Senin, 27 Februari 2012

● MohamedBenHadiHissarDammaj تحميل

معلومات عن الملف
اسم الملف MohamedBenHadiHissarDammaj
نوع الملف rar
حجم الملف 2.62 MB
تاريخ الرفع 30-10-2011 12:26 pm
عدد التحميلات 1250
file Report   ملف مخالف : إرسال بلاغ مخالفة

[ تم إيجاد الملف ]


queue
Powered by Kleeja

Minggu, 26 Februari 2012

KAJIAN FIQH PEMBAHASAN SHOLAT JUMAT (BAG I.a.)

Oleh Ustadz Kharisman

1. Siapa saja yang wajib melakukan sholat Jumat?
Jawab:

الجمعةُ حق واجبٌ على كل مسلم في جماعة؛ إلا أربعة: عبد مملوك، أو امرأة، أو صبي، أو مريض (رواه أبو داود)
“Sholat Jumat wajib dilakukan setiap muslim secara berjamaah, kecuali 4 golongan: hamba sahaya, wanita, anak kecil, dan orang yang sakit “ (H.R Abu Dawud).
Hadits tersebut dinilai lemah oleh sebagian Ulama’ karena diriwayatkan oleh Thariq bin Syihab yang tidak pernah mendengar langsung dari Nabi. Namun, meski ia tidak pernah mendengar langsung dari Nabi, ia pernah melihat Nabi (sebagaimana dinyatakan Abu Dawud), sehingga termasuk kategori Sahabat (sebagaimana pendapat Ibnu Mandah dan Abu Nu’aim). Kalaupun hadits tersebut terhitung mursal, namun merupakan mursal shohaby yang bukan merupakan sisi kelemahan dalam hadits sebagaimana dijelaskan oleh Imam anNawawy. Beberapa Ulama’ yang menshahihkan hadits tersebut di antaranya adalah al-Hakim, adz-Dzahaby, al-Baihaqy, Ibnu Rojab (dalam Fathul Baari), Ibnu Katsir (dalam Irsyadul Faqiih) dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany. Bahkan al-Baihaqy menyatakan bahwa hadits ini memiliki jalur-jalur periwayatan lain yang menguatkannya, di antaranya hadits Jabir dan Tamim adDaari.
Selain 4 golongan tersebut, yang termasuk tidak wajib melakukan sholat Jumat adalah musafir. Sebagaimana Nabi ketika melakukan haji wada’ pada saat wukuf di Arafah bertepatan dengan hari Jumat beliau tidak sholat Jumat, namun sholat dzhuhur (hadits Jabir riwayat Muslim). Demikian juga tidak pernah ternukil dalam sebuah hadits bahwa Nabi pada saat safar melakukan sholat Jumat. Beliau juga tidak pernah memerintahkan para Sahabat yang safar untuk melakukan sholat Jumat.
Bisa disimpulkan bahwa golongan yang wajib melakukan sholat Jumat adalah:
a) Mukallaf dan berakal sehat.
Sholat Jumat tidak wajib bagi anak kecil yang belum baligh, ataupun orang gila, dan orang yang hilang kesadaran. Non muslim juga tidak diwajibkan melakukan sholat Jumat, dalam arti tidak akan ternilai sebagai ibadah. Namun, sikap mereka tidak sholat Jumat tersebut adalah bentuk dosa yang akan dibalas dengan adzab di akhirat.
b) Laki-laki.
Wanita tidak wajib sholat Jumat.
c) Sehat.
Orang yang sakit tidak wajib sholat Jumat.
d) Muqim.
Musafir tidak wajib melakukan sholat Jumat. Namun, jika ia singgah di suatu tempat (perkampungan/kota) dan sholat Jumat bersama orang-orang mukim tersebut, ia akan mendapatkan keutamaan sholat Jumat yang besar, dan ia tidak terbebani untuk sholat Dzhuhur lagi (Fatwa Syaikh bin Baz).
e) Merdeka.
Hamba sahaya (budak) tidak wajib melakukan sholat Jumat.
2. Apa ancaman bagi orang yang tidak melakukan sholat Jumat tanpa udzur?
Jawab:

مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاثَ مَرَّاتٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ (رواه الترمذي)
“Barangsiapa yang meninggalkan sholat Jumat 3 kali karena malas, maka Allah akan menutup hatinya” (H.R atTirmidzi).
Kita berlindung kepada Allah dari tertutupnya hati kita. Jika seseorang telah tertutp hatinya, maka nasehat-nasehat dan pelajaran dari alQuran dan hadits Nabi tidak akan berpengaruh padanya. Jadilah ia sebagai seorang munafiq. Wal-iyaadzu billaah!

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا هَلْ عَسَى أَحَدُكُمْ أَنْ يَتَّخِذَ الصُّبَّةَ مِنْ الْغَنَمِ عَلَى رَأْسِ مِيلٍ أَوْ مِيلَيْنِ فَيَتَعَذَّرَ عَلَيْهِ الْكَلَأُ فَيَرْتَفِعَ ثُمَّ تَجِيءُ الْجُمُعَةُ فَلَا يَجِيءُ وَلَا يَشْهَدُهَا وَتَجِيءُ الْجُمُعَةُ فَلَا يَشْهَدُهَا وَتَجِيءُ الْجُمُعَةُ فَلَا يَشْهَدُهَا حَتَّى يُطْبَعَ عَلَى قَلْبِهِ
Dari Abu Hurairah beliau berkata Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Bisa jadi ada seseorang yang membawa sekumpulan kambing sejauh jarak 1 atau 2 mil tidak mendapatkan padang gembalaan sehingga naik ke atas lagi kemudian datang waktu sholat Jumat dia tidak mendatanginya, datang Jumat berikutnya ia tidak mendatanginya, datang Jumat berikutnya ia tidak mendatanginya, sampai hatinya menjadi tertutup”(H.R Ibnu Majah dan al-Hakim).

وَسُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ رَجُلٍ يَصُومُ النَّهَارَ وَيَقُومُ اللَّيْلَ لَا يَشْهَدُ جُمْعَةً وَلَا جَمَاعَةً قَالَ هُوَ فِي النَّارِ
Dan Ibnu Abbas ditanya tentang seseorang yang (sering) berpuasa siang hari dan qiyamullail pada malam hari namun tidak menghadiri sholat Jumat dan sholat berjamaah (di masjid) 5 waktu, beliau menjawab: dia di anNaar (neraka)(riwayat atTirmidzi dan Ibnu Abi Syaibah).
3. Apa saja udzur syar’i yang membolehkan seseorang laki-laki meninggalkan sholat Jamaah 5 waktu dan sholat Jumat?
Jawab:
Para Ulama menjelaskan udzur-udzur syar’i yang membolehkan seseorang laki-laki meninggalkan sholat Jumat dan sholat berjamaah 5 waktu di masjid. Udzur-udzur tersebut di antaranya:
1. Sakit.
Sebagaimana Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam ketika sakit, beliau tidak sholat di masjid padahal rumah beliau berdampingan dengan masjid. Justru beliau memerintahkan agar Abu Bakar yang menjadi Imam sholat menggantikan beliau (sebagaimana riwayat alBukhari dan Muslim dari ‘Aisyah).
Namun, sangat perlu ditekankan di sini bahwa kadar sakitnya adalah sakit yang benar-benar menyusahkan seseorang untuk bisa mendatangi sholat berjamaah di masjid.
Dalam menentukan takaran apakah seseorang sakitnya sudah masuk kategori udzur atau belum, diperlukan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah dari orang yang bersangkutan agar ia tidak bermudah-mudahan. Demikianlah diterapkan pada poin-poin udzur yang lain, hendaknya kadarnya ditentukan secara adil (tidak terlalu ringan dan meremehkan, tidak pula sangat ketat dan berlebih-lebihan).
2. Menahan keluarnya sesuatu dari 2 jalan (qubul dan dubur)
Seperti seseorang yang menahan kencing, buang air besar, atau buang angin. Jika waktu sholat Jumat tiba dan dia sedang sangat berkebutuhan untuk keperluan tersebut sehingga harus antri di toilet atau semisalnya, jika terluput dari sholat Jumat, maka yang demikian termasuk udzur baginya. Karena Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
“Tidak ada sholat pada saat makanan dihidangkan dan ketika menahan keluarnya (sesuatu) dari 2 jalan (qubul dan dubur)” (H.R Muslim)
3. Sudah terhidang makanan di hadapannya dan ia sangat lapar.
Dalilnya adalah hadits riwayat muslim yang disebutkan pada poin 2.
Jika memungkinkan baginya untuk mendahulukan makan kemudian mendatangi masjid, itulah yang diharapkan, namun jika tidak memungkinkan karena sempitnya waktu, maka hal itu termasuk udzur. Misal: Seseorang yang baru pulang dari safar dalam kondisi sangat lapar dan terasa pada dirinya tanda-tanda lapar yang sangat seperti keringat dingin, dada berdegub kencang, dan semisalnya. Sedangkan waktu pelaksanaan sholat Jumat sudah hampir berakhir. Maka, ia hendaknya mendahulukan makan. Jika memang ia terlewatkan dari sholat Jumat karena sebab itu, maka hal itu termasuk udzur. Dalam hadits juga dinyatakan:

إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلَاةَ الْمَغْرِبِ وَلَا تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ
“Jika telah dihidangkan hidangan makan malam, mulailah dengan makan hidangan tersebut sebelum sholat maghrib dan janganlah tergesa-gesa dari makan malam kalian” (H.R alBukhari)
4. Hujan lebat
Sebagian Ulama’ menyatakan bahwa hujan rintik-rintik sudah merupakan udzur (keringanan) untuk tidak mendatangi sholat berjamaah, sebagaimana hadits:

عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ قَالَ خَرَجْتُ فِي لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ فَلَمَّا رَجَعْتُ اسْتَفْتَحْتُ فَقَالَ أَبِي مَنْ هَذَا قَالَ أَبُو الْمَلِيحِ قَالَ لَقَدْ رَأَيْتُنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ وَأَصَابَتْنَا سَمَاءٌ لَمْ تَبُلَّ أَسَافِلَ نِعَالِنَا فَنَادَى مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ
Dari Abul Malih beliau berkata: Aku pernah keluar (menuju masjid) pada malam yang hujan. Ketika aku kembali ke rumah, aku meminta dibukakan pintu. Kemudian ayahku bertanya (dari balik pintu): Siapa? Aku menjawab: ‘Abul Malih’. Kemudian ayahku berkata: Sungguh aku pernah bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam pada hari Hudaibiyah kemudian kami ditimpa hujan yang tidak sampai membasahi bagian bawah sandal-sandal kami, kemudian berserulah muadzin Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam: ‘Sholatlah di tempat tinggal kalian’ (H.R Ibnu Majah, Ahmad)
Namun, jika seseorang tetap berusaha mendatangi masjid untuk mendapatkan keutamaan sholat Jumat, maka yang demikian lebih utama.
5. Angin kencang dan dingin sehingga menghalangi dari keluar rumah.
6. Mengkhawatirkan keselamatan dirinya (ketakutan yang mencekam)
Misal: berlindung dari kejaran penguasa yang dholim yang akan membunuhnya bukan secara haq, atau panik menyelamatkan diri karena adanya bencana alam.
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri pada kebinasaan(Q.S alBaqoroh:195).
7. Mengkhawatirkan hartanya yang berharga hilang atau rusak jika ditinggal pergi mendatangi sholat berjamaah.
8. Sedang dalam proses pencarian suatu kendaraan/ barang berharga (bernilai tinggi) yang sebelumnya hilang, dan teridentifikasi barang tersebut sedang berada di suatu tempat. Hal itu membutuhkan tindakan cepat untuk segera mendatangi tempat tersebut agar barangnya bisa ditemukan. Jika ia harus mendatangi masjid untuk sholat terlebih dahulu, maka peluang barang berharganya ditemukan sangat kecil.
9. Ia ditugasi bekerja untuk menjaga pengoperasian alat-alat berharga milik perusahaan yang jika ditinggal untuk mendatangi masjid pada saat itu bisa menyebabkan hilang atau rusaknya barang yang diamanahkan padanya.
Termasuk kategori ini adalah seseorang yang jam kerjanya bertepatan dengan sholat Jumat, sedangkan pekerjaan tersebut adalah pekerjaan penting yang memberikan maslahat bagi kaum muslimin, atau suatu pekerjaan tak tergantikan yang jika ditinggal saat itu bisa menimbulkan kerugian besar hilang/rusaknya barang berharga milik perusahaan yang mempekerjakannya.
Namun, semestinya hal tersebut tidak berlangsung terus menerus sehingga menyebabkan ia selalu meninggalkan sholat Jumat.
Jika pekerjaan tersebut sebenarnya bisa ditinggal tanpa dikhawatirkan ada mudharat, maka hak Allah adalah yang harus didahulukan, tetap wajib mendatangi sholat Jumat.
10. Menjaga dan merawat seorang yang sakit parah dan dikhawatirkan bisa meninggal atau semakin parah sakitnya jika ditinggal.
11. Kecapekan dan mengantuk yang amat sangat, jika ia sudah tidak bisa lagi mengerti bacaan apa yang sedang dibaca dalam sholat.

