sehingga hilang apa yang ada di hati sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Dalam keadaan seperti ini (tinggal di rumah terpisah), hendaknya ia tidak memutus perhubungan dengan keluarganya. Bahkan, ia harus tetap menyambung hubungan dengan mereka. Lebih baik lagi bila rumah yang ditempatinya berdua dengan istrinya itu dekat dengan rumah keluarganya, sehingga mudah baginya menjenguk mereka dan menyambung hubungan dengan mereka.
Bila ia telah menunaikan kewajibannya terhadap keluarganya dan terhadap istrinya, bersamaan dengan ia tinggal bersama istrinya di tempat tinggal tersendiri—karena tidak memungkinkan bagi semuanya tinggal bersama dalam sebuah rumah—hal ini lebih baik dan lebih utama.” (Fatawa Islamiyah, 3/114)
4. Berkhidmat kepada keluarga suami
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t berkata, “Seorang istri tidak wajib berkhidmat kepada ibu, ayah, saudara-saudara, paman-paman suaminya, atau berkhidmat kepada salah seorang dari kerabat suaminya. Hanya saja, hal ini termasuk muru’ah/penjagaan kehormatan diri. Bila ia di dalam rumah melayani kedua orang tua suaminya atau saudara-saudara lelaki suaminya, itu dibolehkan asalkan tidak terjadi fitnah (godaan) sedikitpun dalam khidmatnya kepada saudara-saudara lelaki suaminya, atau tidak terjadi khalwat (berduaan/bersepi-sepi) misalnya. Akan tetapi tidak boleh mewajibkan si wanita untuk melakukannya. Suaminya tidak boleh mengharuskan istrinya melakukan hal tersebut dan hal itu tidak wajib baginya. Masalahnya hanya berkaitan dengan muru’ah.
Namun yang saya serukan, kata Syaikh, hendaklah seorang istri itu membiasakan dirinya dan bersikap sangat penyabar dalam berkhidmat kepada ayah dan ibu suaminya. Masalah ini tidaklah memudaratkannya, bahkan menambah kemuliaannya dan menambah cinta suaminya terhadapnya. Demikian pula cinta ayah dan ibu suaminya terhadap dirinya. Sebaliknya, bila si istri durhaka dan enggan mengurusi orang tua suaminya, terkadang menjadi sebab memburuknya pergaulannya dengan suaminya. Mungkin karena si suami tidak suka melihat jeleknya pergaulannya dengan kedua orang tuanya, atau bisa jadi kedua orang tuanya menjelekkan si istri di hadapan suaminya, hingga mereka membuat si suami benci kepada istrinya.” (Fatawa Manarul Islam, 3/108)
5. Berkhidmat kepada ayah suami yang sudah tua
Seorang istri pernah mengajukan pertanyaan berikut ini kepada Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t, “Saya seorang istri yang menunaikan khidmat/memberikan pelayanan dan pengurusan kepada ayah suami/mertua saya berhubung ia tidak memiliki siapa-siapa kecuali suami saya. Apakah saya boleh memandikan dan mengurusinya?”
Fadhilatusy Syaikh t menjawab, “Khidmat yang Anda berikan kepada ayah suami Anda ini merupakan perkara yang patut disyukuri, karena hal tersebut termasuk berbuat ihsan/kebaikan kepada lelaki yang telah tua tersebut, juga termasuk berbuat ihsan kepada suami Anda. Anda boleh memandikannya selain pada dua kemaluannya (qubul dan dubur). Kalau mertua Anda bisa membasuhnya sendiri, hendaklah ia lakukan sendiri. Anda tidak boleh melakukannya. Akan tetapi kalau ia tidak mampu melakukannya, tidak ada dosa/keberatan bagi Anda untuk memandikan bagian auratnya tersebut dengan syarat Anda menggunakan kaos tangan yang menutupi kedua tangan Anda sehingga engkau tidak menyentuh auratnya secara langsung, sebagaimana wajib bagi Anda menundukkan pandangan Anda dari melihat auratnya, karena Anda tidak diperkenankan melihat aurat seorang pun kecuali suami Anda. Demikian pula suami Anda terhadap Anda.” (Majmu’ Fatawa, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/177)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Ini menunjukkan bahwa ar-rahim bisa berbicara secara hakiki dengan izin Allah l. Dia bisa ridha dan bisa marah. Ia juga bisa meminta perlindungan kepada Allah l dari pemutusan hubungan. (Syarhu Shahih al-Adabil Mufrad, 1/67)

Selasa, 24 Januari 2012

Antara Haid, Haji dan ‘Umrah bagian 2

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah)

Thawaf dalam Keadaan Darurat
Kita ketahui dari penjelasan yang telah dibawakan dalam edisi yang lalu bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berpendapat larangan thawaf bagi wanita haid adalah bila ia melakukan thawaf dalam keadaan tidak darurat, sedangkan bila darurat, lain lagi pembicaraannya.
