Senin, 12 November 2012

Tuntunan Berkurban

Oleh: Abul Harits Himawan


  1. I. Hukum Berkurban
Hukum berkurban -menurut pendapat yang kuat- adalah wajib setiap tahun bagi orang yang baligh, mukim (tidak mengadakan perjalanan jauh), serta memiliki keluasan dan kelebihan dari kebutuhan pokoknya. Namun bilamana dia merupakan anggota keluarga, maka satu hewan kurban sudah mencukupi satu keluarga. Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya hal tersebut:
  • Perintah Allah dalam surat Al-Kautsar 2 (artinya), “Maka dirikanlah sholat untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan kurban!” Asal dari perintah Allah adalah menunjukkan wajibnya perkara yang diperintahkan tersebut.
  • Hadits dari sahabat Mikhnaf bin Sulaim (artinya), ‘Wahai manusia! Sesungguhnya wajib bagi tiap keluarga penghuni rumah untuk menyembelih hewan kurban setiap tahun.’” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud, dihasankan oleh Al-Albani).
  • Dari sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda (artinya), “Barang siapa memiliki keluasan (harta) lantas tidak berkurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami.” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, Al Hakim, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani).
Adapun orang yang mengatakan kurban adalah sunnah muakkad (sunnah yang sangat dianjurkan), maka ini adalah pendapat yang lemah -Allahu a’lam-. Dalil mereka adalah sebuah hadits yang mengaitkan kurban dengan kehendak seseorang. Karena hadits tersebut masih global dan begitu banyak kewajiban pada agama ini yang dikaitkan dengan kehendak seseorang, seperti firman Allah (artinya), “Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) silakan ia kafir.” [Al-Kahfi: 29] Sedangkan iman itu adalah suatu kewajiban dan kekafiran adalah haram.
Dan kurban ini hanya diwajibkan bagi orang yang memiliki kemampuan dan keluasan harta.
  1. II. Ciri-Ciri Binatang Kurban Yang Diperbolehkan
Binatang kurban harus berupa hewan ternak berupa unta, sapi, dan kambing. Sehingga, tidak sah berkurban dengan rusa, kuda, jenis burung, sapi liar atau binatang halal lainnya. Hal itu telah ditunjukkan oleh firman Allah dalam surat Al Hajj:34 (artinya) “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka.”
Mengenai umurnya, untuk kambing domba (kambing gembel) minimalnya jadza’ah. Jika berupa kambing kacang (kambing jawa), sapi, atau onta maka minimalnya musinnah.  Jika belum terpenuhi syarat umur ini, maka hewan sembelihan tersebut tidak sah.
Syarat sah hewan kurban yang lain adalah tidak adanya cacat pada hewan tersebut. Sebagiannya disepakati para ulama, sebagiannya lagi masih diperselisihkan. Adapun yang disepakati, di antaranya adalah: rusak matanya dengan kerusakan yang jelas atau memutih; nampak jelas sakitnya, seperti kudis, terjangkiti wabah; kehilangan nafsu makan; cepat lelah dan yang semisalnya; hewan yang pincang dan nampak kepincangannya (dengan patokan, hewan ini selalu tertinggal dari temannya, adapun jika masih bisa berjalan normal bersama temannya maka tidak mengapa); yang sudah terlalu tua, kurus, dan tidak memiliki sumsum. (berdasarkan H.R. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dan dishohihkan oleh An-Nawawi).
Adapun cacat yang diperselisihkan para ulama antara lain; hewan yang buta kedua matanya namun tidak jelas kebutaannya; hewan yang pingsan -hewan ini tidak sah selama masih pingsan karena termasuk yang jelas sakitnya-; kambing yang membesar perutnya dan tidak bisa buang angin -hewan ini termasuk yang jelas sakitnya sebelum dia buang air besar-. Penyakit-penyakit ini -menurut pendapat yang kuat- adalah termasuk dari cacat yang menghalangi keabsahan hewan kurban. Allahu a’lam.
Adapun cacat yang tidak berpengaruh pada keabsahan hewan kurban adalah: hewan yang ompong giginya; hewan yang kering kantong susunya (tidak bisa mengeluarkan air susu); hewan yang tidak berekor baik sejak lahir atau dipotong; hewan yang tidak bertanduk; dan hewan yang dikebiri. Cacat tersebut di atas tidak berpengaruh pada keabsahan karena tidak ada dalil yang melarang. Walaupun ada dalilnya, maka dalilnya dho’if (lemah).
Diperbolehkan pula berkurban dengan yang betina. Rasulullah telah bersabda (artinya), “…tidak apa-apa bagi kalian yang jantan atau betina.” (H.R. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa`i. Dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani). Walaupun sabda Nabi ini berkaitan dengan masalah aqiqah, tetapi mayoritas hukum kurban sama dengan hukum aqiqah. Karena, keduanya sama-sama ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan ini merupakan kesepakatan para ulama.
Urutan binatang kurban yang paling utama adalah kambing domba, kambing jawa, sepertujuh sapi, lalu sepersepuluh atau sepertujuh onta (terdapat silang pendapat di antara para ulama mengenai onta cukup untuk tujuh orang atau sepuluh orang). Hewan jantan lebih utama dari yang betina karena daging yang jantan lebih bagus. Hal ini didasarkan pada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi menyembelih 2 ekor domba (H.R. Al-Bukhari dan Muslim). Adapun sapi, karena beliau berkurban untuk istri-istri beliau pada Haji Wada’ dengan sapi (H.R. Al-Bukhari dan Muslim). Bagi para jama’ah haji, maka yang utama berkurban dengan onta, sebagaimana Nabi telah berkurban untuk diri beliau sendiri pada haji Wada’ 33 onta (H.R. Muslim). Akan tetapi, jika tidak mampu maka dengan sapi atau kambing.
III.   Jumlah Binatang Untuk Kurban
Mengenai jumlah binatang untuk kurban, maka 1 ekor kambing mencukupi satu keluarga, walaupun beranggotakan banyak orang. Namun, jumlah ini tidak mencukupi beberapa keluarga yang berbeda rumah walaupun jumlah mereka sedikit. Akan tetapi, apabila seseorang atau sebuah keluarga menginginkan untuk menyembelih lebih dari satu, maka ini diperbolehkan, bahkan dianjurkan.
Diperbolehkan pula untuk berserikat dalam onta atau sapi. 1 onta untuk 10 orang (ini adalah pendapat terkuat -Allahu a’lam- ulama yang lain berpendapat bahwa onta cukup untuk 7 orang saja); dan 1 sapi untuk 7 orang. (berdasarkan H.R. Ahmad dan At-Tirmidzi dari Ibnu ‘Abbas; dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani). Baik semuanya berniat untuk kurban atau sebagiannya hanya meniatkan untuk sedekah fakir miskin.
IV.          Waktu Berkurban
Waktu berkurban dimulai sejak pagi hari ‘Idul Adha setelah selesai sholat ‘Id dan khutbahnya. Barang siapa menyembelih sebelumnya, maka sembelihannya batal dan diperintahkan untuk mengulanginya dengan hewan yang lain. (berdasarkan H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir).
Waktu menyembelih ini berakhir hingga berakhirnya hari tasyriq (13 Dzulhijjah) baik pada siang hari atau malam harinya, dengan dasar hadits Nabi “Setiap hari tasyriq adalah waktu untuk menyembelih.” (H.R. Abu Dawud).
V.  Tempat Berkurban
Disunnahkan untuk menyembelih di tempat sholat ‘Id (tanah lapang) (berdasarkan H.R. Al-Bukhari). Diperbolehkan pula menyembelih di tempat tinggal masing-masing atau di tempat yang lain sebagaimana dalam hadits ‘A`isyah riwayat Muslim. Adapun bagi para haji yang sedang berada di Mina atau Mekah, maka boleh menyembelih di mana saja dari wilayah Mekah dan Mina. (berdasarkan H.R. Muslim dan Ahmad).
VI. Mewakilkan Dalam Menyembelih Kurban
Disunnahkan bagi orang yang berkurban untuk menyembelih hewan kurban dengan tangannya sendiri (berdasarkan H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Anas). Tapi, diperbolehkan juga untuk mewakilkan kepada orang lain untuk menyembelihnya (berdasarkan H.R. Muslim dari sahabat Jabir). Dengan catatan, seyogyanya dia memilih orang yang fakih dan berilmu, sehingga orang tersebut menyembelihnya dengan benar dan terpenuhi syarat-syarat serta sunnah-sunnahnya.
Dimakruhkan untuk mewakilkannya kepada orang kafir ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), meski hal itu tetap sah. Karena, kurban adalah qurbah (mendekatkan diri) sedangkan orang kafir bukanlah orang yang pantas untuk mendekatkan diri kepada Allah.
VII.  Adab-Adab Menyembelih Hewan Kurban
  • Hewan kurban dinyatakan sah dan halal dimakan bila terpenuhi syarat-syarat berikut: membaca basmalah tatkala hendak menyembelih hewan; orang yang menyembelih adalah orang yang berakal, orang gila tidak sah sembelihannya karena tidak memiliki niat pada dirinya; orang yang menyembelih harus seorang muslim atau ahli kitab (dengan syarat tetap dibacakan basmalah); terpancarnya darah dengan menggunakan alat yang tajam, sehingga dilarang menyembelih dengan kuku, gigi, kayu, tulang, dll; penyembelihan harus memutus dua urat tebal yang meliputi tenggorokan -ini batas minimalnya, akan lebih utama lagi jika keempat saluran (2 urat darah tebal, 1 saluran makan dan minum, 1 saluran pernafasan) yang ada di tenggorokan terputus semua-.
  • Berbuat baik terhadap hewan kurban. Yaitu, dengan memilih alat yang tajam, jangan mengasah dan memperlihatkan pisau di depan hewan kurban; jangan menyembelihnya di hadapan hewan yang lain; serta menggiringnya dengan lembut dan tidak kasar.
  • Menghadap kiblat seraya merebahkan hewan tersebut dengan lembut pada sisi kirinya dan meletakkan kaki kanan pada rusuk leher sebelah kanannya agar memudahkan yang menyembelih untuk memegang pisau dengan tangan kanan dan memegang kepala atau lehernya dengan tangan kirinya. Juga, supaya hewan lebih tenang dan tidak meronta hebat.
  • Adapun dalam menyembelih onta, maka yang paling utama dengan cara nahr. Yaitu, onta diberdirikan dan diikat kaki depan sebelah kiri, lalu ditusuk bagian wahdah (urat) antara pangkal leher dan dada. Akan tetapi, disembelih juga tetap sah. Dimakruhkan untuk memotong lehernya sebelum nyawanya hilang.
  • Disunahkan untuk bertakbir dan berdoa ketika menyembelih. Misalnya, dengan mengucapkan
  • (Bismillah allahu akbar, ya Allah ini dari-Mu dan untuk-Mu, ya Allah terimalah dariku, atau Ya Allah terimalah dari…-menyebutkan namanya- dan dari keluarga…-menyebutkan namanya).
  • Mengucapkan niat secara keras, membaca sholawat Nabi ketika menyembelih, berwudhu sebelum menyembelih, dan melumuri kening dengan darah hewan kurban setelah selesai penyembelihan adalah suatu kebid’ahan.
VIII.  Bagaimana Seorang Muslim Memanfaatkan Sembelihannya
Orang yang berkurban disunahkan untuk makan dari sebagian daging kurbannya, menyedekahkannya untuk fakir miskin dan orang yang memintanya. Diperbolehkan pula untuk menyimpan atau menghadiahkannya untuk teman, saudara walaupun kaya. Dan diperbolehkan untuk membagikannya dalam keadaan matang atau mentah. Dilarang baginya untuk memberikannya kepada tukang jagalnya sebagai upah.
Tidak diperbolehkan menjual kulit hewan tersebut atau apapun yang ada padanya, namun boleh untuk disedekahkan atau dimanfaatkan. Adapun jika kulit tersebut disedekahkan kepada seseorang, kemudian orang tersebut menjualnya, maka tidak mengapa. Begitu pula jika orang yang berkurban tersebut memanfaatkan kulit untuk selain dijual, seperti disamak untuk alas, dibuat sepatu atau sandal dll.
IX.           Hukum Seputar Orang Yang Berkurban
Disyari’atkan bagi orang yang berkurban untuk tidak memotong dan mencukur rambut, kulit, dan kukunya sedikit pun sejak masuk bulan Dzulhijjah hingga hewan kurbannya disembelih. (H.R. Muslim dari Ummu Salamah).
Namun, apabila dia memotong kuku, kulit, atau rambutnya, kurbannya tetap sah. Jika disebabkan karena lupa dan tidak sengaja, maka dia tidak berdosa. Tetapi, jika dilakukan dengan sengaja, maka dia berdosa, kecuali tatkala terjadi sesuatu yang mengharuskannya untuk mengambil kulit, kuku, atau rambutnya, seperti luka di kepala yang mengharuskan untuk mencukur rambut dan seterusnya. Adapun keluarga dan orang yang mewakili penyembelihan hewan kurban, mereka tidak terkena larangan tersebut.
Diperbolehkan memanfaatkan hewan kurban sebelum disembelih selama tidak menyakitinya, seperti; menunggangi, meminum susunya, mencukur bulunya jika terlalu tebal atau di badannya ada luka dll. Allahu a’lam.
Sebarkan tulisan ini :