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَنَمْ حَتَّى يَعْلَمَ مَا يَقْرَأُ
Dari Anas dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: Jika salah seorang dari kalian ngantuk dalam sholat, hendaknya ia tidur (terlebih dahulu) sampai ia bisa mengerti apa yang dibacanya”(H.R alBukhari)

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لَا يَدْرِي لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ
Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Jika salah seorang dari kalian mengantuk dalam keadaan ia sholat, hendaknya tidur sampai hilang perasaan kantuknya. Karena seorang jika sholat dalam keadaan mengantuk ia tidak mengetahui, pada saat bermaksud mohon ampun namun justru mencela dirinya sendiri “ (muttafaqun ‘alaih).
Syaikh Muhammad bin Sholih alUtsaimin menjelaskan bahwa seseorang yang sangat mengantuk dalam sholat bisa jadi ia berdoa meminta surga namun keliru berucap meminta neraka, bermaksud meminta hidayah, justru keliru berucap meminta kesesatan, dan semisalnya (Syarh Riyadis Sholihin juz 1 halaman 166).
12. Bersembunyi karena ditagih hutang pada saat ia benar-benar tidak memiliki sesuatu untuk dibayarkan, sedangkan penagihnya adalah orang yang akan menganiaya ataupun mencaci maki dan umpatan berlebihan yang menyebabkan ia tidak sanggup menahannya.
13. Imam membaca bacaan dalam sholat yang sangat panjang, sedangkan tidak ditemukan pengganti atau masjid lain untuk berpindah melakukan sholat.
Sebagaimana Nabi memberikan udzur kepada seorang Arab Badui yang bermakmum di belakang Muadz bin Jabal yang membaca surat alBaqoroh, kemudian orang tersebut memisahkan diri dari jamaah dan sholat sendirian (riwayat alBukhari dan Muslim).
14. Imam cepat sekali dalam sholatnya (tidak thuma’ninah), dan tidak ditemukan pengganti lain ataupun masjid yang lainnya.
Kadar minimum thuma’ninah adalah bisa membaca bacaan wajib dalam setiap gerakan minimal 1 kali. Seperti bacaan subhaana robbiyal adzhim 1 kali pada saat ruku’ dengan catatan, bacaan 1 kali tersebut dibaca pada saat posisi benar-benar sempurna telah ruku’, bukan pada saat gerakan perpindahan.
Poin-poin tentang udzur tersebut kami sarikan dari penjelasan Ibnu Muflih dalam al-Furu’ dan Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’. Udzur yang disebutkan tersebut ada yang memiliki dalil yang shohih dan shorih, ada pula yang merupakan istinbath (penggalian hukum) dari keumuman dalil yang ada serta kaidah bahwa syariat-syariat yang ada adalah penjagaan terhadap 5 hal utama (ad-Dharuriyaatul Khoms) dalam diri manusia yaitu: Dien, akal, jiwa, harta, dan kehormatan. Semua aturan-aturan syar’i yang ada adalah untuk menjaga lima hal utama tersebut. Demikian juga dalil-dalil umum tentang kemudahan yang diberikan Allah dan bahwa agama ini adalah mudah, serta perintah untuk bertaqwa kepada Allah semaksimal mungkin sesuai kemampuan.
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan kalian” (Q.S atTaghobun:16).
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian” (Q.S alBaqoroh:185).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
Dari Abu Hurairah dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidaklah seseorang memberat-beratkan dalam beragama kecuali akan terkalahkan” (H.R alBukhari).

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ
“Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian seperti keharaman hari ini di negeri ini pada bulan ini (H.R alBukhari dan Muslim).

4. Apakah seseorang yang terkena udzur untuk meninggalkan sholat Jumat menggantinya dengan sholat dzhuhur?
Jawab: Ya, menggantinya dengan sholat dzhuhur. Demikian juga seseorang yang ketinggalan (terlambat) sholat Jumat tidak mendapati minimal 1 rokaat.

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ أَوْ غَيْرِهَا فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ
“Barangsiapa yang mendapati satu rokaat dari sholat Jumat atau selainnya maka ia telah mendapati sholat”(H.R Ibnu Majah dari Ibnu Umar).
Jika seseorang mendapati 1 rokaat sholat Jumat, ia tinggal menambah 1 rokaat lagi. Namun, jika ia tidak mendapatkan 1 rokaatpun, maka ia menggenapkan menjadi total 4 rokaat.
Terhitung satu rokaat jika seseorang mendapatkan ruku’ bersama Imam

مَنْ أَدْرَكَ الرُّكُوْعَ , فَقَدْ أَْدْرَكَ الرَّكْعَة
Barangsiapa yang mendapati ruku’ maka ia telah mendapatkan rokaat (riwayat Abu Dawud).
Batasannya adalah ruku’ di rokaat terakhir. Jika seseorang mendapati ruku’ imam di rokaat terakhir pada sholat Jumat, ia tinggal menambah 1 rokaat lagi. Namun, jika pada rokaat terakhir ia mendapati Imam sudah I’tidal atau setelahnya, maka ia harus sholat 4 rokaat lagi.
(Lihat Penjelasan alLajnah adDaimah).
5. Bolehkah pelaksanaan sholat Jumat tidak di masjid?
Jawab:
Imam Malik berpendapat bahwa sholat Jumat harus dilakukan di masjid Jami’, sedangkan jumhurul Ulama’: Imam Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa bangunan masjid bukanlah syarat ditegakkannya sholat Jumat. Artinya, sholat Jumat tidak harus dilakukan di masjid. Dalil yang dipakai Jumhurul Ulama’ tersebut di antaranya adalah atsar Umar bin al-Khottob:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ؛ أَنَّهُمْ كَتَبُوا إِلَى عُمَرَ يَسْأَلُونَهُ عَنِ الْجُمُعَةِ ؟ فَكَتَبَ : جَمِّعُوا حَيْثُمَا كُنْتُمْ
Dari Abu Hurairah bahwasanya mereka menulis surat kepada Umar bertanya tentang (pelaksanaan) sholat Jumat, maka Umar menulis: ‘Lakukanlah sholat Jumat di manapun kalian berada” (riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya, Imam Ahmad menyatakan bahwa sanad riwayat ini jayyid/baik).
Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa maksudnya lakukan sholat Jumat di manapun selama berada dalam lingkungan perkampungan/pemukiman, karena pada waktu itu mereka berada di Bahrain (Aunul Ma’bud juz 3 halaman 283).
Pendapat jumhur dan penjelasan Imam Asy-Syafi’i inilah yang benar. Sehingga, jika suatu tempat terkena bencana alam dan meruntuhkan bangunan masjidnya, maka seharusnya penduduk di wilayah tersebut yang masih selamat bisa melakukan sholat Jumat di areal sekitar puing-puing bangunan tersebut (meski sudah bukan berupa bangunan lagi).
Di sisi lain, tidak dibenarkan sholat Jumat yang dilakukan bukan di suatu perkampungan. Misal, sholat Jumat di atas kapal laut yang berlayar di tengah lautan, atau sholat Jumat di suatu hutan yang jauh dari pemukiman. Ini tidak dibenarkan. Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam sering melakukan safar bersama sejumlah Sahabat melintasi gurun pasir atau wilayah-wilayah yang jauh dari perkampungan, bertepatan dengan waktu Jumat beliau tidak melakukan sholat Jumat.
Tidak sepantasnya juga sholat Jumat dilakukan di tempat yang sebelumnya banyak digunakan untuk maksiat. Contoh, pelaksanaan sholat Jumat di aula kantor atau sekolah, yang aula tersebut digunakan untuk berbagai aktivitas, bahkan termasuk pergelaran musik, joget, dan semisalnya. Sholat Jumat tidak selayaknya dilakukan di tempat yang demikian.
6. Berapa batasan minimal jumlah jamaah sholat Jumat?
Jawab: Batasan minimal jumlah orang yang bisa melakukan sholat Jumat adalah 2 orang, sebagaimana sholat berjamaah yang lain. Telah disebutkan dalam hadits Thariq bin Syihab riwayat Abu Dawud bahwa sholat Jumat itu dilakukan harus berjamaah, sehingga persyaratan jumlah jamaahnya adalah 2 orang. Ini adalah pendapat Imam asy-Syaukani.
Dalilnya adalah hadits Thariq bin Syihab tersebut dan hadits:

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي فَقَالَ أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا يُصَلِّي مَعَهُ فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلَّى مَعَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَانِ جَمَاعَةٌ
Dari Abu Umamah bahwa Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam melihat seseorang sholat (sendiri) kemudian Nabi bersabda: Adakah seseorang yang bershodaqoh pada orang tersebut sehingga sholat bersama laki-laki itu? Maka bangkitlah satu orang untuk sholat bersama laki-laki tersebut. Kemudian Nabi bersabda 2 orang ini adalah berjamaah” (H.R Ahmad)
7. Kapan waktu pelaksanaan sholat Jumat?
Jawab:
Jumhur Ulama’ (Imam Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi’i) berpendapat bahwa waktu sholat Jumat sama dengan sholat Dzhuhur

عَنْ أَنَسٍ رَضِى اللّهُ عَنْه قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يُصَلِّى الجُْمُعَةَ حِيْنَ تَمِيْل الشَّمْسُ . رواه البخارى وأحمد وأبو داود والترمذى
Dari Anas radliyallahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam sholat Jumat pada saat matahari tergelincir (H.R al-Bukhari).
Sedangkan Imam Ahmad berpendapat bahwa sholat Jumat boleh dilakukan sebelum tergelincirnya matahari (tengah hari) atau waktunya sama dengan pelaksanaan sholat Ied, berakhir waktunya bersamaan dengan berakhirnya waktu sholat Dzhuhur.
Dalil yang digunakan di antaranya adalah:
1) Nabi menyatakan bahwa Jumat adalah Ied juga bagi kaum muslimin.
2) Hadits Jabir riwayat Muslim:

عَنْ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَأَلَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ مَتَى كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ قَالَ كَانَ يُصَلِّي ثُمَّ نَذْهَبُ إِلَى جِمَالِنَا فَنُرِيحُهَا زَادَ عَبْدُ اللَّهِ فِي حَدِيثِهِ حِينَ تَزُولُ الشَّمْسُ
Dari Ja’far dari ayahnya bahwa ia menanyakan kepada Jabir bin Abdillah kapan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melakukan sholat Jumat?Beliau berkata: Kami dulu sholat Jumat kemudian kembali ke tempat kami untuk istirahat. Ditambahkan oleh Abdullah dalam haditsnya (kembalinya itu) pada saat tergelincirnya matahari”(H.R Muslim).
3) Hadits Salamah bin al-Akwa’ riwayat Abu Dawud:

كُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجُمُعَةَ ثُمَّ نَنْصَرِفُ وَلَيْسَ لِلْحِيطَانِ فَيْءٌ
Kami sholat Jumat bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam kemudian kemi pulang sedangkan dinding belum ada bayangannya (H.R Abu Dawud).
4) Hadits Abdullah bin Siidan as-Sulamy:

شَهِدْتُ الْجُمُعَةَ مَعَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ ، فَكَانَتْ خُطْبَتُهُ وَصَلاَتُهُ قَبْلَ نِصْفِ النَّهَارِ ، ثُمَّ شَهِدْنَا مَعَ عُمَرَ ، فَكَانَتْ خُطْبَتُهُ وَصَلاَتُهُ إِلَى أَنْ أَقُولَ : انْتَصَفَ النَّهَارُ ، ثُمَّ شَهِدْنَا مَعَ عُثْمَانَ ، فَكَانَتْ صَلاَتُهُ وَخُطْبَتُهُ إِلَى أَنْ أَقُولُ : زَالَ النَّهَارُ ، فَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا عَابَ ذَلِكَ ، وَلاَ أَنْكَرَهُ
Aku mengikuti sholat Jumat bersama Abu Bakar as-Shiddiq, pelaksanaan khutbah dan sholatnya dilakukan sebelum tengah hari, kemudian aku juga sholat bersama Umar, khutbah dan sholatnya berakhir pada tengah hari, kemudian aku pernah sholat bersama Usman, sholat dan khutbahnya sampai waktu zawal. Aku tidak pernah mendapati seseorang mencela atau mengingkari hal itu (H.R Ahmad, adDaruquthny, Ibnu Abi Syaibah).
Al-Lajnah ad-Daaimah berfatwa bahwa sebaiknya sholat Jumat dilakukan setelah lewat tergelincirnya matahari, karena demikianlah yang paling banyak dilakukan Nabi, namun jika suatu saat keadaan membutuhkan dilakukan beberapa menit sebelum tengah hari, maka yang demikian tidak mengapa.
8. Apakah mandi pada hari Jumat adalah kewajiban?
Jawab:
Mandi Jumat adalah amalan yang sangat ditekankan, namun tidak sampai pada taraf wajib. Sesuai dengan hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَدَنَا وَأَنْصَتَ وَاسْتَمَعَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ قَالَ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
Dari Abu Hurairah beliau berkata Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang berwudlu’ pada hari Jumat kemudian membaguskan wudlu’nya, kemudian mendatangi pelaksanaan sholat Jumat, mendekati (khotib), diam dan menyimak khutbah dengan baik, maka akan diampuni (dosa) antara 2 Jumat ditambah 3 hari. Barangsiapa yang memainkan kerikil maka ia telah sia-sia (H.R Ahmad)

مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ (رواه الترمذي)
Barangsiapa yang berwudulu’ pada hari Jumat, maka itu baik. Barangsiapa mandi, maka mandi adalah lebih utama” (H.R atTirmidzi).
Hendaknya seseorang muslim bersemangat dan berupaya keras agar bisa melakukan mandi Jumat. Keutamaan mandi pada hari Jumat telah tercapai jika seseorang mandi setelah terbit fajar pada hari Jumat. Namun, pelaksanaan mandi menjelang sholat Jumat adalah lebih utama (disarikan dari Majmu’ Fatwa Syaikh Bin Baz)
9. Apakah hukum melakukan jual beli pada saat dikumandangkan adzan Jumat?
Jawab:
Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa pelaksanaan jual beli pada saat dikumandangkan adzan Jumat (naiknya khotib ke mimbar) adalah haram dan batil. Haram menyebabkan pelakunya berdosa, sedangkan batil artinya akad jual beli itu tidak sah, sehingga pembeli tidak memiliki hak milik terhadap barang yang dibeli waktu itu.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian diseru (dikumandangkan adzan) untuk sholat Jumat maka bergegaslah menuju dzikir kepada Allah dan tinggalkan jual beli (Q.S al-Jum’ah:9).
Sebagian Ulama merinci bahwa larangan tersebut adalah jika salah satu pelaku (pembeli atau penjual) adalah orang yang wajib mendatangi sholat Jumat.
10. Apakah ada keutamaan berpagi-pagi mendatangi sholat Jumat? Bagaimana pembagian waktunya?
Jawab:

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ (متفق عليه)
Barangsiapa yang mandi janabah pada hari Jumat kemudian berangkat ke masjid maka seakan-akan ia berkurban unta, barangsiapa yang berangkat di waktu yang kedua seakan-akan berkurban sapi, barangsiapa yang berangkat di waktu yang ketiga seakan-akan berkurban kambing, barangsiapa yang berangkat di waktu yang ke empat seakan-akan berkurban ayam, barangsiapa yang berangkat di waktu yang kelima seakan-akan berkurban telur. Jika Imam keluar, malaikat hadir mendengarkan dzikir (khutbah)(Muttafaqun ‘alaih).
Pembagian waktu tersebut dimulai dengan terbitnya matahari di hari Jumat dan berakhir sampai Imam mulai naik mimbar. Rentang waktu tersebut dibagi dalam 5 bagian (penjelasan Syaikh al-Utsaimin dalam Syarhul Mumti’).
Sebagai contoh (untuk memudahkan pemahaman), jika pada suatu Jumat matahari terbit adalah jam 6 pagi (WIB) dan waktu Dzuhur bermula pada jam 12 siang (Imam naik ke atas mimbar), maka rentang waktu 6 jam tersebut dibagi 5 bagian. 6 jam = 6 x 60 menit =360 menit. Jika 360 menit dibagi 5, maka masing-masing waktu itu adalah 72 menit atau 1 jam lebih 12 menit. Sehingga pembagian waktu bagi orang yang mendatangi masjid dan menunggu imam di sana dengan aktivitas ibadah, kurang lebih sebagai berikut:
Waktu I (seperti berkurban unta) : 06.00 WIB – 07.12 WIB
Waktu II (seperti berkurban sapi) : 07.12 WIB- 08.24 WIB
Waktu III (seperti berkurban kambing) : 08.24 WIB – 09.36 WIB
Waktu IV (seperti berkurban ayam) : 09.36 WIB – 10.48 WIB
Waktu V (seperti berkurban telur) : 10.48 WIB – 12.00 WIB
Dijelaskan dalam riwayat lain bahwa jika Imam telah naik mimbar, maka seseorang tidak dapat keutamaan pahala berkurban tersebut karena catatan telah ditutup.
Wallaahu Ta’ala A’lam bisshowaab

Jumat, 24 Februari 2012

Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki

“MASUKLAH KE SURGA DARI PINTU MANA SAJA YANG ENGKAU KEHENDAKI”.
Oleh: Al-Ustadz Abu Hafsh Marwan
 Adalah penggalan dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dengan derajat hasan sebagaimana dinyatakan oleh as-Syaikh Al-Albani dalam Adabuz Zafaf. Hadits tersebut adalah :
Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf –radhiallahu’anhu berkata : Bahwa Rasulullah shallalahu’alaihi Wa sallam bersabda : Jika seorang wanita menjaga sholat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan mentaati suaminya maka dikatakan kepada wanita tersebut : “Masuklah ke surga dari pintu mana saja  sesuai yang engkau kehendaki”.
Terdapat empat perkara yang seyogyanya untuk dijaga bagi setiap wanita muslimah, seperti yang disebutkan dalam hadits di atas. Satu perkara yang kita sampaikan di sini di antaranya adalah :
Menjaga sholat lima waktu.
 Sholat lima waktu merupakan tiang agama, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah  dari Mu’adz bin Jabal radhiallahu’anhu : Bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa Sallam bersabda :
“Pokok dari seluruh perkara adalah islam, dan tiangnya adalah sholat, dan puncak tertinggi dari segala urusan tersebut adalah jihad”.
 Amalan sholat adalah amalan yang pertama kali akan dihisab atas seorang hamba di hari kiamat kelak, sebagaimana disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa Sallam bersabda :
Sesungguhnya pertama kali yang akan dihisab atas amalan seorang hamba pada hari kiamat nanti adalah sholatnya, kalau amalan sholat seorang hamba tersebut baik maka sungguh dia beruntung dan selamat….
 aS-Syaikh Abdurrahman bin Nashir aS-Sa’di  -rahimahullah- dalam tafsirnya pada surat al-Baqarah : 3 mengatakan : Allah tidak mengatakan (dan mereka mengerjakan sholat atau mendatangkan sholat), karena tidaklah cukup semata mendatangkan amalan sholat secara dhahir, maka dikatakan menegakkan sholat memiliki makna menegakkan secara dhahir dengan menyempurnakan rukun-rukunnya, hal-hal yang wajib beserta syarat-syaratnya, demikian pula memberi makna menegakkan secara batin dengan khusu’ dan menghadirkan hati di dalam sholat, memahami apa yang dibaca dan yang dikerjakannya.
Saat seorang wanita telah benar-benar suci dari haidh atau nifas maka hendaklah bersegera  mandi kemudian menegakkan sholat pada waktunya, yang demikian ini adalah termasuk seorang wanita menjaga sholatnya. Demikian juga sebaliknya ketika jelas atas seorang wanita keluar darah haid maka di saat itu pula ia harus meninggalkan sholat, walaupun di tengah-tengah ia sedang mengerjakan sholat, yang demikian ini termasuk dalam kategori menjaga sholat.
Dengan menjaga penegakan sholat sungguh akan mencegah seseorang dari perbuatan fahsya’ (keji) dan kemungkaran. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’aala :

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ.
“Dan tegakkanlah sholat, sesungguhnya sholat itu akan mencegah dari perbuatan fahsya’ dan kemungkaran” (Al-‘Ankabut : 45)
Sholat demikian juga akan mensucikan bagi seorang yang mengerjakannya dari rendahnya akhlak  dan sifat jelek. Sebagaimana termaktub di dalam firman Allah Ta’aala pada surat Al-Ma’aarij ayat 19-23.
“ Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah dan kikir. Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan jika mendapatkan kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang menegakkan sholat. Yang mereka itu tetap mengerjakan sholat.
Demikian pula dinyatakan dalam firman Allah bahwa amalan sholat itu akan menghapuskan dosa dan kesalahan , serta seseorang akan tertolong dalam urusan agama dan dunianya itu dengan menegakkan sholat. Allah berfirman
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ
artinya; “Dan jadikanlah penegakan sholat dan bersabar itu sebagai penolongmu (Al-Baqarah : 45).
Wallahu a’lam.
Tiga perkara yang lain, Insya Allah akan kami sampaikan di kesempatan lain.