Kita lihat jawaban beliau ketika ditanyakan permasalahan berikut, “Seorang wanita yang haid belum melakukan thawaf ifadhah. Ia belum juga suci sampai orang yang berhaji pulang meninggalkan Makkah. Tidak mungkin pula dia tetap tinggal di Makkah menanti sampai ia suci setelah jamaah haji pulang. Apakah dalam keadaan demikian dia boleh melakukan thawaf? Apakah keadaan seperti itu teranggap darurat ataukah tidak? Bila ternyata ia boleh melakukan thawaf, apakah dia wajib membayar dam ataukah tidak? Apakah disunnahkan mandi sebelum thawaf?”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menjawab, “Alhamdulillah. Ulama memiliki dua pendapat yang masyhur tentang thaharah saat thawaf, apakah sebagai syarat sahnya thawaf atau tidak.
1. Thaharah adalah syarat
Ini adalah mazhab Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat yang ada.
2. Thaharah bukan syarat
Demikian mazhab Abu Hanifah dan Ahmad dalam riwayat yang lain. Oleh karena itu, menurut mereka, andai seseorang yang junub, berhadats, atau membawa najis, melakukan thawaf maka thawaf tersebut sah, namun ia wajib membayar dam.1 Akan tetapi, pengikut mazhab Al-Imam Ahmad t berbeda pendapat, apakah dam ini dibebankan secara mutlak—walau terhadap orang yang diberi uzur yang lupa bahwa ia sedang janabah—ataukah tidak?
Abu Hanifah menjadikan dam berupa badanah (unta).
Seorang wanita haid—yang tidak mungkin melakukan thawaf melainkan dalam keadaan haid—tentu lebih pantas lagi mendapatkan uzur, karena haji merupakan amalan yang wajib baginya. Tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan, “Kewajiban haji gugur dari wanita haid.” Menggugurkan suatu kewajiban/fardhu dengan alasan kelemahan/ketidakmampuan mengerjakan sebagian hal yang wajib dalam kewajiban/fardhu tersebut, bukanlah termasuk ucapan syariat. Sebagaimana halnya bila dia tidak mampu bersuci untuk shalat2.
Jika si wanita mungkin untuk tinggal di Makkah sampai suci dan menunaikan thawaf yang tertunda, tidak diragukan lagi dia wajib melakukannya. Namun, bila hal itu tidak mungkin, dengan menyuruhnya pulang ke negerinya bersama rombongan3—lalu kembali ke Makkah setelah suci untuk thawaf ifadhah—berarti mewajibkan safar dua kali baginya untuk pelaksanaan ibadah haji tanpa ada kesalahan yang diperbuatnya. Ini tentu saja menyelisihi syariat. Di samping itu, dia tidak mungkin pergi melainkan bersama rombongan, sementara haidnya dalam bulan itu seperti biasanya, sehingga hal ini tidak memungkinkannya thawaf dalam keadaan suci sama sekali.
Pokok-pokok syariat dibangun di atas ketetapan bahwa syarat-syarat ibadah yang tidak mampu dilakukan seorang hamba, maka syarat-syarat itu digugurkan. Misalnya bila orang yang shalat tidak mampu menutup auratnya, atau tidak bisa menghadap kiblat, atau menghindari/menjauhi sesuatu yang najis4, atau orang yang thawaf, bila ia tidak mampu thawaf sendiri, baik naik kendaraan atau berjalan kaki, ia dipikul dan dithawafkan.