One Response to Tuntunan Berkurban

  1. Keren mas, saya baru tau tentang ini
    resepi ayam bakar
    June 8, 2011 at 23:14
    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *
*


*Ketik kode di bawah ini
 
You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>

Jumat, 05 Oktober 2012

Zakat Fitrah

Oleh: Abu Yusuf Abdurrahman
Tak terasa bulan Ramadhan yang mulia hampir berlalu. Hampir lengkap kita melaksanakan ibadah puasa dalam bulan penuh rahmat ini. Akan tetapi, ada satu ibadah yang masih wajib kita tunaikan sebelum kita berpisah dengan bulan Ramadhan ini. Ibadah yang diwajibkan oleh Rasulullah ` sebagai bentuk kepedulian kepada orang miskin serta sebagai penyuci puasa kita dari kekurangan. Ibadah tersebut adalah zakat fitrah yang telah Ibnu ‘Abbas c ungkapkan di dalam sebuah hadits:


“Rasulullah ` mewajibkan zakat fitrah sebagai bentuk penyuci bagi orang yang berpuasa dari ucapan yang sia-sia dan yang menjurus kepada jima’ serta untuk memberi makan kepada orang miskin.” [H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t].
Maka, dalam lembaran berikut ini akan kita bahas mengenai zakat fitrah ini agar kita beramal di atas koridor syariat, bukan di atas koridor adat istiadat ataupun perasaan. Karena, sebagaimana kita ketahui bahwa suatu amalan tidaklah diterima oleh Allah kecuali terpenuhi padanya syarat ikhlas kepada Allah dan mutaba’ah (meneladani) kepada Rasul `.
Hukum Zakat Fitrah
Zakat fitrah hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki dan perempuan, tua maupun muda, budak maupun merdeka. Dasar dari hal ini adalah ucapan Abdullah bin Umar c:
.
“Rasulullah ` mewajibkan zakat fitrah, satu sha’ kurma kering atau satu sha’ gandum, wajib bagi setiap budak atau orang yang merdeka, muda atau tua.” Dan di dalam riwayat lain, “Wajib bagi orang yang merdeka atau budak, baik laki-laki atau perempuan dari kaum muslimin.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
Dari hadits di atas pula, bisa kita ambil kesimpulan bahwa zakat fitrah hanyalah diwajibkan bagi seorang muslim, dan tidak sah zakat fitrah yang diberikan oleh orang kafir.
Zakat fitrah ini tidak diwajibkan bagi orang yang tidak mampu. Yang dimaksud mampu di sini adalah memiliki kelebihan satu sha’ makanan pokok dari kebutuhannya satu hari ‘Id dan malamnya. Jadi, orang yang memiliki kelebihan satu sha’ makanan pokok dari kebutuhan sehari semalamnya, wajib untuk mengeluarkan zakat fitrah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Adapun hamba sahaya dan anak kecil yang ditanggung nafkahnya, maka zakat fitrahnya wajib dibayarkan oleh orang yang bertanggung jawab menafkahinya. Demikian pula anak kecil yang dilahirkan meskipun beberapa menit sebelum shalat Idul Fitri, wajib untuk dibayarkan zakat fitrahnya oleh ayahnya.