Kamis, 23 Februari 2012

Adab-Adab Berbicara Bagi Wanita Muslimah

Wahai saudariku muslimah..
Berhati-hatilah dari terlalu banyak berceloteh dan terlalu banyak berbicara,Allah Ta’ala berfirman:
لَّا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ
Artinya:
“Dan tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka,kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah,atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia “. (An nisa:114)
Dan ketahuilah wahai saudariku,semoga Allah ta’ala merahmatimu dan menunjukimu kepada jalan kebaikan, bahwa disana ada yang senantiasa mengamati dan mencatat perkataanmu.
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ(ØÞ)
مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ(Øß)
Artinya:
“Seorang duduk disebelah kanan,dan yang lain duduk disebelah kiri.tiada satu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir” (Qaaf:17-18).
Maka jadikanlah ucapanmu itu menjadi perkataan yang ringkas, jelas, yang tidak bertele-tele yang dengannya akan memperpanjang pembicaraan.
1) Bacalah Al qur’an karim dan bersemangatlah untuk menjadikan itu sebagai wirid keseharianmu, dan senantiasalah berusaha untuk menghafalkannya sesuai kesanggupanmu agar engkau bisa mendapatkan pahala yang besar dihari kiamat nanti.
Dari abdullah bin ‘umar radiyallohu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, beliau bersabda:
dikatakan pada orang yang senang membaca alqur’an: bacalah dengan tartil sebagaimana engkau dulu sewaktu di dunia membacanya dengan tartil, karena sesungguhnya kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca.
HR.abu daud dan attirmidzi
2) Tidaklah terpuji jika engkau selalu menyampaikan setiap apa yang engkau dengarkan,karena kebiasaan ini akan menjatuhkan dirimu kedalam kedustaan.
Dari Abu hurairah radiallahu ‘anhu,sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Cukuplah seseorang itu dikatakan sebagai pendusta ketika dia menyampaikan setiap apa yang dia dengarkan.”
(HR.Muslim dan Abu Dawud)
3) jauhilah dari sikap menyombongkan diri (berhias diri) dengan sesuatu yang tidak ada pada dirimu,dengan tujuan membanggakan diri dihadapan manusia.
Dari aisyah radiyallohu ‘anha, ada seorang wanita yang mengatakan:wahai Rasulullah,aku mengatakan bahwa suamiku memberikan sesuatu kepadaku yang sebenarnya tidak diberikannya.berkata Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam,: orang yang merasa memiliki sesuatu yang ia tidak diberi,seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan.” (muttafaq alaihi)
4) Sesungguhnya dzikrullah memberikan pengaruh yang kuat didalam kehidupan ruh seorang muslim,kejiwaannya, jasmaninya dan kehidupan masyarakatnya. maka bersemangatlah wahai saudariku muslimah untuk senantiasa berdzikir kepada Allah ta’ala,disetiap waktu dan keadaanmu.Allah ta’ala memuji hamba-hambanya yang mukhlis dalam firman-Nya:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ
Artinya:
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring…” (Ali imran:191).
5) Jika engkau hendak berbicara,maka jauhilah sifat merasa kagum dengan diri sendiri, sok fasih dan terlalu memaksakan diri dalam bertutur kata,sebab ini merupakan sifat yang sangat dibenci Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam,dimana Beliau bersabda:
“sesungguhnya orang yang paling aku benci diantara kalian dan yang paling jauh majelisnya dariku pada hari kiamat : orang yang berlebihan dalam berbicara, sok fasih dengan ucapannya dan merasa ta’ajjub terhadap ucapannya.”
(HR.Tirmidzi,Ibnu Hibban dan yang lainnya dari hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiallahu anhu)
6) Jauhilah dari terlalu banyak tertawa,terlalu banyak berbicara dan berceloteh.jadikanlah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, sebagai teladan bagimu,dimana beliau lebih banyak diam dan banyak berfikir.beliau Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, menjauhkan diri dari terlalu banyak tertawa dan menyibukkan diri dengannya.bahkan jadikanlah setiap apa yang engkau ucapkan itu adalah perkataan yang mengandung kebaikan, dan jika tidak,maka diam itu lebih utama bagimu. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam, bersabda:
” Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,maka hendaknya dia berkata dengan perkataan yang baik,atau hendaknya dia diam.”
(muttafaq alaihi dari hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu)
8) jangan kalian memotong pembicaraan seseorang yang sedang berbicara atau membantahnya,atau meremehkan ucapannya. Bahkan jadilah pendengar yang baik dan itu lebih beradab bagimu,dan ketika harus membantahnya,maka jadikanlah bantahanmu dengan cara yang paling baik sebagai syi’ar kepribadianmu.
9) berhati-hatilah dari suka mengolok-olok terhadap cara berbicara orang lain,seperti orang yang terbata-bata dalam berbicara atau seseorang yang kesulitan berbicara.Alah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.”(QS.Al-Hujurat:11)
10) jika engkau mendengarkan bacaan Alqur’an,maka berhentilah dari berbicara,apapun yang engkau bicarakan, karena itu merupakan adab terhadap kalamullah dan juga sesuai dengan perintah-Nya, didalam firman-Nya:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya: “dan apabila dibacakan Alqur’an,maka dengarkanlah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kalian diberi rahmat”. Qs.al a’raf :204
11) bertakwalah kepada Allah wahai saudariku muslimah,bersihkanlah majelismu dari ghibah dan namimah (adu domba) sebagaimana yang Allah ‘azza wajalla perintahkan kepadamu untuk menjauhinya. bersemangatlah engkau untuk menjadikan didalam majelismu itu adalah perkataan-perkataan yang baik,dalam rangka menasehati,dan petunjuk kepada kebaikan. perkataan itu adalah sebuah perkara yang besar,berapa banyak dari perkataan seseorang yang dapat menyebabkan kemarahan dari Allah ‘azza wajalla dan menjatuhkan pelakunya kedalam jurang neraka.Didalam hadits Mu’adz radhiallahu anhu tatkala Beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa aalihi wasallam: apakah kami akan disiksa dengan apa yang kami ucapkan? Maka jawab Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“engkau telah keliru wahai Mu’adz,tidaklah manusia dilemparkan ke Neraka diatas wajah-wajah mereka melainkan disebabkan oleh ucapan-ucapan mereka.”
(HR.Tirmidzi,An-Nasaai dan Ibnu Majah)
12- berhati-hatilah -semoga Allah menjagamu- dari menghadiri majelis yang buruk dan berbaur dengan para pelakunya,dan bersegeralah-semoga Allah menjagamu- menuju majelis yang penuh dengan keutamaan, kebaikan dan keberuntungan.
13- jika engkau duduk sendiri dalam suatu majelis, atau bersama dengan sebagian saudarimu,maka senantiasalah untuk berdzikir mengingat Allah ‘azza wajalla dalam setiap keadaanmu sehingga engkau kembali dalam keadaan mendapatkan kebaikan dan mendapatkan pahala.Allah ‘azza wajalla berfirman:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا
Artinya: “(yaitu) orang – orang yang mengingat Allah sambil berdiri,atau duduk,atau dalam keadaan berbaring” (QS..ali ‘imran :191)
14- jika engkau hendak berdiri keluar dari majelis, maka ingatlah untuk selalu mengucapkan:
“maha suci Engkau ya Allah dan bagimu segala pujian,aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak untuk disembah kecuali Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu, dan aku bertaubat kepada-Mu”
Sehingga diampuni bagimu segala kesalahanmu di dalam majelis tersebut.
Ditulis oleh: Haya Bintu Mubarak Al-Buraik
Dari kitab: mausu’ah al-mar’ah al-muslimah: 31-34
Alih bahasa : Ummu Aiman
(sumber http://www.salafybpp.com/index.php?option=com_content&view=article&id=62:adab-adab-berbicara-bagi-wanita-muslimah&catid=3:muslimah&Itemid=53)

Rabu, 22 Februari 2012

Umamah Bintu Abil ‘Ash radhiyallahu ‘anha

Bagaimana takkan bahagia merasakan kasih sayang seorang yang begitu mulia, menjadi panutan seluruh manusia. Kisah buaian sang kakek dalam shalat menyisakan faedah besar bagi kaum muslimin di seluruh dunia.
Zainab, putri sulung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, disunting pemuda Quraisy, Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’ bin ‘Abdil ‘Uzza bin ‘Abdi Syams bin ‘Abdi Manaf bin Qushay Al-Qurasyi namanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahi mereka dua orang anak, Umamah dan ‘Ali.
Sepanjang masa kecilnya, Umamah bin Abil ‘Ash benar-benar merasakan kasih sayang sang kakek, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hingga suatu kali, para shahabat tengah duduk di depan pintu rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata beliau muncul dari pintu rumahnya sembari menggendong Umamah kecil. Beliau shalat sementara Umamah tetap dalam gendongannya. Jika beliau ruku’, beliau letakkan Umamah. Bila beliau bangkit, beliau angkat kembali Umamah. Begitu seterusnya hingga beliau menyelesaikan shalatnya.
Suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapatkan hadiah. Di antaranya berupa seuntai kalung. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memungutnya. “Aku akan memberikan kalung ini pada seseorang yang paling kucintai di antara keluargaku,” kata beliau waktu itu. Para istri beliau pun saling berbisik, yang akan memperoleh kalung itu pastilah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Umamah, sang cucu. Beliau pakaikan kalung itu di leher Umamah. “Berhiaslah dengan ini, wahai putriku!” kata beliau. Lalu beliau usap kotoran yang ada di hidung Umamah.
Ketika Abul ‘Ash meninggal, dia wasiatkan Umamah pada Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Tahun terus berganti. Pada masa pemerintahan ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu meminang Umamah. Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu pun menikahkan ‘Ali dengan Umamah. Namun dalam pernikahan ini Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan seorang anak pun kepada mereka.
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah meminta Al-Mughirah bin Naufal Al-Harits bin ‘Abdil Muththalib Al-Hasyimi radhiyallahu ‘anhu agar bersedia menikah dengan Umamah bila dia telah wafat. ‘Ali pun berpesan pula kepada Umamah, bila dia meninggal nanti, dia ridha jika Umamah menikah dengan Al-Mughirah.
Subuh hari, 17 Ramadhan, 40 tahun setelah hijrah. Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan Umamah harus berpisah dengan suaminya. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, terbunuh oleh seorang Khawarij bernama ‘Abdurrahman ibnu Muljam dengan tikaman pedangnya.
Selesai masa iddahnya, Umamah mendapatkan pinangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ’anhuma. Umamah pun segera mengutus seseorang untuk memberitahukan hal ini kepada Al-Mughirah bin Naufal. “Kalau engkau mau, kau serahkan urusan ini padaku,” jawab Al-Mughirah. Umamah pun mengiyakan. Lalu Al-Mughirah meminang Umamah pada Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhuma yang kemudian menikahkan Al-Mughirah dengan Umamah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan pada mereka seorang anak, Yahya ibnul Mughirah namanya. Namun tidak lama hidup bersisian dengan Al-Mughirah, Umamah bintu Abil ’Ash meninggal di masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ’anhuma.
Umamah bintu Abil ‘Ash, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya ….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Selasa, 21 Februari 2012

Pintu Ar-Rayyan Khusus Bagi yang Berpuasa

 PINTU AR-RAYYAN TERKHUSUS BAGI ORANG-ORANG YANG BERPUASA
Oleh: Al-Ustadz Abu Hafsh Marwan

Sajian ini adalah kelanjutan dari materi  lalu dengan judul : “MASUKLAH KE SURGA DARI PINTU MANA SAJA YANG ENGKAU KEHENDAKI”.

Jika seorang wanita berpuasa ramadhan.

Adalah perkara yang kedua dari empat perkara yang seyogyanya dijaga oleh setiap muslimah sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdurrahman bin ‘Auf –radhiallahu’anhu- ia berkata : Bahwa Rasulullah shallalahu’alaihi Wa sallam bersabda : Jika seorang wanita menjaga sholat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan mentaati suaminya maka dikatakan kepada wanita tersebut : “Masuklah ke surga dari pintu mana saja  sesuai yang engkau kehendaki”.