Pendapat bahwa orang yang thawaf tanpa bersuci tetap sah walaupun tidak ada udzur (alasan/sebab yang diterima), namun harus membayar dam—sebagaimana dinyatakan oleh pengikut Abu Hanifah dan Ahmad—tentu lebih utama dan lebih pantas ditujukan kepada orang yang memiliki udzur.
Adapun tentang mandi, jika si wanita melakukannya, itu bagus sebagaimana wanita haid dan nifas mandi untuk berihram. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Fatawa, 26/243—244)
Tentang pewajiban membayar dam, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menyatakan, “Jika ia membayar dam, itu lebih berhati-hati. Jika tidak membayar pun sebenarnya tidak ada kewajiban apa-apa baginya, karena Allah l tidak membebani suatu jiwa kecuali sebatas kemampuannya.
Allah l berfirman:
“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” (At-Taghabun: 16)
Nabi n bersabda:
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika aku memerintahkan kalian dengan satu perkara maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. ِAl-Bukhari dan Muslim)
Adapun wanita haid ini tidak mampu kecuali demikian (thawaf dalam keadaan tidak suci)….”
Ibnu Taimiyah t juga menyatakan, “Nabi n menggugurkan kewajiban thawaf wada’ bagi wanita haid. Beliau menggugurkan pula bagi orang-orang yang mengurusi siqayah (penyediaan air minum bagi jamaah haji) untuk bermalam di Mina karena adanya kebutuhan. Akan tetapi, beliau n tidak mewajibkan mereka membayar dam, karena mereka diberi uzur dalam hal tersebut. Beda halnya dengan orang yang tidak memiliki uzur. Demikian pula orang yang tidak mampu melempar jumrah sendiri karena sakit atau semisalnya, ia boleh mewakilkan kepada orang lain melakukannya untuk dirinya. Tidak ada pewajiban apa-apa baginya, karena tidaklah sama orang yang meninggalkan kewajiban karena ketidakmampuan dengan orang yang meninggalkannya bukan karena tidak mampu. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Fatawa, 26/245)
Sa’i antara Shafa dan Marwah bagi Wanita Haid
Mayoritas ulama berpendapat tidak dipersyaratkan thaharah untuk sa’i, demikian pendapat Hanafiyah (Raddul Mukhtar 2/517), Malikiyyah (Al-Muntaqa 3/60), Syafi’iyah (Al-Majmu’, 8/100), Hanabilah (Al-Mughni, Kitabul Hajj, Mas’alah: Wa Man Sa’a Baina Ash-Shafa wal Marwah ‘ala Ghairi Thaharah), dan Zhahiriyyah (Al-Muhalla).
Ini juga pendapat Atha’ dan Abu Tsaur (Al-Mughni, Kitabul Hajj, Mas’alah: Wa Man Sa’a Baina Ash-Shafa wal Marwah ‘ala Ghairi Thaharah).
Dalil pendapat ini adalah sebagai berikut.
1. Sabda Rasulullah n kepada Aisyah x yang sedang haid saat menunaikan ibadah haji:
افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِي بِالْبَيْتِ
“Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji, hanya saja jangan engkau thawaf sampai engkau suci.” (HR. Al-Bukhari no. 305 dan Muslim no. 2911)
Berdasarkan hadits di atas, wanita haid tidak dilarang melakukan segala sesuatu dari amalan manasik haji, kecuali thawaf di Baitullah.