Kadar Zakat Fitrah
Zakat fitrah yang wajib dibayarkan adalah setengah sha’ untuk gandum jenis burr, hinthah, dan qamh (gandum jenis yang baik), Sedangkan untuk gandum jenis sya’ir, dan makanan pokok yang lain satu sha’. Hal ini didasarkan pada hadits yang telah kami sebutkan di muka, “Rasulullah ` mewajibkan zakat fitrah, satu sha’ kurma kering…” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
Adapun dalil kadar zakat fitrah dari gandum jenis burr, hinthah, dan qamh berupa setengah sha’ adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dan Ibnu Abi Syaibah dari Asma` binti Abu Bakr radhiyallahu ‘anha, bahwa beliau dahulu mengeluarkan atas nama keluarganya, yang merdeka maupun yang budak dua mudd (setengah sha’) dari hinthah atau satu sha’ kurma kering… [dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani “sanadnya shahih”].
Sha’ adalah sebuah ukuran volume yang dikenal orang-orang Arab. Satu sha’ adalah empat mudd, sedangkan satu mudd adalah seukuran tangkupan dua tangan orang yang sedang. Apabila diwujudkan dalam bentuk gandum yang bagus, maka berat satu sha’ adalah 2,04 kg.[Syarhul Mumti’]
Karena sha’ adalah ukuran volume, berat satu sha’ suatu barang berbeda dengan berat satu sha’ barang yang lain tergantung dari berat jenis barang tersebut. Jadi, untuk beras, seyogianya kita berhati-hati dan menambahinya karena biasanya gandum memiliki berat jenis lebih besar daripada beras. Ukuran 2,5 kg -insya Allah- merupakan ukuran yang mencukupi untuk membayar zakat fitrah.
Apabila seseorang ingin untuk menambahi jumlah zakat yang dibayarkan, maka kelebihan dari kadar zakat ini terhitung sebagai sedekah.
Bentuk Zakat Fitrah
Zakat fitrah yang diberikan berupa makanan pokok negeri setempat meskipun makanan tersebut tidak disebutkan secara tegas di dalam hadits-hadits. Hal ini didasarkan ucapan sahabat Abu Sa’id Al-Khudri z:


“Dahulu, pada masa hidup Rasulullah `, kami membayarkan pada hari Fitri satu sha’ makanan; dan pada waktu itu makanan kami adalah gandum, anggur kering, susu kering dan kurma kering.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
Pada asalnya, tidak diperbolehkan membayarkan zakat fitrah dengan bentuk uang. Akan tetapi, apabila terdapat hal yang menuntut pembayaran zakat fitrah ini berupa uang, maka diperbolehkan. Seperti, apabila dibayarkan berupa makanan pokok justru akan menyebabkan kesulitan bagi penerima zakat karena harus menggilingnya dan seterusnya. Meski demikian, diperbolehkan memberikan uang kepada petugas zakat untuk dibelikan makanan pokok yang kemudian diserahkan kepada yang berhak berupa makanan pokok.
Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah
Waktu wajib mengeluarkan zakat fitrah adalah sejak masuk waktu maghrib malam hari Fitri hingga shalat ‘Id dilaksanakan. Sedangkan waktu terbaik untuk mengeluarkan zakat fitrah adalah pagi hari sebelum shalat. Hal ini didasarkan pada hadits:
“Bahwasanya Nabi ` memerintahkan [ditunaikannya] zakat fitrah sebelum orang-orang keluar menuju shalat.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim].
Apabila ditunaikan setelah shalat, maka zakat tersebut tidak terhitung sebagai pembayaran zakat pada waktunya, tetapi terhitung sebagai qadha` (pengganti), dan orang yang melakukan hal ini berdosa jika disengaja karena menunda pembayarannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah `:


“Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat, maka ini terhitung sebagai zakat yang diterima, adapun yang menunaikannya setelah shalat, maka ini terhitung sebagai sedekah dari sedekah-sedekah yang biasa.” [H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t].
Diperbolehkan untuk memberikan zakat fitrah ini kepada petugas pengambil zakat satu atau dua hari sebelum hari ‘Id sebagaimana hal ini dilakukan oleh Ibnu Umar dan para sahabat yang lain g.
Satu hal yang penting untuk diperhatikan, waktu yang teranggap dalam penyerahan zakat fitrah adalah ketika diserahkan kepada yang berhak yaitu fakir miskin, bukan kepada pengurus zakat (‘amil). Jadi, apabila zakat dibayarkan melalui pengurus zakat, pengurus zakat tersebut wajib menyerahkannya kepada yang berhak sebelum shalat ‘Id dilaksanakan.
Alokasi Pemberian Zakat Fitrah
Terjadi silang pendapat di antara para ulama mengenai siapa yang berhak mendapatkan zakat fitrah. Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fitrah diberikan kepada delapan golongan sebagaimana zakat harta. Argumen mereka adalah karena Rasulullah ` menyebut zakat fitrah sebagai ‘zakat’, maka hukum yang dimiliki pun sama dengan hukum zakat harta dan pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Sebagian lain berpendapat bahwa zakat fitrah ini hanya diberikan kepada fakir dan miskin. Di antara ulama yang berpendapat ini adalah Malikiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan murid beliau, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahumahumullah. Mereka berdalil dengan ucapan Ibnu ‘Abbas yang telah disebutkan di muka, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai bentuk penyuci bagi orang yang berpuasa dari ucapan yang sia-sia dan yang menjurus kepada jima’ serta untuk memberi makan kepada orang miskin.”
Asy-Syaukani mengatakan di dalam kitab beliau ‘Nailul Authar’, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa zakat fitrah diberikan kepada orang-orang miskin, bukan golongan-golongan penerima zakat.”
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan di dalam ‘Zadul Ma’ad’, “Dahulu, bimbingan Rasulullah ` adalah mengkhususkan zakat fitrah ini untuk orang-orang miskin. Beliau tidak membaginya untuk delapan golongan satu bagian untuk ini satu bagian untuk itu. Beliau juga tidak memerintahkan hal ini. Demikian pula, ini tidak dilakukan oleh satu orang sahabat pun, atau orang yang setelah mereka.”
Pendapat yang kedua ini adalah pendapat yang kami pilih dikarenakan alasan-alasan yang telah dikemukakan. -Allahu a’lam-
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa memberikan zakat fitrah kepada pengurus zakat (‘amil) tidak diperbolehkan. Apalagi diberikan kepada ta`mir masjid, imam, penceramah, atau dialokasikan untuk pembangunan masjid yang sebenarnya bukan termasuk delapan golongan penerima zakat. Kecuali, apabila pengurus zakat, ta`mir masjid, imam, dan penceramah tersebut merupakan orang miskin yang pantas untuk mendapatkan zakat fitrah.
Diperbolehkan untuk memberikan zakat fitrah untuk kerabat yang miskin dan memenuhi syarat penerima zakat. Bahkan, hal ini lebih baik daripada memberikan kepada orang yang selainnya. Karena orang yang memberikan zakat kepada kerabat mendapatkan dua pahala: pahala menyambung kekerabatan dan pahala sedekah. Hal ini didasarkan pada hadits:


“Sedekah bagi orang miskin adalah sedekah saja, sedang bagi kerabat adalah dua kebaikan: sedekah dan menyambung kekerabatan.” [H.R. At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan lainnya, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan, “Hasan Shahih”].
Orang yang menerima zakat fitrah ini haruslah seorang muslim, tidak boleh diberikan kepada orang kafir dzimmi (orang kafir yang membayar jizyah, sehingga mendapatkan hak-hak yang hampir sama dengan muslimin). Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah bahwa beliau mengatakan, “Ahlidz Dzimmah (kafir dzimmi) tidak memiliki hak dari sedekah yang wajib sekalipun. Akan tetapi, jika ada seseorang menginginkan, dia diperbolehkan untuk bersedekah kepada mereka dari selain sedekah wajib.”
Kemudian, para ulama juga membahas apakah diperbolehkan untuk memberikan zakat fitrah ini kepada fakir miskin di wilayah selain diambilnya zakat tersebut. Sebagian ulama berpendapat tidak boleh diberikan kepada fakir miskin di luar wilayah pengambilan zakat. Mereka berargumen dengan hadits yang diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah ` bersabda saat mengutusnya ke Yaman:


“Kemudian beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan bagi mereka untuk menunaikan sedekah (zakat) yang diambil dari orang-orang kaya mereka lalu dikembalikan kepada orang-orang miskin mereka.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]. Mereka memahami bahwa dari ucapan, “dikembalikan kepada orang-orang miskin mereka” bahwa zakat tersebut dikembalikan kepada fakir miskin di wilayah mereka, tidak diberikan kepada fakir miskin di tempat lain.
Ulama yang lain berpendapat bahwa kata “mereka” dalam sabda Rasulullah ` tersebut maksudnya adalah kaum muslimin secara umum, bukan khusus bagi penduduk wilayah tersebut. Pendapat yang kedua ini adalah pendapat yang kami pilih. Allahu a’lam.
Akan tetapi, lebih baik untuk memberikan fakir miskin di tempat tersebut terlebih dahulu, lalu jika terdapat sisa zakat barulah diberikan kepada fakir miskin di tempat lain.
Demikian bahasan singkat mengenai zakat fitrah yang memungkinkan untuk dituliskan dalam lembaran kecil ini. Semoga Allah l menerima zakat kita sebagai penyuci puasa kita dalam Ramadhan ini sehingga kita keluar dari bulan ini dengan memborong pahala yang banyak. Amin. Allahu a’lam bish shawab.
Sebarkan tulisan ini :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *
*


*Ketik kode di bawah ini
 
You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>

Senin, 09 April 2012

Yang Tua Dihormati, Yang Kecil Disayangi

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc)
Tiada tatanan kehidupan yang lebih indah dari yang dibawa oleh syariat Islam. Konsep menuju kehidupan yang tenteram dan damai baik sebagai individu maupun kelompok telah dipaparkan dengan gamblangnya dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah n. Di antara konsep tersebut adalah keharusan menjalin kasih sayang kepada sesama muslim tanpa memandang usia, asal-usul serta status sosial. Eratnya tali cinta kasih ini juga tidak terbatas ketika mereka sama-sama masih hidup, bahkan telah mati sekalipun. Allah l telah mengabadikan doa orang-orang yang beriman yang datang setelah kaum Muhajirin dan Anshar dalam Al-Qur’an:
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha penyantun lagi Maha penyayang’.” (Al-Hasyr: 10)
Ucapan selamat dan doa kebaikan selalu muncul dari mulut mereka yang manis terhadap saudara-saudaranya. Coba kita lihat bagaimana bimbingan Nabi kita saat kita berziarah kubur. Nabi n membimbing mengucapkan doa:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلَاحِقُونَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
“Semoga kesejahteraan dilimpahkan atas kalian wahai penghuni kubur dari kaum mukminin dan muslimin. Sesungguhnya kami (juga) akan menyusul (kalian) insya Allah. Aku memohon keselamatan untuk kami dan kalian kepada Allah.” (HR. Muslim, kitab Al-Janaiz no. 975)
Bahkan setiap tasyahud dalam shalat, kita membaca:
السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ
“Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada kita dan hamba-hamba Allah yang shalih.”
Inilah bentuk kecintaan yang bersumber dari hati-hati yang dalam. Kaum muslimin akan selalu kuat dan berwibawa manakala tali agama ini dipegang erat-erat. Dengannya, musuh-musuh agama ditimpa perasaan takut dan tidak bisa melihat umat ini dengan pandangan remeh.
Berikut akan kami uraikan dua permasalahan penting demi tercapainya suasana keakraban yang membuahkan kasih sayang di antara kaum muslimin.

Pertama: memuliakan orang yang lebih tua.
Menghormati orang yang tua bukan hanya budaya, namun bagian dari akhlak mulia dan terpuji yang diseru oleh Islam. Hal ini dilakukan dengan cara memuliakannya dan memerhatikan hak-haknya. Terlebih, bila disamping tua umurnya, juga lemah fisik, mental, dan status sosialnya. Nabi n bersabda:
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa tidak menyayangi anak kecil kami dan tidak mengenal hak orang tua kami maka bukan termasuk golongan kami.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab, lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 271)
Hadits ini merupakan ancaman bagi orang yang menyia-nyiakan dan meremehkan hak orang yang sudah tua, di mana orang tersebut tidak di atas petunjuk Nabi n dan tidak menepati jalannya.
Menghormati mereka termasuk mengagungkan Allah l sebagaimana sabda Nabi n:
إِنَّ مِنْ إِجْلَالِ اللهِ إِكْرَامَ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ وَحَامِلِ الْقُرْآنِ غَيْرَ الْغَالِي فِيْهِ وَالْجَافِي عَنْهُ وَإِكْرَامَ ذِي السُّلْطَانِ الْمُقْسِطِ
“Sesungguhnya termasuk mengagungkan Allah adalah menghormati seorang muslim yang beruban (sudah tua), pembawa Al-Qur’an yang tidak berlebih-lebihan padanya (dengan melampaui batas) dan tidak menjauh (dari mengamalkan) Al-Qur’an tersebut, serta memuliakan penguasa yang adil.” (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tarhib no. 92)
Orang tua tentunya telah melewati berbagai macam tahapan hidup di dunia ini sehingga setumpuk pengalaman dimilikinya. Orang yang telah mencapai kondisi ini biasanya ketika hendak melakukan sesuatu telah dipikirkan matang-matang. Terlebih lagi, disamping banyak pengalamannya, juga mendalam ilmu dan ibadahnya. Ini berbeda dengan kebanyakan anak muda yang umumnya masih minim ilmunya, dangkal pengalamannya, dan sering memperturutkan hawa nafsunya. Rasulullah n bersabda:
الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ
“Barakah itu bersama orang-orang tua dari kalian.” (HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, dll, lihat Shahihul Jami’ no. 2884)
Mungkin kita bisa mengambil pelajaran dari fitnah Khawarij (kelompok sesat) di masa sahabat Ali z. Semangat mereka dalam mengamalkan agama tidak diimbangi dengan mengikuti pemahaman para sahabat Nabi n. Para Khawarij yang umumnya dari kalangan muda terkadang berdalilkan dengan dalil-dalil syariat, sesuatu yang sebenarnya bukan dalil bagi mereka. Para sahabat yang mengetahui sebab turunnya ayat dan sebab periwayatan hadits tentunya lebih tahu maksudnya dari mereka. Nabi n menjelaskan di antara ciri-ciri Khawarij yang akan muncul adalah:
سَيَخْرُجُ قَوْمٌ فِي آَخِرِ الزَّمَانِ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ
“Akan muncul di akhir zaman suatu kaum yang muda umurnya (para pemuda) yang bodoh akalnya.” (HR. Al-Bukhari no. 6930)
An-Nawawi t menerangkan: “Diambil faedah dari hadits ini bahwa kekokohan dan kuatnya pandangan hati adalah ketika seorang telah sempurna umurnya, banyak pengalamannya, dan kuat pemahamannya.”(Fathul Bari 12/287)