Dari sejumlah perkara yang wajib atas para wanita adalah puasa di bulan Ramadhan. Berkaitan dengan kewajiban tersebut, seorang yang menunaikan kewajiban puasa ramadhan sungguh akan meraih pahala dan keutamaan yang besar. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari sahabat Abu Hurairah – radhiallahu’anhu- ia berkata : bahwa nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
“ Barangsiapa berpuasa ramadhan dengan iman dan berharap pahala dari sisi Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang lalu”

Ibadah puasa adalah termasuk ibadah utama, seseorang menahan makan dan minum serta menjauhi hal-hal yang membatalkan puasa dan yang merusakkan pahalanya. Semua itu dilakukan dengan niat dalam rangka mencari wajah Allah Ta’aala semata.

aSy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam –rahimahullah- bertutur : Puasa adalah termasuk ibadah yang utama, karena pada amalan puasa itu terkumpul tiga jenis kesabaran :
  1. Kesabaran di atas ketaatan kepada Allah Ta’aala.
  2. Kesabaran (dengan menahan diri) dari berbuat kemaksiatan kepada Allah Ta’aala.
  3. Kesabaran terhadap ketentuan taqdir Allah Ta’aala.

Puasa adalah perisai, puasa ramadhan adalah kafarah (penghapus) atas dosa-dosa kecil selama setahun selama seseorang yang menunaikannya menjauhi dosa-dosa besar, dan dengan puasa akan dilipatgandakan pahalanya. Dan terkhusus bagi seorang yang menunaikan puasa akan masuk surga dari pintu khusus yang dinamakan oleh Allah yaitu Ar-Rayyan .
Dari Sahl bin Sa’ad –radhiallahu’anhu- ia berkata : Rasulullah shallallahu’alaihi Wa sallam bersabda : “Sesungguhnya di jannah ada satu pintu yang dinamakan Ar-Rayyan, akan masuk dari pintu tersebut nanti pada hari kiamat orang-orang yang dulunya berpuasa,dan tidaklah masuk dari pintu tersebut selain mereka. Dikatakan : “Mana orang-orang yang dulunya berpuasa? Sehingga mereka masuk dari pintu tersebut, dan jika mereka telah masuk semua, maka ditutuplah pintu tersebut dan tidak ada seorangpun yang masuk selain mereka”.

Jika seorang muslimah telah menunaikan puasa ramadhan dan menegakkan ahkam (hukum-hukum) yang berkaitan dengan puasa ramadhan, maka hendaklah ia tidak melalaikan dari mengerjakan puasa nafilah, sampai ia mendapatkan kecintaan Allah Ta’aala. Seperti puasa 6 hari di bulan sawal, puasa ‘asyuraa (tanggal 9 dan 10 muharram ), puasa hari senin dan kamis, puasa 3 hari setiap bulan  dan memperbanyak puasa di bulan sya’ban dan puasa sunnah yang selainnya yang dituntunkan oleh syari’ah.

Wallahu Ta’aala a’lam.

Dua perkara kelanjutannya  akan kami sampaikan di kesempatan lain.. Insya Allahu Ta’ala.

Senin, 20 Februari 2012

HUKUM SHOLAT JUMAT (BAG II) KHUTBAH JUMAT DAN AMALAN SETELAH SHOLAT JUMAT

Oleh Ustasd Kharisman

1. Apakah khutbah Jumat adalah syarat pelaksanaan Ibadah Sholat Jumat?
Jawab: Ya, khutbah Jumat 2 kali sebelum sholat (Jumat) adalah syarat sah pelaksanaan ibadah sholat Jumat. karena Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam dalam ibadah sholat Jumat tidak pernah meninggalkannya. Pendapat yang menyatakan bahwa khutbah Jumat adalah syarat dalam pelaksanaan ibadah sholat Jumat adalah pendapat Imam 4 madzhab (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad) yang hampir merupakan ijma’ (kesepakatan) seluruh Ulama’. Hanya Hasan al-Bashri yang menyelisihi pendapat tersebut. ( Bisa dilihat pada Khutbatul Jum’ah wa Ahkaamuhal Fiqhiyyah karya Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdillah al-Juhailaan dengan taqdim dari Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalu Syaikh).
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا فَمَنْ نَبَّأَكَ أَنَّهُ كَانَ يَخْطُبُ جَالِسًا فَقَدْ كَذَبَ فَقَدْ وَاللَّهِ صَلَّيْتُ مَعَهُ أَكْثَرَ مِنْ أَلْفَيْ صَلَاةٍ
“Dari Jabir bin Samurah bahwasanya Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam berkhutbah dalam keadaan berdiri kemudian beliau duduk kemudian berdiri berkhutbah. Barangsiapa yang memberitahukan kepadamu bahwa beliau duduk ketika berkhutbah, sungguh ia telah berdusta. Demi Allah aku telah sholat bersama beliau lebih dari 2000 sholat” (H.R Muslim)
2. Bagaimana tata cara khutbah Jumat?
Jawab:
Jika Khotib telah datang, maka ia naik ke atas mimbar mengucapkan salam menghadap ke arah hadirin, kemudian duduk. Selanjutnya muadzin mengumandangkan adzan Jumat sampai selesai. Kemudian Khotib mulai berkhutbah dengan suara keras dalam keadaan berdiri. Dimulai bacaan pujian kepada Allah, bersholawat kepada Nabi. Inti dari materi khutbah adalah memberikan peringatan dan nasehat yang menyentuh dan menggerakkan hati para hadirin untuk semakin takut, ingat, dan bersyukur kepada Allah. Akan lebih baik jika pada khutbah tersebut terdapat hal-hal berikut:
a. Anjuran untuk bertaqwa kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
b. Membaca meski cuma satu ayat AlQuran
c. Berdoa untuk pemerintah dan kaum muslimin secara umum (pada khutbah ke-2)
Khutbah dilakukan 2 kali, dipisahkan dengan duduk di antaranya.
Khotib hendaknya bertumpu/ berpegangan pada suatu tongkat atau semisalnya ;

شَهِدْنَا فِيهَا الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا أَوْ قَوْسٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ كَلِمَاتٍ خَفِيفَاتٍ طَيِّبَاتٍ مُبَارَكَاتٍ
“Kami mengikuti sholat Jumat bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, beliau berdiri dengan bersandar pada tongkat atau busur panah, kemudian beliau memuji Allah dan memujaNya, menyampaikan kalimat-kalimat yang ringan, baik, dan banyak keberkahan (H.R Abu Dawud dari al-Hakam bin Hazn, al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan, dishahihkan oleh Ibnus Sakan dan Ibnu Khuzaimah).
Semestinya khotib juga menghadapkan wajahnya ke arah depan, tidak banyak menoleh ke arah kanan atau kiri, tidak banyak menggerakkan atau memberi isyarat dengan tangannya. Khotib hendaknya menjauhi penyampaian materi khutbah yang tidak ada kaitannya dengan tujuan khutbah Jumat diadakan. Khutbah juga tidak semestinya terlalu panjang sehingga membosankan, tidak pula terlalu pendek sehingga tidak ada faidah ilmu dan penambahan iman bagi jamaah.
3. Apakah diharuskan membaca doa pada saat khutbah?
Jawab:
Tidak diharuskan membaca doa pada saat khutbah, namun disunnahkan. Pada saat berdoa dalam khutbah, seorang Khotib tidak diperbolehkan mengangkat tangan sebagaimana dalam doa-doa lainnya, namun sekedar memberi isyarat dengan jari telunjuk.

عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ أنه رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ (زاد أبو داود : وَهُوَ يَدْعُو فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ) فَقَالَ: ( قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ (رواه مسلم وأبو داود)
Dari Umaroh bin Ruaybah bahwasanya ia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat tangannya ketika berada di atas mimbar (dalam lafadz Abu Dawud: ‘pada saat berdoa hari Jumat), maka beliau berkata: Semoga Allah menjelekkan kedua tangan tersebut, sungguh aku telah melihat Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam tidaklah menambah kecuali hanya begini (beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk” (H.R Muslim dan Abu Dawud).
Imam anNawawi berkata: Dalam hadits ini terkandung dalil bahwa yang disunnahkan pada saat berdoa dalam khutbah adalah tidak mengangkat tangan. Ini adalah pendapat Malik dan Sahabat-sahabat kami (madzhab Asy-Syafi’i). Namun, untuk pelaksanaan doa pada istisqo’ yang bertepatan dengan Jumat, maka disunnahkan mengangkat tangan bagi Imam ketika berdoa sesuai hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik. Hadits tersebut menunjukkan disyariatkannya berdoa dalam khutbah, terbukti dengan persaksian Umaroh bin Ruaybah bahwa ia pernah melihat Nabi berdoa mengisyaratkan dengan jari telunjuk pada saat berkhutbah.
Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa Nabi senantiasa berdoa untuk kaum mukminin dan mukminat pada setiap khutbah Jumat adalah hadits lemah riwayat al-Bazzar. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengisyaratkan kelemahan itu dalam kitab Bulughul Maram. Karena hadits tersebut lemah, maka membaca doa dalam khutbah bukanlah suatu keharusan (bukan rukun ataupun kewajiban khutbah).
4. Apakah khutbah Jumat harus dalam bahasa Arab?
Jawab:
Khutbah Jumat tidak harus menggunakan bahasa Arab jika memang para hadirin adalah orang-orang yang tidak memahami pembicaraan dalam bahasa Arab. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman :
مَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ
“Tidaklah kami mengutus Rasul kecuali dengan menggunakan bahasa kaumnya untuk menjelaskan kepada mereka” (Q.S Ibrahim:4)
Namun untuk ayat-ayat AlQur’an yang dibaca, seharusnya membaca sebagaimana lafadz aslinya, barulah kemudian diterjemahkan. Tidak seperti sebagian khotib yang membaca ayat-ayat AlQuran hanya dengan terjemahannya saja (disarikan dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’).
5. Seseorang yang baru datang pada saat Imam sudah naik ke atas mimbar, apa yang seharusnya dia lakukan?
Jawab:

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا
“Jika datang seseorang pada hari Jumat, sedangkan Imam sedang berkhutbah, maka hendaknya dia sholat 2 rokaat dan meringkasnya” (H.R Muslim)
Al-Imam Asy-Syafi’i dan Ahmad berdalil dengan hadits ini bahwa seseorang yang masuk masjid dalam keadaan Imam sedang berkhutbah, maka hendaknya ia sholat tahiyyatul masjid terlebih dahulu. Jika seseorang tiba di masjid saat telah dikumandangkan adzan pada saat Imam sudah di atas mimbar, hendaknya ia segera sholat 2 rokaat, tidak menunggu selesainya adzan, karena yang lebih diutamakan adalah upaya agar bisa menyimak khutbah dari sejak awal (Fatwa Syaikh Sholih al-Fauzan).
Adapun jika datangnya pada saat adzan pertama, tidak mengapa ia menunggu dan menjawab ucapan muadzin sampai selesai sebagaimana terdapat keutamaan mengucapkan ucapan sebagaimana ucapan muadzin, kemudian barulah ia melakukan sholat 2 rokaat tahiyyatul masjid dengan ringkas.

إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ
“Jika kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah sebagaimana ucapan muadzin” (Muttafaqun ‘alaih).
6. Apa saja yang harus dan yang tidak boleh dilakukan oleh hadirin yang mendengarkan khutbah Jumat?
Jawab:

يَحْضُرُ الْجُمُعَةَ ثَلَاثَةٌ فَرَجُلٌ حَضَرَهَا يَلْغُو فَذَاكَ حَظُّهُ مِنْهَا وَرَجُلٌ حَضَرَهَا بِدُعَاءٍ فَهُوَ رَجُلٌ دَعَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَإِنْ شَاءَ أَعْطَاهُ وَإِنْ شَاءَ مَنَعَهُ وَرَجُلٌ حَضَرَهَا بِإِنْصَاتٍ وَسُكُوتٍ وَلَمْ يَتَخَطَّ رَقَبَةَ مُسْلِمٍ وَلَمْ يُؤْذِ أَحَدًا فَهِيَ كَفَّارَةٌ إِلَى الْجُمُعَةِ الَّتِي تَلِيهَا وَزِيَادَةُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ { مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا }(رواه أحمد, وأبو داود, وابن خزيمة و البيهقي )
“Tiga macam orang yang hadir pada sholat Jumat: (pertama) seseorang yang hadir dalam keadaan melakukan hal-hal yang sia-sia, maka itulah bagiannya (kesia-siaan), (kedua) seseorang yang hadir Jumat dengan berdoa kepada Allah Azza Wa Jalla, jika Allah kehendaki, Allah beri, jika Allah kehendaki Allah tahan (terkabulnya doa tsb), dan (ketiga) seseorang yang hadir dalam keadaan diam dan tenang dan tidak menyeruak dan memisahkan di antara dua muslim yang duduk, dan tidak menyakiti siapapun, maka itu adalah penebus dosa sampai Jumat selanjutnya dengan tambahan 3 hari, karena Allah berfirman: barangsiapa yang berbuat satu kebaikan, maka ia mendapat 10 kali lipat semisalnya (Q.S al-An’aam:160)(H.R Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan alBaihaqy, dihasankan oleh Syaikh al-Albaany).
Yang harus dilakukan oleh orang yang menghadiri Jumat adalah dia diam dan mendengarkan khutbah dengan baik. Sedangkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan:
Tidak boleh ia berbicara kepada siapapun, termasuk menyuruh diam orang yang berbicara, membalas salam hadirin yang baru datang, atau mengucapkan yarhamukallaah ketika ada yang bersin, tidak boleh menyibak di antara 2 orang (melangkahi pundak hadirin yang duduk). Tidak boleh pula menyakiti jamaah yang lain, dalam bentuk apapun, seperti menduduki sebagian pakaian atau anggota tubuh jamaah yang lain, atau menimbulkan bau tubuh/ pakaian yang tidak sedap, dan gangguan-gangguan yang lain (Lihat Aunul Ma’bud syarh Sunan Abi Dawud).
Dalam kondisi mendesak atau dibutuhkan hadirin/ makmum boleh berbicara untuk kemaslahatan, seperti membenarkan bacaan Khotib yang salah dalam membaca ayat al-Quran yang berakibat kesalahan makna. Demikian juga, boleh bagi Imam untuk berbicara kepada seorang hadirin untuk suatu kemaslahatan, misalkan jika pengeras suara mengalami gangguan dan perlu sedikit pembenahan (penjelasan Syaikh al-Utsaimin dalam Syarhul Mumti’)
7. Jika Khotib menyebutkan tentang Nabi, apakah makmum juga disunnahkan membaca sholawat?
Jawab : Syaikh Bin Baz menjelaskan bahwa tidak mengapa seseorang makmum mengaminkan doa atau mengucapkan sholawat pada saat mendengar khutbah jika disebutkan nama Nabi. karena hal itu bukan termasuk laghwun (kesia-siaan), namun dengan suara yang tidak keras. Jika ia diam, juga tidak mengapa. karena saat khutbah adalah saat yang diperintahkan makmum untuk diam dan menyimak. Yang dilarang adalah mengaminkan dan membaca sholawat dengan suara yang keras (Majmu’ Fataawa Bin Baz juz 30 halaman 242).
8. Apakah jika Khotib membaca doa, makmum yang mendengarkan doa juga mengaminkan dan mengangkat tangan?
Jawab: Makmum mengaminkan dengan suara yang cukup didengar oleh dirinya sendiri (tidak dikeraskan) dengan tidak mengangkat tangan (penjelasan Syaikh Sholih alFauzan dalam al-Mulakhkhosh al-Fiqhiy)
Demikian juga penjelasan Imam anNawawi dalam Syarh Shohih Muslim
9. Seseorang mengantuk ketika mendengarkan khutbah, apakah ia harus berwudlu’ lagi? Apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang tersebut?
Jawab:
Mengantuk bisa membatalkan wudlu’, bisa juga tidak membatalkan. Batasannya adalah: jika dalam kondisi mengantuk tersebut ia sempat tertidur sampai jika seandainya ia berhadats, ia tidak merasakan, maka mengantuk yang demikian membatalkan wudlu’ (pendapat Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, dinukil Syaikh al-Utsaimin dalam Syarhul Mumti’).
Seseorang yang mengantuk sebaiknya berpindah tempat selama masih memungkinkan untuk berpindah dan perpindahan itu tidak mengganggu orang lain dan tidak menyibak/melangkahi pundak orang yang duduk.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَلْيَتَحَوَّلْ مِنْ مَجْلِسِهِ ذَلِكَ
Dari Ibnu Umar dari Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: Jika salah seorang dari kalian mengantuk pada hari Jumat, maka hendaknya berpindah dari tempat duduknya tersebut” (H.R Abu Dawud, atTirmidzi dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, adz-Dzahaby menyatakan bahwa hadits tersebut sesuai dengan syarat (Imam) Muslim).
10.Apakah sebaiknya Khotib merangkap sebagai Imam, atau Imam sholat adalah Imam rowatib pada masjid tersebut?
Jawab:
Sebaiknya Khotib adalah juga sebagai Imam jika hal tersebut memang dimaklumi oleh Imam rowatibnya, karena memang dalam hadits-hadits yang shohih, Nabi menyebut khotib yang berkhutbah sebagai Imam. di antaranya pada hadits-hadits:

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا
“Jika datang seseorang pada hari Jumat, sedangkan Imam sedang berkhutbah, maka hendaknya dia sholat 2 rokaat dan meringkasnya” (H.R Muslim)

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Jika engkau berkata kepada temanmu : ‘diamlah’, pada hari Jumat sedangkan Imam sedang berkhutbah, maka engkau telah melakukan kesia-siaan” (Muttafaqun ‘alaih)
Namun jika Imam rowatib berpendapat bahwa dialah yang lebih berhak untuk menjadi Imam, karena keumuman dalil yang ada. janganlah seseorang khotib memaksakan dirinya untuk menjadi Imam sholat Jumat, karena Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يُؤَمُّ الرَّجُلُ فِي سُلْطَانِهِ
“Janganlah seseorang diimami dalam kekuasaannya (tanpa seijinnya)”(H.R atTirmidzi, anNasaai).
11. Bagaimana tata cara sholat Jumat?
Jawab : Sholat Jumat adalah 2 rokaat setelah dilakukan 2 kali khutbah Jumat, dengan tata cara seperti sholat 2 rokaat yang lain, hanya saja bacaan Al-Fatihah dan surat AlQuran yang dibaca Imam dibaca dengan suara keras (jahriyyah).
12. Surat apa yang disunnahkan dibaca dalam sholat Jumat?
Jawab: Surat yang disunnahkan dibaca dalam sholat Jumat adalah :
a. Surat al-Jumu’ah pada rokaat pertama dan surat al-Munafiquun pada rokaat kedua (hadits riwayat Muslim dari Ibnu Abbas), atau
b. Surat al-A’laa (Sabbihisma Robbikal A’la) pada rokaat pertama dan al-Ghosyiyah pada rokaat kedua (hadits riwayat Muslim dari an-Nu’man bin Basyiir)
Kalau seandainya Imam membaca selain surat-surat tersebut, tidak mengapa.
13. Bagaimana jika seseorang masbuq atau ketinggalan sholat Jumat, apa yang harus dilakukannya?
Jawab:
Seseorang yang masbuq dalam sholat Jumat ada beberapa keadaan:
a. Dia mendapati Imam dalam keadaan ruku’ di rokaat pertama, atau mendapati Imam dalam keadaan sebelumnya (sempat mendapatinya dalam keadaan berdiri), maka ia salam bersama Imam.
b. Dia mendapati Imam sudah melewati masa bangkit ruku’ menuju I’tidal di rokaat pertama sampai pada keadaan Imam belum bangkit dari ruku’ di rokaat kedua, maka ia menambah kekurangan sholatnya 1 rokaat.
c. Di mendapati sholat dalam keadaan Imam sudah melewati masa bangkit ruku’ di rokaat kedua maka ia tidak terhitung mendapatkan 1 rokaat pun bersama Imam, sehingga setelah alami a tambah 4 rokaat.
Ibnu Mas’ud menyatakan:

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْجُمُعَةِ فَلْيُصَلِّ إِلَيْهَا أُخْرَى ، وَمَنْ لَمْ يُدْرِكَ الرُّكُوعَ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا
“Barangsiapa yang mendapati satu rokaat Jumat hendaknya ia sholat (kekurangan rokaat) yang lain. Barangsiapa yang tidak mendapatkan ruku’, hendaknya ia sholat 4 rokaat”(riwayat Ibnu Abi Syaibah).
14. Apakah ada sholat sunnah setelah sholat Jumat? Berapa rokaat?
Jawab: Ya, jika seseorang sholat sunnah setelah sholat Jumat di masjid maka ia lakukan 4 rokaat dengan 2 salam, sebagaimana hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا
Dari Abu Hurairah beliau berkata Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Jika salah seorang dari kalian sholat Jumat, maka hendaknya ia sholat setelahnya 4 rokaat (H.R Muslim).
Jika ia melakukannya di rumah (sepulang dari masjid) maka hendaknya ia lakukan 2 rokaat ;

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بَعْدَ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ
Dari Ibnu Umar beliau berkata adalah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam sholat setelah Jumat dua rokaat di rumahnya (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, anNasaai, Ahmad. Al-Iraqy menyatakan bahwa sanad haditsnya shahih).
Pembagian keadaan 4 rokaat jika di masjid dan 2 rokaat jika di rumah tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan dinukil oleh Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’aad.
Sedangkan Imam Ahmad berpendapat: siapa yang mau, ia bisa melakukan 2 rokaat, atau 4 rokaat, atau 6 rokaat. Mana saja yang ia pilih, itu sesuai dengan yang pernah dilakukan Nabi (Lihat Taudhihul Ahkaam karya Syaikh Aalu Bassam juz 2 halaman 235)
15. Apakah setelah sholat Jumat disunnahkan membaca AlFatihah 7x, al-Ikhlas 7x, al-Falaq 7x, dan anNaas 7x ?
Jawab:
Terdapat suatu hadits yang menyatakan:

من قرأ بعد صلاة الجمعة : قل هو الله أحد ، و قل أعوذ برب الفلق ، و قل أعوذ برب الناس سبع مرات ، أعاذه الله عز وجل من السوء إلى الجمعة الأخرى
Barangsiapa yang membaca setelah selesai sholat Jumat: Qul huwallaahu Ahad, Qul A’udzu birobbil falaq dan Qul A’udzu birobbinnaas 7 kali Allah akan melindunginya dari keburukan sampai Jumat selanjutnya (riwayat IbnusSunni dalam Amalul Yaum Wallailah dari Aisyah).
Namun hadits ini lemah, sebagaimana diisyaratkan oleh AlHafidz Ibnu Hajar. Di dalam perawinya ada al-Kholil bin Murroh yang sangat lemah dan dikatakan sebagai munkarul hadits oleh Imam AlBukhari. Hadits ini juga tidak bisa dikuatkan dengan jalur lain yang mursal dari Makhul. Karena selain kemursalannya, terdapat perawi Farj bin Fadholah yang dinyatakan juga munkarul hadits oleh Imam AlBukhari serta Ibnu Hibban menyatakantidak boleh berhujjah dengannya.
Karena itu, tidak disunnahkan membaca bacaan tersebut.
Syaikh Sholih al-Fauzan menjelaskan bahwa bacaan dzikir yang disunnahkan dibaca selepas sholat Jumat adalah sebagaimana bacaan dzikir selepas sholat fardlu yang lain.
Wallaahu A’lam .