2. Atsar dari Aisyah dan Ummu Salamah c, keduanya berkata, “Apabila seorang wanita telah thawaf di Baitullah dan mengerjakan shalat dua rakaat, kemudian ia haid maka hendaklah ia tetap melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah.” (Diriwayatkan oleh Abu Bakr Al-Atsram, sebagaimana dinukil dalam Al-Mughni, Kitabul Hajj, Mas’alah: Wa Man Sa’a Baina Ash-Shafa wal Marwah ‘ala Ghairi Thaharah)
3. Sa’i merupakan ibadah yang tidak terkait dengan Baitullah sehingga tidak bisa dipersyaratkan thaharah saat melaksanakannya, sama halnya dengan wukuf di Arafah. (Al-Mughni, Kitabul Hajj, Mas’alah: Wa Man Sa’a Baina Ash-Shafa wal Marwah ‘ala Ghairi Thaharah)
Al-Imam Al-Hasan al-Basri t memiliki pendapat yang menyelisihi pendapat jumhur ini. Diriwayatkan dari beliau adanya persyaratan thaharah ketika mengerjakan sa’i. Kata Ibnu Rusyd, “Karena beliau menyerupakan sa’i dengan thawaf.” (Bidayatul Mujtahid, hlm. 320)
Namun yang rajih/kuat adalah pendapat yang dipegangi jumhur karena kuatnya dalil mereka.
Thawaf Wada’ bagi Wanita Haid
Seluruh ahlul ilmi berpandangan bahwa wanita haid tidak wajib mengerjakan thawaf wada’5, sementara thawaf ini wajib bagi selain wanita haid. Mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut.
1.    Hadits Aisyah x:
أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَيّ زَوْجَ النَّبِيِّ n حَاضَتْ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُوْلِ اللهِ n فَقَالَ: أَحَابِسَتُنَا هِيَ؟ قَالُوْا: إِنَّهَا قَدْ أَفَاضَتْ. قَالَ: فَلاَ إِذًا.
Shafiyah bintu Huyai istri Nabi n ditimpa haid. Aku pun menyampaikan hal tersebut kepada Rasulullah n, maka beliau bersabda, “Apakah berarti ia akan  menahan kita6 (di sini)7?” Mereka menjawab, “Ia telah mengerjakan thawaf ifadhah (sebelum ditimpa haid).” Rasulullah n berkata, “Kalau begitu dia tidak menahan kita.” (HR. Al-Bukhari no. 1757)
Dalam riwayat lain, Rasulullah n bersabda:
فَلْتَنْفِرْ
“Berarti hendaklah dia berangkat pulang.” (HR. Al-Bukhari no. 4401 dan Muslim no. 3209)
Rasulullah n tidak memerintahkan Shafiyah x untuk membayar fidyah ataupun lainnya, sehingga ini menjadi dalil tidak wajibnya thawaf wada’ bagi wanita haid. (Al-Mughni, Kitabul Hajj, Mas’alah: Wal Mar’ah idza Hadhat Qabla an Tuwaddi’a Kharajat wa la Wada’ alaiha wa la Fidyah)
2. Hadits Ibnu Abbas c, ia berkata:
أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُوْنَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ
“Manusia diperintah agar akhir dari perkara mereka (sebelum meninggalkan Ka’bah/Makkah) adalah melakukan thawaf di Baitullah, kecuali wanita haid yang diberi keringanan dari kewajiban ini.” (HR. Al-Bukhari no. 329 dan Muslim no. 3207)
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Hadits ini merupakan dalil wajibnya thawaf wada’ bagi selain wanita haid, dan gugurnya kewajiban ini dari wanita haid, serta tidak ada keharusan baginya untuk membayar dam karena meninggalkan thawaf wada’. Ini adalah mazhab Asy-Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, Ahmad, dan ulama secara keseluruhan, kecuali yang dihikayatkan oleh Ibnul Mundzir dari Umar, Ibnu Umar, dan Zaid bin Tsabit g, mereka memerintahkan wanita haid untuk tetap tinggal di Makkah (sampai suci) guna mengerjakan thawaf wada’.” (Al-Minhaj, 9/84)
Namun diriwayatkan bahwa mereka rujuk dari pendapat ini (Al-Mughni Kitabul Hajj, Mas’alah: Wal Mar’ah idza Hadhat Qabla an Tuwaddi’a Kharajat wa la Wada’ alaiha wa la Fidyah), dan akhirnya berpendapat bahwa hal itu tidak wajib. Rujuknya mereka bisa kita lihat pada riwayat-riwayat berikut ini.
- Rujuk Zaid ibnu Tsabit z
Al-Imam Muslim t meriwayatkan dalam Shahihnya (no. 3208) dari Thawus, ia berkata, “Aku pernah bersama Ibnu Abbas c ketika Zaid ibnu Tsabit z berkata, ‘Apakah engkau berfatwa wanita haid boleh pergi (meninggalkan Makkah) sebelum mereka mengerjakan thawaf wada?’.”