Mendahulukan orang yang lebih tua
Ada beberapa keadaan yang disyariatkan untuk mengutamakan orang yang lebih tua, di antaranya:
1. Dalam mengimami shalat.
Nabi n bersabda dalam hadits Malik bin Al-Huwairits z:
إِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ لِيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمُّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
“Bila waktu shalat telah tiba maka hendaklah salah seorang kalian mengumandangkan adzan dan orang yang paling tua mengimami shalat kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 628)
Disebutkan dalam hadits lain, bahwa Nabi n bersabda (yang) artinya:
“Yang mengimami manusia adalah orang yang pandai membaca (memahami) Al-Qur’an. Bila dari sisi bacaan Al-Qur’an mereka sama maka yang paling tahu tentang sunnah. Bila pengetahuan mereka tentang sunnah sama maka yang paling dahulu berhijrah. Bila dalam hijrah mereka sama maka yang paling tua umurnya.” (HR. Muslim)
2. Dalam berbicara dan memberikan keterangan, kecuali yang kecil lebih tahu dan lebih mampu berbicara.
Disebutkan oleh Sahl bin Abi Hatsmah bahwa Abdullah bin Sahl dan Muhayyishah bertolak pergi menuju Khaibar yang pada saat itu ada ikatan perdamaian. Sesampainya di sana keduanya berada di tempat yang berbeda. Setelah itu Muhayyishah datang (menemui temannya), Abdullah bin Sahl, dan ternyata didapati dalam keadaan bersimbah darah, terbunuh. Muhayyishah lalu mengubur temannya kemudian pulang ke Madinah. Setelah itu Abdurrahman bin Sahl (saudara Abdullah yang terbunuh tersebut), Muhayyishah, dan Huwayyishah putra Mas’ud datang menghadap Nabi n. Abdurrahman yang waktu itu adalah orang paling kecil yang menghadap Nabi n ingin berbicara, maka Nabi n mengatakan: “Hendaknya yang paling tua yang berbicara.” Maka kedua temannya yang berbicara dan Abdurrahman diam.” (HR. Al-Bukhari no. 3173)
Perhatikanlah. Meski seorang dalam keadaan tertimpa musibah namun seorang tetap menjaga adab-adab agamanya.
3. Dalam pemberian.
Sebagaimana hadits yang diceritakan oleh Ibnu ‘Umar c bahwa ia melihat Rasulullah n bersiwak (membersihkan gigi dan lisan dengan batang siwak), lalu beliau memberikan siwak tadi kepada orang yang paling tua. Nabi n mengatakan:
إِنَّ جِبْرِيلَ أَمَرَنِي أَنْ أُكَبِّرَ
“Sesungguhnya Jibril memerintahkan aku untuk memberikan kepada yang paling tua.” (lihat Ash-Shahihah no. 1555, dan hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad)
Ibnu Baththal t mengatakan: “Dalam hadits ini ada faedah yaitu mengutamakan orang yang sudah berusia lanjut dalam pemberian siwak. Masuk pula dalam hal ini mendahulukan dalam hal diberi makanan dan minuman, berjalan dan berbicara. Al-Muhallab berkata: ‘Hal ini dilakukan apabila manusia tidak duduk dengan berurutan, bila mereka duduk berurutan maka yang sunnah ketika itu mendahulukan yang kanan’.” (Ash-Shahihah vol. IV/76)
Sahabat Anas bin Malik z menyebutkan bahwa Rasulullah n diberi susu yang dicampur dengan air. Di sebelah kanan Nabi n ada seorang badui sedangkan di sebelah kirinya ada Abu Bakr z. Nabi meminum susu tadi lalu memberikannya kepada badui itu. Nabi n mengatakan:
الْأَيْمَنَ فَالْأَيْمَنَ
“(Dahulukan) yang kanan lalu yang kanan.” (HR. Al-Bukhari no. 5619)
Demikian besarnya hak-hak orang yang sudah tua dan penghormatan kepada mereka sangat ditekankan bila dia itu adalah orangtuanya, kakeknya, pamannya, kerabat atau tetangganya. Karena mereka memiliki hak yang besar sebagai karib kerabat dan tetangga. Orang yang menghormati/memuliakan mereka maka dia akan dihormati saat tuanya. Balasan setimpal dengan perbuatan. Seperti apa kamu berbuat, maka seperti itu pula kamu dibalas.
Disebutkan dari Yahya bin Sa’id Al-Madani, ia berkata, “Telah sampai berita kepada kami bahwa siapa saja yang menghinakan orang yang sudah tua maka ia tidak akan mati sampai Allah l mengutus seorang yang menghinakannya di saat dia telah tua.” (lihat Al-Fawaid Al-Mantsurah hal. 84 karya Dr. Abdurrazzaq Al-Badr)

Orang yang sudah beruban
Termasuk tanda-tanda orang yang telah menginjak usia lanjut adalah uban yang menghiasi kepalanya, kekuatan fisik yang mengendur, pandangan dan penglihatan yang mulai berkurang ketajamannya. Seorang muslim yang telah mencapai kondisi seperti ini tentunya telah melewati masa-masa yang panjang dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah l. Berbagai manis dan getirnya kehidupan telah dilakoninya. Dia pun merasa ajal telah dekat sehingga pendekatan diri kepada Allah l semakin bertambah. Orang yang panjang umurnya dan baik amalannya adalah sebaik-baik orang, sebagaimana sabda Nabi n:
خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ
“Sebaik-baik orang ialah yang panjang umurnya dan baik amalannya.” (HR. At-Tirmidzi dan dia menghasankannya)
Orang yang beruban rambutnya karena menjalankan ketaatan kepada Allah l, dia memiliki keutamaan. Nabi n bersabda:
مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ كَانَتْ لَهُ نُوْرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa beruban dengan suatu uban di dalam Islam maka uban itu akan menjadi cahaya baginya di hari kiamat.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahihul Jami’ no. 6307)
Maksudnya, uban tersebut akan menjadi cahaya, sehingga pemiliknya menjadikannya sebagai penunjuk jalan. Cahaya itu akan berjalan di hadapannya di kegelapan padang mahsyar, sampai Allah l memasukkannya ke dalam jannah (surga). Uban, meski bukan rekayasa hamba, namun bila muncul karena suatu sebab, seperti jihad atau takut kepada Allah l, maka ditempatkan pada usaha (amalan) hamba. Oleh karena itu, dimakruhkan –bahkan tidak keliru bila dikatakan haram– mencabut uban yang ada di jenggot atau semisalnya. (lihat Faidhul Qadir karya Al-Munawi, 6/202)
Tentang larangan mencabut uban, telah diriwayatkan bahwa Nabi n bersabda:
لَا تَنْتَفُوا الشَّيْبَ فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Janganlah kalian mencabut uban, karena ia merupakan cahaya seorang muslim di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, dll. Al-Imam An-Nawawi t dalam Riyadush Shalihin menghasankannya)