Minggu, 19 Februari 2012

FATWA SYAIKH AR-RAJIHI TENTANG KEKAFIRAN DAN KEMURTADAN

Oleh Ustadz Kharisman
Pertanyaan : Kapan terjadi kufur akbar atau kemurtadan (keluar dari Islam)? Apakah hal itu khusus terkait dengan keyakinan (i’tiqad) , penentangan, dan pendustaan saja atau lebih umum dari itu?
Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi –semoga Allah mengampuninya- berkata:
Bismillaahirrohmaanir rohiim. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Sholawat, salam, dan keberkahan dari Allah semoga tercurah kepada hamba Allah dan RasulNya, Nabi kita dan Imam, dan pemimpin kita, Muhammad bin Abdillah, dan kepada keluarga, Sahabat, serta orang-orang yang mengikutinya hingga (mendekati) hari kiamat. Amma ba’du :
Sesungguhnya kekafiran dan kemurtadan – wal-Iyaadzu billah- terjadi karena beberapa hal:
- Penentangan terhadap sesuatu yang sudah jelas dalam agama
- Melakukan perbuatan kufur
- Mengucapkan ucapan kufur
- Meninggalkan atau berpaling dari agama Allah Azza Wa Jalla
Bisa juga dalam bentuk kekufuran dalam keyakinan, seperti jika seseorang berkeyakinan bahwa Allah memiliki istri dan anak, atau berkeyakinan bahwa Allah memiliki sekutu dalam KekuasaanNya, atau berkeyakinan bahwa bersama Allah ada pihak lain yang mengatur segala sesuatu ini, atau berkeyakinan bahwa ada pihak yang berserikat dengan Allah dalam Nama dan Sifat-SifatNya, atau berkeyakinan bahwa ada pihak lain yang berhak mendapatkan ibadah selain Allah, atau berkeyakinan adanya pihak lain yang bersekutu dalam Rububiyyah Allah, maka orang yang demikian dikafirkan dengan keyakinan ini dengan kekafiran yang keluar dari Islam.
Kekufuran juga bisa berupa perbuatan, seperti seseorang yang bersujud kepada berhala, melakukan perbuatan sihir, atau melakukan perbuatan kesyirikan seperti berdoa kepada selain Allah, menyembelih untuk selain Allah, bernadzar untuk selain Allah, atau thawaf di Baitullah sebagai bentuk taqorrub kepada selain Allah. Maka kekufuran juga bisa terjadi karena perbuatan sebagaimana pada ucapan.
Kekufuran dalam bentuk ucapan seperti seseorang yang mencela Allah atau mencela Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam atau mencela agama Islam atau mengejek Allah, KitabNya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam atau agamanya. Allah berfirman kepada sekelompok orang dalam perang Tabuk yang mengejek Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabatnya :
{ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ }{ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ }
Katakanlah : Apakah kepada Allah, ayat-ayatNya, dan RasulNya kalian mengejek? Janganlah meminta maaf, kalian telah kafir setelah keimanan kalian (Q.S atTaubah:65-66)
(Dalam ayat ini) Allah menetapkan kekufuran bagi mereka setelah keimanan. Hal ini menunjukkan bahwa kekufuran bisa terjadi dengan perbuatan, keyakinan, dan juga ucapan, sebagaimana disebutkan dalam ayat (di atas) karena mereka menjadi kafir dengan sebab ucapan.
Kekufuran bisa berupa penentangan. Penentangan dan keyakinan bisa merupakan satu kesatuan. Kadang pula diantara keduanya ada perbedaan. Bentuk penentangan misalkan: menentang perkara yang sudah sangat jelas dalam agama, seperti menentang Rububiyyah dan Uluhiyyah Allah, menentang bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak diibadahi, menentang salah satu Malaikat, Rasul, Kitab yang diturunkan, menentang akan dibangkitkannya makhluk, menentang Jannah, dan anNaar, pembalasan (dari Allah), Hisab (perhitungan pada hari kiamat), atau menentang wajibnya sholat, zakat, kewajiban haji, shaum (di bulan Ramadlan), kewajiban berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturrahmi, dan hal-hal selainnya yang telah sangat jelas kewajibannya dalam agama secara dharuri. Atau menentang pengharaman zina, riba, meminum khamr, durhaka kepada kedua orangtua, memutus silaturrahmi, pengharaman menyuap (risywah) , atau yang selainnya yang telah sangat jelas pengharamannya dalam agama.
Kekufuran juga bisa dalam bentuk berpaling dari agama Allah, meninggalkan, menolak agama Allah, seperti berpaling dari agama Allah, tidak mau mempelajarinya dan tidak mau beribadah kepada Allah. Maka ia dikafirkan dari sikap berpaling ini. Allah Ta’ala berfirman:
{ وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَ }
Dan orang-orang kafir berpaling dari peringatan (kepada mereka)(Q.S al-Ahqaaf:3)
Dan Allah Ta’ala berfirman :
{ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ }
Dan siapakah yang lebih dzhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang – orang yang berdosa (Q.S as-Sajdah:22)
Sehingga kekufuran bisa dalam bentuk keyakinan, penentangan, bisa dengan perbuatan, ucapan, maupun sikap berpaling, meninggalkan, dan menolak.
Barangsiapa yang dipaksa untuk mengucapkan ucapan kekufuran atau untuk berbuat kekufuran, maka orang tersebut mendapatkan udzur (tidak berdosa, pent) jika pemaksaan itu benar-benar keras (dalam keadaan genting). Contoh: Seseorang yang mampu untuk membunuhnya mengancam dengan ancaman bunuh atau meletakkan pedang di lehernya maka orang yang (dipaksa) demikian mendapatkan udzur jika ia melakukan kekufuran atau berkata dengan ucapan kekufuran, dengan syarat hatinya tetap tenang dalam keimanan. Adapun jika hatinya tenang dalam kekafiran, maka ia menjadi kufur sekalipun dalam kondisi terpaksa. Kita meminta keselamatan dan afiat kepada Allah.
Orang yang melakukan perbuatan kekafiran ada 5 keadaan:
1. Melakukan perbuatan kekafiran secara sungguh-sungguh, maka ini dikafirkan
2. Melakukan perbuatan kekafiran dengan bergurau, maka ini dikafirkan
3. Melakukan perbuatan kekafiran karena takut, maka ini dikafirkan
4. Melakukan perbuatan kafir dalam kondisi dipaksa dan hatinya tenang dalam kekafiran, maka ini dikafirkan
5. Melakukan perbuatan kekafiran dalam kondisi dipaksa sedangkan hatinya tenang dalam keimanan, maka orang semacam ini tidak dikafirkan berdasarkan firman Allah Ta’ala :
{ مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ }{ ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ }
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (ia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar . Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat,, dan bahwasanya Allah tiada member petunjuk kepada kaum yang kafir (Q.S anNahl: 107-108)
(As-ilah wa Ajwibah fil Iman wal kufr – arRaajihi halaman 7)
Nash asli :
السؤال الأول :
بم يكون الكفر الأكبر أو الردة ؟ هل هو خاص بالاعتقاد والجحود والتكذيب أم هو أعم من ذلك ؟
فقال الشيخ غفر الله له :
بسم الله الرحمن الرحيم ، الحمد لله رب العالمين ، وصلى الله وسلم وبارك على عبد الله ورسوله نبينا وإمامنا وقائدنا محمد بن عبد الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين ……..أما بعد :
فإن الكفر والردة – والعياذ بالله – تكون بأمورٍ عدة :
- فتكون بجحود الأمر المعلوم من الدين بالضرورة .
- وتكون بفعل الكفر .
- وبقول الكفر .
- وبالترك والإعراض عن دين الله عز وجل.
فيكون الكفر بالاعتقاد كما لو اعتقد لله صاحبة ًأو ولدا أو اعتقد أن الله له شريك في الملك أو أن الله معه مدبرٌ في هذا الكون أو اعتقد أن أحدا يشارك الله في أسمائه أو صفاته أو أفعاله أو اعتقد أن أحدا يستحق العبادة غير الله أو اعتقد أن لله شريكا في الربوبية فإنه يكفر بهذا الاعتقاد كفرا أكبر مخرجا من الملة .
ويكون الكفر بالفعل كما لو سجد للصنم أو فعل السحر أو فعل أي نوع من أنواع الشرك كأن دعا غير الله أو ذبح لغير الله أو نذر لغير الله أو طاف بغير بيت الله تقربا لذلك الغير فالكفر يكون بالفعل كما يكون بالقول .
* ويكون الكفر بالقول كما لو سب الله أو سب رسوله صلى الله عليه وسلم أو سب دين الإسلام أو استهزأ بالله أو بكتابه أو برسوله صلى الله عليه وسلم أو بدينه ، قال الله تعالى في جماعة في غزوة تبوك استهزؤوا بالنبي صلى الله عليه وسلم وبأصحابه : { قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ }{ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ } فأثبت لهم الكفر بعد الإيمان فدل على أن الكفر يكون بالفعل كما يكون بالاعتقاد ويكون بالقول أيضا كما سبق في الآية فإن هؤلاء كفروا بالقول .
* ويكون الكفر بالجحود والاعتقاد وهما شيء واحد وقد يكون بينهما فرق فالجحود كأن يجحد أمرًا معلوما من الدين بالضرورة كأن يجحد ربوبية الله أو يجحد ألوهية الله أو استحقاقه للعبادة أو يجحد ملكا من الملائكة أو يجحد رسولا من الرسل أو كتابا من الكتب المنزلة أو يجحد البعث أو الجنة أو النار أو الجزاء أو الحساب أو ينكر وجوب الصلاة أو وجوب الزكاة أو وجوب الحج أو وجوب الصوم أو يجحد وجوب بر الوالدين أو وجوب صلة الرحم أو غير ذلك مما هو معلوم من الدين بالضرورة وجوبه أو يجحد تحريم الزنا أو تحريم الربا أو تحريم شرب الخمر أو تحريم عقوق الوالدين أو تحريم قطيعة الرحم أو تحريم الرشوة أو غير ذلك مما هو معلوم من الدين بالضرورة تحريمه .
* ويكون الكفر بالإعراض عن دين الله والترك والرفض لدين الله كأن يرفض دين الله بأن يعرض عن دين الله لا يتعلمه ولا يعبد الله فيكفر بهذا الإعراض والترك قال الله تعالى : { وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَ } وقال تعالى : { وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ } .
فالكفر يكون بالاعتقاد ويكون بالجحود ويكون بالفعل ويكون بالقول ويكون بالإعراض والترك والرفض .
ومن أُكره على التكلم بكلمة الكفر أو على فعل الكفر فإنه يكون معذورا إذا كان الإكراه ملجئا كأن يُكرهه إنسان قادر على إيقاع القتل به فيهدده بالقتل وهو قادر أو يضع السيف على رقبته فإنه يكون معذورا في هذه الحالة إذا فعل الكفر أو تكلم بكلمة الكفر بشرط أن يكون قلبه مطمئنا بالإيمان ، أما إذا اطمئن قلبه بالكفر فإنه يكفر حتى مع الإكراه نسأل الله السلامة والعافية .
فالذي يفعل الكفر له خمس حالات :
1- إذا فعل الكفر جادا فهذا يكفر .
2- إذا فعل الكفر هازلا فهذا يكفر .
3- إذا فعل الكفر خائفا فهذا يكفر .
4- إذا فعل الكفر مكرها واطمئن قلبه بالكفر فهذا يكفر .
5- إذا فعل الكفر مكرها واطمئن قلبه بالإيمان فهذا لا يكفر لقول الله تعالى { مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ }{ ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ } .

Sabtu, 18 Februari 2012

Mengenalkan Anak Pada Tauhid

Mengenalkan anak pada tauhid
Oleh: Al Ustadz Ayip Syafruddin
Saat anak mampu berbicara, kenalkanlah pada kalimat tauhid La Ilaaha Illallah, Muhammad Rasulullah, ajari cara mengucapkannya dengan talqin yaitu dengan cara orang tua mengucapkan kalimat tauhid lalu anak menirukannya. Biasakan anak mendengar kalimat thayyibah ( La ilaaha illallah). Dengan sering memperdengarkan kalimat tersebut diharap memudahkan anak untuk menirukannya.
Ajari juga anak mengenal Allah Ta’ala, seperti mengajari bahwa Allah Ta’ala berada diatas langit, Allah Maha Melihat, Allah Maha Mendengar apa saja yang dibicarakan manusia. Dengan ilmu Allah, Dia senantiasa mengawasi makhluk-Nya. Demikian dijelaskan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Tuhfatul wadud bi Ahkamil Maulud.
Dalam hadits Mu’awiyyah bin Hakam As-Sulaimi radhiyallahu ‘anhu, melalui metode dialog, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengajari seorang budak anak wanita berkenaan tentang tauhid. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada anak wanita tersebut, “Dimana Allah?”. Anak wanita itu pun menjawab “Allah di atas langit”. Kemudian beliau bertanya lagi, “Siapa saya?” Jawab gadis belia, “Engkau Rasulullah (utusan Allah).” Kemudian Rasulullah memerintahkan agar anak wanita itu dibebaskan dari status budaknya, “Dia seorang mukminah”(HR: Abu Daud No.930) di shahihkan Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah).
Begitulah metode belajar yang di contohkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, ringan, mengalir dan tidak terkesan kaku. Metode demikian akan mampu menggugah rasa keingin tahuan anak yang lebih luas dan dalam. Anak dibawa untuk berfikir secara ramah dan tidak terkesan memaksa.
Mengajari tauhid merupakan metode para Nabi dan Rasul Allah. Para Nabi dan Rasul Allah menyampaikan kepada ummat tentang tauhid. Bahkan, menyampaikan masalah tauhid adalah perkara yang pertama dan utama, karena dengan memahami dan meyakini perkara tauhid akan menjauhkan diri dari kesyirikan.
Nabi Hud yang diutus kepada kaum ‘Ad, Nabi Shalih yang diutus kepada kaum Tsamud, dan Nabi Syu’aib yang diutus kepada penduduk Madyan, mereka semua para Nabi menyampaikan pesan dakwah tauhid,
أُعْبُدُ اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلآهٍ غَيْرُهُ
“Sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada ilah (sesembahan) bagimu (yang berhak diibadahi) selain-Nya.”(Al-A’raf: 65, 78, 85).

Demikian sunnah para nabi dan rasul, bersemangat dalam menyampaikan dakwah tauhid. Tentu saja, anak yang merupakan buah hati jangan sampai terlupakan untuk diajari tentang tauhid. Tanamkan iman didalam dadanya, semoga sang anak tumbuh menjadi insan yang shalih serta senantiasa mentauhidkan Rabb-nya. Amiin…
Wallahu A’lam.

Kamis, 16 Februari 2012

Meraih Pahala yang tak Terbatas dengan Sabar


Oleh: Abu Umar Al Bankawy

Sabar adalah salah satu karakteristik yang wajib dimiliki oleh seorang muslim. Di dalam Al Qur’an, Allah memerintahkan kita untuk bersabar. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (Ali Imran: 200)
Apa itu sabar? Apa saja keutamaan sabar? Bagaimana pula cara agar bisa bersabar ketika mendapatkan musibah? Secara bahasa, makna sabar adalah menahan. Adapun secara syar’i, sabar bermakna menahan diri dalam tiga perkara:
1. Ketika menjalankan ketaatan kepada Allah.
Seseorangnya hendaknya bersabar, sampai dia menunaikan apa yang Allah ta’ala perintahkan.
2. Dari bermaksiat kepada Allah
Yaitu dengan tidak mengerjakan segala sesuatu yang Allah larang serta menjauhinya.
3. Ketika menghadapi musibah yang Allah takdirkan
Yaitu dengan menahan diri untuk tidak murka atau menggerutu terhadap musibah yang menimpa baik dengan lisan, maupun dengan perbuatan.

Keutamaan Sifat Sabar

Sabar memiliki banyak keutamaan yang telah Allah ta’ala kabarkan di dalam Al Qur’an dan demikian juga di dalam sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara keutamaan tersebut adalah:
1. Berita gembira berupa pahala yang tak terbatas bagi orang-orang penyabar.
Di dalam Al Qur’an, Allah ta’ala berfirman :
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar itu akan dipenuhi pahala mereka dengan tiada hitungannya.” (Az Zumar: 10)
Allah juga berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Sesungguhnya Kami akan memberikan cobaan sedikit kepadamu semua seperti ketakutan, ketaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, kemudian sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al Baqarah: 155)
Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata di dalam tafsir beliau,
“Barang siapa yang Allah beri taufiq untuk bersabar ketika terjadinya musibah-musibah ini maka dia pun menahan dirinya dari kemurkaan baik dalam ucapan maupun perbuatan, dan dia pun mengharapkan pahala dari sisi Allah. Dia pun mengetahui pahala yang dia peroleh lebih besar daripada musibah yang menimpanya, bahkan musibah tersebut telah menjadi sebuah kenikmatan baginya, karena musibah ini adalah telah menjadi jalan baginya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dan lebih bermanfaat baginya. Sesungguhnya orang yang bersabar telah menunaikan apa yang menjadi perintah Allah dan telah sukses meraih pahala. Oleh karena itu Allah lalu berfirman,
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Kemudian sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Yaitu sampaikanlah berita gembira bahwa mereka telah memperoleh pahala yang tak terbatas (atas kesabaran mereka).”
2. Surga bagi orang yang bersabar .
Allah berfirman ;
إِنِّي جَزَيْتُهُمُ الْيَوْمَ بِمَا صَبَرُوا أَنَّهُمْ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Sesungguhnya Aku memberi balasan kepada mereka di hari ini, karena kesabaran mereka; sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang.” (Al Mu’minum: 111)
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ الله – عز وجل – ، قَالَ : إِذَا ابْتَلَيْتُ عبدي بحَبيبتَيه فَصَبرَ عَوَّضتُهُ مِنْهُمَا الجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wajalla berfirman: “Apabila Aku memberi cobaan kepada hambaKu dengan melenyapkan kedua perkara yang dia cintai (yakni kedua matanya), kemudian ia bersabar, maka untuknya akan Kuberi ganti surga karena kehilangan keduanya.” (HR. Al Bukhari)
3. Sabar adalah sebab pertolongan
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan mengerjakan shalat sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Al Baqarah: 153)
Kesabaran adalah sebab pertolongan terbesar dalam setiap perkara. Sesorang akan dapat meraih segala sesuatu asal dia bersabar. Dia dapat menjalankan ketaatan yang Allah perintahkan dengan tanpa beban, dan demikian pula dia bisa meninggalkan segala sesuatu yang Allah larang walaupun hal tersebut sangat menggoda hawa nafsunya. Dia tidak akan dapat melakukan ini semua tanpa kesabaran.
4. Sabar adalah Tanda Keimanan
Di dalam hadits yang diriwayatkan sahabat Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَجَباً لأمْرِ المُؤمنِ إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خيرٌ ولَيسَ ذلِكَ لأَحَدٍ إلاَّ للمُؤْمِن : إنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكانَ خَيراً لَهُ ، وإنْ أصَابَتْهُ ضرَاءُ صَبَرَ فَكانَ خَيْراً لَهُ
“Amat menakjubkan keadaan orang mu’min itu, sesungguhnya semua keadaannya itu adalah merupakan kebaikan baginya dan kebaikan yang sedemikian itu tidak akan ada lagi seorangpun melainkan hanya untuk orang mu’min itu belaka. Apabila ia mendapatkan kelapangan hidup, iapun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan baginya. Apabila ia ditimpa musibah, maka iapun bersabar dan hal inipun adalah merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Bagaimana Agar Bisa Bersabar Ketika Mendapatkan Musibah Termasuk pembahasan penting yang berkaitan dengan kesabaran adalah bagaimana caranya agar kita bisa bersabar ketika Allah timpakan musibah kepada diri kita. Beberapa perkara yang perlu dilakukan ketika ditimpa musibah adalah:
1. Menyadari bahwa semuanya telah ditakdirkan oleh Allah
Di dalam hadits dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ أحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ في بَطْنِ أُمِّهِ أربَعِينَ يَوماً نُطْفَةً ، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذلِكَ ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذلِكَ ، ثُمَّ يُرْسَلُ المَلَكُ ، فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ ، وَيُؤْمَرُ بِأرْبَعِ كَلِمَاتٍ : بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ
“Sesungguhnya setiap orang diantara kamu dikumpulkan kejadiannya di dalam rahim ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqoh(segumpal darah) selama waktu itu juga (empat puluh hari), kemudian menjadi mudhghoh (segumpal daging) selama waktu itu juga, lalu diutuslah seorang malaikat kepadanya, lalu malaikat itu meniupkan ruh padanya dan ia diperintahkan menulis empat kalimat: Menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan nasib celakanya atau keberuntungannya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Apabila seseorang memahami betul bahwa musibah yang menimpa adalah takdir yang telah Allah atur, maka akan lapanglah dadanya, dan terhindarlah dia dari kesedihan dan beban.
2. Mengoreksi Dosa-dosa yang telah dilakukan Salah satu perkara yang bisa membuat kita bersabar adalah mengoreksi dosa-dosa yang pernah kita perbuat. karena sesungguhnya musibah yang kita alami adalah buah perbuatan kita sendiri.
sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy Syura: 30)
Dengan mengoreksi dosa-dosa, seseorang akan tersibukkan untuk bertaubat dan beristighfar, memohon ampunan kepada Allah. Ini semua akan melahirkan kesabaran pada dirinya.
<3. Mengingat-ingat pahala yang Allah janjikan.
bagi orang yang bersabar Hendaknya ketika ditimpa musibah dia mengulang-ngulang firman Allah,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar itu akan dipenuhi pahala mereka dengan tiada hitungannya.” (Az Zumar: 10)
Ini agar dia menyadari bahwa kesabarannya dalam menghadapi musibah akan diganjar kelak oleh Allah subhanahu wata’ala tanpa batas. Demikianlah sedikit pembahasan tentang sabar. Insya Allah pada kesempatan yang akan datang kita akan membahas tentang “kejujuran”, salah satu akhlaq mulia yang diajarkan dalam agama kita.
Wallahu ta’ala a’lam.
Referensi: – Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin – Taisir Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di

Pengikut

Arsip Blog