Ibnu Abbas c berkata kepadanya, ‘Jika tidak seperti itu, silakan engkau bertanya kepada Fulanah wanita dari kalangan Anshar, apakah Rasulullah n memerintahkannya untuk melakukan thawaf wada?’
Zaid kembali kepada Ibnu Abbas sambil tertawa dan berkata, ‘Tidaklah aku semakin yakin bahwa fatwamu memang benar’.”
- Rujuk Ibnu Umar c
Al-Imam Al-Bukhari t dalam Shahih-nya (no. 1761) meriwayatkan dari Thawus, ia berkata, “Aku pernah mendengar Ibnu Umar c berkata, ‘Wanita haid tidak boleh meninggalkan Ka’bah/Makkah (sebelum thawaf wada’).’ Setelah itu aku mendengar ia berkata, ‘Sesungguhnya Nabi n memberikan keringanan bagi mereka (wanita yang haid dari mengerjakan thawaf wada’)’.”
- Rujuk Umar z
Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya dari Nafi’, ia berkata, “Umar ibnul Khaththab z mengembalikan para wanita yang telah melakukan thawaf ifadhah pada hari Nahr (menyembelih). Para wanita itu kemudian tertimpa haid dan meninggalkan Makkah. Namun, Umar mengembalikan mereka. Mereka harus menunggu sampai mereka suci dan mengerjakan thawaf wada’ di Baitullah setelah sucinya. Setelah itu sampai kepada Umar hadits Rasulullah n yang berbeda dengan apa yang diperbuatnya, ia pun tidak melakukan lagi perbuatannya yang pertama.”
Hukum Memakai Obat Pencegah Haid Selama Haji dan Umrah
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin t menyatakan, tidak mengapa memakai obat-obatan pencegah haid selama pelaksanaan haji dan umrah karena adanya hajat/kebutuhan. Akan tetapi, pemakaiannya harus meminta pertimbangan dokter terlebih dahulu, karena terkadang obat-obatan tersebut ada mudarat/efek sampingnya, sehingga si wanita bisa terkena mudaratnya. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Ibni Utsaimin, 22/392)
Demikian yang bisa kami sampaikan kepada pembaca tentang wanita haid bila dikaitkan dengan ibadah haji dan umrah. Wallahu ta’ala a’lam.

1  Berupa seekor kambing.
2 Ia tidak boleh meninggalkan shalat, namun tetap mengerjakannya sesuai keadaannya.
3 Dalam keadaan ia masih berstatus muhrim, belum tahallul dari haji, karena tidak mungkin baginya bertahallul dengan tahallul yang kedua dengan alasan thawaf ifadhah belum ditunaikannya.
4 Sementara, shalat lebih agung urusannya daripada thawaf. Bila seseorang tidak mampu memenuhi syarat-syarat shalat seperti thaharah dan lainnya, ia shalat sesuai keadaannya. Tentu thawaf lebih utama lagi kebolehannya. (Majmu’ Fatawa, 26/245)
5 Thawaf perpisahan sebelum meninggalkan Ka’bah untuk pulang ke negerinya.
6 Rasulullah n mengatakan, “Apakah ia akan menahan kita untuk meninggalkan Makkah pada waktu yang kita inginkan?” karena beliau menyangka Shafiyah belum mengerjakan thawaf ifadhah. Hanyalah Rasulullah n mengucapkan seperti ini karena beliau n tidak mungkin meninggalkan Shafiyah di Makkah dan pulang ke Madinah. Tidak mungkin pula beliau n menyuruh Shafiyah pulang bersama beliau n dalam keadaan Shafiyah masih muhrim, sehingga beliau butuh tetap tinggal di Makkah menemani istrinya sampai ia suci dan bisa mengerjakan thawaf lalu tahallul dengan tahallul yang kedua. (Fathul Bari, 3/741)
7 Untuk menunggunya suci dari haid guna mengerjakan thawaf ifadhah.

Pengikut

Arsip Blog