Kedua: menyayangi anak kecil
Bila orang yang telah lanjut usia mendapatkan hak penghormatan dan pemuliaan, demikian pula dengan anak yang masih kecil, dia berhak mendapat kasih sayang yang penuh. Anak kecil yang belum baligh secara umum masih lemah fisik dan mentalnya, serta belum mengetahui persis tentang kemaslahatan untuk dirinya. Kondisi yang seperti ini tentunya menggugah kita untuk memberikan kasih sayang kepadanya, karena beban syariat juga belum ditujukan kepadanya dan pena pencatat dosa pun belum berlaku atasnya. Oleh karenanya, menyayangi anak kecil merupakan keharusan. Nabi n bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil kami.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Al-Imam An-Nawawi t menshahihkannya dalam Riyadhush Shalihin)
Bila sifat belas kasihan dicabut dari seseorang maka hal itu menjadi pertanda kecelakaan baginya. Nabi n bersabda:
لاَ تُنْزَعُ الرَّحْمَةُ إِلاَّ مِنْ شَقِيٍّ
“Tidaklah sifat kasih sayang dicabut melainkan dari orang yang celaka.” (HR. Ahmad dll. Dalam Shahihul Jami’ no. 7467, Asy-Syaikh Al-Albani t menshahihkannya)
Pernah pada suatu saat Nabi n mencium Hasan bin Ali c, cucunya. Waktu itu, di sisi Nabi ada seorang bernama Al-Aqra’ bin Habis At-Tamimi sedang duduk. Maka Al-Aqra’ mengatakan: “Sesungguhnya saya memiliki sepuluh anak, tidak pernah satu pun yang saya cium.” Maka Rasulullah n melihat kepadanya dan mengatakan:
مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ
“Orang yang tidak menyayangi maka tidak disayangi (Allah l).” (HR. Al-Bukhari no. 5997)
Lihatlah, betapa meruginya yang tidak mendapat rahmat Allah l padahal rahmat-Nya sangat luas. Sungguh balasan kebaikan adalah kebaikan, sebagaimana firman Allah l:
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Ar-Rahman: 60)
Tentunya, menyayangi anak kecil tidak hanya terbatas pada anaknya sendiri bahkan umum sifatnya. Bentuk menyayangi anak kecil juga banyak. Misalnya, dengan mencandainya tanpa ada kedustaan untuk memasukkan kegembiraan pada dirinya, menciumnya, menggendongnya, mengusap kepalanya, menyapa dan menyalaminya, serta mengucapkan salam kepadanya.
Pada suatu saat Anas bin Malik z melewati anak-anak kecil lalu ia mengucapkan salam kepada mereka. Anas z berkata: “Dahulu Rasulullah n melakukan demikian.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Termasuk menyayangi anak kecil adalah tidak mengarahkan mereka kepada hal-hal yang membahayakannya.
Demikianlah bimbingan Islam yang sangat mulia. Umat hendaknya membuka mata agar melihat dengan nyata indahnya agama yang mereka anut ini. Perlu dipertegas kembali bahwa bimbingan Islam selalu relevan, tidak akan pernah usang dengan perubahan waktu dan zaman. Kita tidak akan terlalu bahagia dengan pesatnya teknologi dan menjamurnya penemuan (inovasi) baru, bila mental umat tidak dibangun, sehingga akidahnya rapuh dan akhlaknya karut-marut. Lihat saja, ketika kecanggihan teknologi telah merambah berbagai lapisan masyarakat yang semestinya dimanfaatkan sebagai sarana kebaikan, namun ternyata tidak sedikit dijadikan alat dan media untuk saling mencaci, memfitnah, membenci, dan menzalimi.
Mari kita semua kembali kepada bimbingan agama kita dan bangkit dari kelalaian kita. Semoga kewibawaan umat yang diharapkan tidak hanya angan-angan belaka. Wallahu a’lam.

Minggu, 08 April 2012

Sebab-sebab Penghapus Dosa

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t mengatakan:
Dosa-dosa itu akan mengurangi keimanan. Jika seorang hamba bertaubat, Allah k akan mencintainya. Derajatnya akan diangkat disebabkan taubatnya.
Sebagian salaf mengatakan: ‘Dahulu setelah Nabi Dawud q bertaubat, keadaannya lebih baik dibandingkan sebelum terjatuh dalam kesalahan. Barangsiapa yang ditakdirkan untuk bertaubat maka dirinya seperti yang dikatakan Sa’id ibnu Jubair z, “Sesungguhnya seorang hamba yang melakukan amalan kebaikan, bisa jadi dengan sebab amalan kebaikannya itu akan memasukkannya ke dalam neraka. Bisa jadi pula seorang hamba melakukan amalan kejelekan akan tetapi membawa dirinya masuk ke dalam surga. Hal itu karena ia membanggakan amalan kebaikannya. Sebaliknya, hamba yang terjatuh ke dalam kejelekan membawa dirinya untuk meminta ampun kepada Allah l, kemudian Allah l mengampuni kesalahan-kesalahannya.”
Telah disebutkan dalam hadits yang shahih bahwa Nabi n telah bersabda:
الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِمِ
“Amal-amal (seorang hamba) tergantung amalan-amalan yang dikerjakan pada akhir kehidupannya.”
Sesungguhnya kesalahan/dosa seorang mukmin akan dihapuskan dengan sepuluh sebab, sebagai berikut:
1. Bertaubat kepada Allah l kemudian Allah l mengampuninya. Karena seseorang yang bertaubat dari sebuah dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa.
2. Meminta ampun kepada Allah l kemudian Allah l mengampuninya.
3. Mengerjakan amalan-amalan kebaikan, karena amalan-amalan kebaikan akan menghapuskan amalan-amalan kejelekan.
4. Mendapatkan doa dari saudara-saudaranya yang beriman. Mereka memberikan syafaat kepadanya ketika masih hidup dan sesudah meninggal.
5. Mendapatkan hadiah pahala dari amalan-amalan saudara-saudaranya yang beriman agar Allah l memberikan manfaat kepadanya dari hadiah tersebut.
6. Mendapatkan syafaat dari Nabi n.
7. Mendapatkan musibah-musibah di dunia ini yang akan menghapuskan dosa-dosanya.
8. Mendapatkan ujian-ujian di alam barzakh yang akan menghapus dosa-dosanya.
9. Mendapatkan ujian-ujian di padang Mahsyar pada hari kiamat yang akan menghapuskan dosa-dosanya.
10. Mendapatkan rahmat dari Arhamur Rahimin, Allah l.

Barangsiapa yang tidak memiliki salah satu sebab dari sebab-sebab yang bisa menghapuskan dosa-dosa ini, janganlah ia mencela kecuali kepada dirinya sendiri. Sebagaimana Allah l berfirman:
يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya ini adalah amalan-amalanmu. Aku menghitungnya untukmu kemudian Aku membalasinya untukmu. Maka barangsiapa yang mendapatkan kebaikan hendaklah ia memuji Allah, dan barangsiapa yang mendapatkan selain daripada itu maka janganlah ia mencela kecuali kepada dirinya sendiri.”
(Diambil dari Risalah Tuhfatul ‘Iraqiyah fi A’malil Qalbiyyah hal. 32-33, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t)

Sabtu, 07 April 2012

Al Hayiy

(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)

Di antara Al-Asma’ul Husna adalah Al-Hayiy. Artinya, yang memiliki sifat Al-Hayaa’, yang berarti malu. Sehingga makna Al-Hayiy adalah Yang Maha pemalu. Dalam hadits dari Salman Al-Farisi z, dari Nabi n, bahwa beliau n bersabda:
إِنَّ اللهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ
“Sesungguhnya Allah Maha pemalu dan pemurah. Dia malu bila seorang lelaki mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lalu Dia mengembalikannya dalam keadaan kosong dan hampa.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 1488 dan At-Tirmidzi no. 3556 dan beliau mengatakan hasan gharib. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Dari Ya’la z, bahwa Rasulullah n melihat seseorang mandi di tempat terbuka tanpa memakai sarung. Maka Nabi n naik mimbar dan mengucapkan pujian serta sanjungan kepada Allah l, kemudian berkata:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ
“Sesungguhnya Allah k Maha pemalu dan Maha menutupi. Dia mencintai sifat malu dan sifat menutupi, maka bila seseorang dari kalian mandi hendaklah dia menutup diri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 4012 dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud. Lihat juga Al-Irwa’ no. 2335)
Ibnu Qayyim t mengatakan:
Dan Dialah Yang Maha pemalu, maka Dia tidak akan membeberkan aib hamba-Nya
Saat dia terang-terangan melakukan kemaksiatan,
Namun justru Dia lontarkan tirai menutupinya
Memang Dia Maha menutupi dan pemberi ampunan
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Al-Harras menjelaskan: “Dalam hadits Nabi n terdapat penyebutan sifat malu bagi Allah l, seperti dalam hadits (Salman Al-Farisi z di atas). Juga seperti dalam ucapan Nabi n tentang tiga orang yang mendapati majelis Nabi n:
أَمَّا أَحَدُهُمْ فَآوَى إِلَى اللهِ فَآوَاهُ اللهُ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَاسْتَحْيَا فَاسْتَحْيَا اللهُ مِنْهُ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَأَعْرَضَ فَأَعْرَضَ اللهُ عَنْهُ
“Salah seorang dari mereka berlindung kepada Allah l, maka Allah l pun melindunginya. Yang lain, dia malu sehingga Allah l pun malu darinya. Adapun yang lainnya lagi, dia berpaling sehingga Allah l berpaling darinya.”1
Sifat malu Allah l adalah sifat yang pantas bagi Allah l, tidak seperti sifat makhluk. Di mana sifat malu pada makhluk mengandung perubahan dan kelemahan yang memengaruhinya yaitu ketika dia merasa khawatir dari sesuatu yang aib atau tercela. Bahkan sifat malu Allah l artinya meninggalkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keluasan rahmat-Nya dan kesempurnaan kedermawanan-Nya, kemurahan-Nya serta keagungan ampunan dan kelembutan-Nya.
Sementara seorang hamba terang-terangan bermaksiat kepada-Nya padahal dia sangat butuh kepada-Nya dan paling lemah di hadapan-Nya. Bahkan dia memakai nikmat-nikmat-Nya untuk bermaksiat kepada-Nya. Akan tetapi Allah l dengan kesempurnaan sifat ketidakbutuhan-Nya kepada makhluk dan kesempurnaan sifat kemampuan-Nya, Dia malu untuk menyingkap tabir aib hamba-Nya. Bahkan Allah l menutupinya dengan sebab-sebab yang Allah l persiapkan untuk menutupinya. Lalu setelah itu Allah l memaafkan dan mengampuninya seperti dalam hadits Ibnu Umar c:
إِنَّ اللهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُولُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ أَيْ رَبِّ. حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ
Sesungguhnya Allah l mendekatkan kepada-Nya seorang mukmin lalu Allah l menutupkan pada dirinya penutupnya. Kemudian Allah l bertanya kepadanya: “Apakah kamu tahu dosa ini? Apakah kamu tahu dosa ini?” Maka hamba itu pun mengatakan: “Ya, wahai Rabbku.” Sehingga ketika Allah l meminta dia mengakui dosanya lalu dia pun yakin bakal hancur, Allah l mengatakan kepadanya: “Aku telah tutup dosa itu padamu di dunia. Dan pada hari ini aku ampuni kamu.”2
Demikian pula Dia malu untuk menyiksa seorang yang berada dalam agama Islam sampai beruban, dan malu dari hamba-Nya yang berdoa menengadahkan dua tangannya, lalu mengembalikannya dalam keadaan hampa. Karena Allah Maha pemalu dan menutupi, maka Dia menyukai pada diri hamba-Nya sifat malu dan tidak mengumbar aib. Maka barangsiapa menutupi aib seorang muslim, Allah l akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah l juga membenci orang yang terang-terangan dengan kefasikan (maksiat)nya serta terang-terangan dengan kekejiannya.
Di antara orang yang paling Allah l benci adalah orang yang bermalam melakukan maksiat dan Allah l menutupinya, lalu dia sendiri yang membuka tutup aib itu di pagi harinya. Allah l juga mengancam orang-orang yang suka tersebarnya kekejian di tengah-tengah kaum muslimin, bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang pedih di dunia dan di akhirat. Dalam hadits disebutkan:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ
“Semua umatku diberi maaf kecuali orang-orang yang terang-terangan (dengan dosanya).”

Buah mengimani nama Allah Al-Hayiy
Dengan mengimani nama Allah Al-Hayiy maka kita mengetahui keluasan ampunan Allah l dan kemurahan-Nya. Sementara hamba-hamba-Nya justru terus berbuat maksiat tanpa rasa malu kepada Dzat Yang Maha pemalu, tentu yang demikian sangat dibenci Allah l.
Dengan mengimaninya, kita mengetahui bahwa sifat malu adalah sifat yang terpuji dan dicintai Allah l. Oleh karena itu, hendaknya kita juga menjaga sifat itu pada diri kita, dan senantiasa kita tumbuhkan pada diri kita serta anak keturunan kita juga anak didik kita. Terlebih di masa ini, di mana sifat malu tersebut hampir punah pada diri kawula muda baik perempuannya terlebih laki-lakinya. Suatu hal yang teramat dibenci Allah Yang Maha pemalu. Sehingga dengan hilangnya rasa malu, tak ada beban lagi bagi mereka untuk bergaul bebas dengan lawan jenis, bercanda ria, berjalan bersama, dan lebih dari itu. Malu rasanya mengungkapkannya…
Sungguh hal yang sangat memprihatinkan kita bersama. Inikah sebagian hasil pendidikan umum? Cobalah para guru dan para pendidik mengkaji ulang metode dan lingkungan pendidikan mereka, demi meraih ridha Allah Yang Maha pemalu serta demi masa depan moral dan agama anak-anak muslimin.

1 Shahih, HR. Al-Bukhari no. 66 dan Muslim. Hadits di atas adalah lafadz Al-Bukhari. Asy-Syaikh Al-Harras menyebutkan dengan lafadz yang sedikit berbeda.
2 Shahih, HR. Al-Bukhari no. 183 dengan lafadz Al-Bukhari, Asy-Syaikh Al-Harras menyebutkan dengan lafadz yang sedikit berbeda.

Bisakah Kirim Pahala

Pertanyaan dari orang Sudan yang tinggal di Kuwait, ia mengatakan: “Apa hukumnya membaca Al-Fatihah untuk dihadiahkan kepada mayit, juga menyembelih hewan untuknya, demikian pula memberikan uang untuk keluarga mayit?”
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz t menjawab:
Mendekatkan diri kepada mayit dengan sembelihan, uang, nadzar, dan ibadah-ibadah lainnya, semacam meminta kesembuhan darinya, pertolongan, atau bantuan, ini merupakan syirik akbar (menyekutukan Allah l). Tidak boleh bagi seorang pun untuk melakukannya, karena syirik adalah dosa dan kejahatan terbesar. Berdasarkan firman Allah l:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 116)
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya jannah (surga), dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (Al-Maidah: 72)
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)
Dan banyak ayat yang semakna dengannya. Maka yang wajib dilakukan adalah mengikhlaskan/meniatkan ibadah hanya kepada Allah l satu-satunya, baik itu berupa sembelihan, nadzar, doa, shalat, puasa, atau ibadah-ibadah selainnya. Di antara syirik juga adalah mendekatkan diri kepada para penghuni kuburan dengan nadzar atau makanan (sesajen), berdasarkan ayat-ayat yang lalu. Juga berdasarkan firman Allah l:
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An’am: 162-163)
Adapun menghadiahkan Al-Fatihah atau selainnya dari Al-Qur’an kepada mayit, hal itu tidak ada dalilnya (landasan hukumnya dari Al-Qur’an atau Hadits). Maka yang wajib dilakukan adalah meninggalkan hal tersebut. Karena tidak pernah dinukilkan dari Nabi n atau para sahabatnya, sesuatu yang menunjukkan bolehnya hal tersebut. Yang disyariatkan adalah mendoakan untuk mayit dan menshadaqahkan untuk mereka dengan cara berbuat baik kepada para fakir miskin. Dengan itu, seorang hamba mendekatkan kepada Allah l dan memohon kepada-Nya agar pahalanya dijadikan untuk ayah atau ibunya, atau orang yang mati atau masih hidup selain keduanya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi n:
إذا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Bila anak Adam meninggal maka amalnya terputus kecuali dari tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.”
Telah shahih bahwa seseorang berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَلَمْ ْتُوْصِ وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ لَتَصَدَّقَتْ، أَفَلَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ.
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dan belum sempat berwasiat, dan aku kira kalau dia sempat bicara ia akan bersedekah, apakah dia dapat pahala jika aku bersedekah atas namanya?” Beliau menjawab: “Ya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Demikian pula halnya menghajikan mayit serta mengumrahkannya juga membayarkan utangnya. Semuanya itu bisa memberi manfaat bagi mayit sesuai dengan keterangan yang datang dalam dalil-dalil syariat.
Adapun jika yang dimaksud penanya dengan pertanyaannya adalah untuk berbuat baik kepada keluarga mayit serta bersedekah dengan uang dan sembelihan, maka itu boleh bila mereka itu orang-orang fakir. Yang utama adalah tetangga dan kerabat membuatkan makanan di rumah mereka masing-masing lalu menghadiahkannya kepada keluarga mayit. Karena telah shahih dari Nabi n bahwa ketika sampai kepada Nabi n berita kematian Ja’far bin Abi Thalib z dalam peperangan Mu’tah, beliau n memerintahkan kerabatnya untuk membuatkan makanan untuk keluarga Ja’far dan beliau mengatakan: “Karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.”
Adapun bila keluarga mayit yang membuat makanan untuk orang-orang  (masyarakat) karena kematian (semacam peringatan tujuh hari, red.) maka itu tidak boleh. Hal itu termasuk amalan jahiliah, baik itu pada hari kematian, hari keempatnya atau kesepuluh atau setelah genap setahun. Semua itu tidak boleh. Ini berdasarkan riwayat yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdillah Al-Bajali z, salah seorang sahabat Nabi n, bahwa beliau berkata:
كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيْعَهُ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul ke keluarga mayit dan membuat makanan setelah pemakaman adalah termasuk niyahah1(meratapi mayit).”
Adapun jika ada tamu mendatangi keluarga mayit pada hari-hari berkabung (saat takziyah) maka tidak mengapa keluarga mayit membuat makanan untuk mereka sebagai suguhan untuk tamu. Sebagaimana tidak mengapa bagi keluarga mayit untuk mengundang siapa yang mereka kehendaki dari tetangga atau kerabat untuk makan bersama mereka dari makanan yang dihadiahkan kepada mereka. Allah l lah yang memberi taufiq.
Bolehkah bagi saya untuk mengkhatamkan Al-Qur’an dan saya hadiahkan untuk ayah ibu saya, untuk diketahui bahwa keduanya ummi (tidak bisa baca tulis). Dan bolehkah saya khatamkan Al-Qur’an untuk saya hadiahkan kepada orang yang bisa baca tulis tapi saya (memang) bermaksud menghadiahkannya kepadanya? Juga apakah boleh bagi saya untuk mengkhatamkan Al-Qur’an untuk saya hadiahkan kepada lebih dari satu orang?
Jawab:
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz t menjawab:
Tidak terdapat dalam Al-Qur’an yang mulia ataupun dalam hadits yang suci dari Nabi n, tidak pula dari para sahabatnya yang mulia, sesuatu yang menunjukkan disyariatkannya menghadiahkan bacaan Al-Qur’an Al-Karim untuk kedua orangtua atau untuk yang lain. Allah l mensyariatkan membaca Al-Qur’an untuk diambil manfaat darinya, diambil faedah darinya serta untuk dipahami maknanya lalu diamalkan. Allah l berfirman:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memerhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang berakal.” (Shad: 29)
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (Al-Isra’: 9)
Katakanlah: “Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin.” (Fushshilat: 44)
Nabi n bersabda:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِيْ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Bacalah Al-Qur’an karena sesungguhnya (amalan baca) Al-Qur’an itu nanti akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya.” (Shahih, HR. Muslim no. 804)
Beliau n juga bersabda (maknanya): “Bahwa nanti akan didatangkan (amalan baca) Al-Qur’an pada hari kiamat dan para ahli Al-Qur’an yang mengamalkannya, akan datang kepadanya surat Al-Baqarah, Ali Imran, keduanya akan membela para pembacanya.” (Shahih, HR. Muslim no. 804 dengan makna itu)
Jadi tujuan diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, dipahami, dan dipakai untuk ibadah dengan membacanya, serta memperbanyak membacanya. Bukan untuk menghadiahkannya kepada orang-orang yang telah wafat atau yang lain. Aku tidak mengetahui ada dasar yang bisa dijadikan sandaran dalam hal menghadiahkan bacaan Al-Qur’an untuk kedua orangtua atau yang selain mereka. Padahal Nabi n bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan atas dasar ajaran kami maka itu tertolak.” (Shahih, HR. Muslim)
Sebagian ulama membolehkan hal itu dan mengatakan: “Tidak mengapa menghadiahkan pahala Al-Qur’an dan amalan shalih yang lain.”
Mereka mengkiaskan (menganalogikan) nya dengan shadaqah dan doa untuk mayit. Akan tetapi yang benar adalah pendapat yang pertama (tidak boleh), berdasarkan hadits yang telah disebutkan dan yang semakna dengannya. Seandainya menghadiahkan bacaan itu sesuatu yang disyariatkan, tentu akan dilakukan oleh as-salafush shalih (pendahulu kita yang baik). Juga, dalam hal ibadah tidak boleh digunakan qiyas (kias/analogi), karena ibadah itu berhenti pada tuntunan Nabi n. Tidak boleh ditetapkan kecuali dengan nash dari kalamullah atau hadits Nabi n, berdasarkan hadits yang lalu dan yang semakna dengannya.
Adapun menyedekahkan untuk orang yang sudah mati dan yang lain, demikian pula mendoakan mereka, menghajikan orang lain oleh yang sudah haji untuk dirinya sendiri, juga mengumrahkan oleh yang sudah umrah untuk dirinya sendiri, juga membayarkan utang puasa bagi yang telah wafat dan punya utang, maka semua ibadah ini (boleh), telah shahih hadits-hadits dari Rasulullah n… Allah l lah yang memberikan taufiq. (Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Al-Mutanawwi’ah)

Pendapat Al-Imam Syafi’i t
Apa yang dipaparkan di atas juga merupakan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i t, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir t sebagai salah seorang ulama bermadzhab Syafi’i dalam tafsirnya. Beliau katakan, firman-Nya:
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm: 39)
Yakni, sebagaimana tidak dibebankan padanya dosa orang lain, demikian pula ia tidak mendapatkan ganjaran kecuali dari apa yang dia usahakan sendiri.
Dari ayat ini, Al-Imam Asy-Syafi’i t dan yang mengikuti beliau mengambil kesimpulan, bahwa menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an tidak sampai kepada mayit. Karena dia bukan dari amalan mayit dan usahanya. Oleh karenanya, Nabi n tidak menganjurkan dan memotivasi umatnya untuk itu. Tidak pula membimbing ke arah tersebut, baik dengan nash (teks) yang jelas atau dengan isyarat. Tidak pula dinukilkan hal itu dari seorang pun dari kalangan sahabat. Seandainya memang baik, tentu mereka akan mendahului kita dalam hal itu. Sedangkan dalam perkara ibadah, kita harus membatasinya pada nash (ayat dan hadits), tidak boleh diberlakukan padanya berbagai macam analogi (qiyas) dan pendapat akal.
Adapun shadaqah dan doa, hal ini telah disepakati bahwa bisa sampai. Dan telah disebutkan (bolehnya) oleh yang menetapkan syariat.
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah z, ia berkata, Rasulullah n bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ؛ إِلَّا مِنْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ، أَوْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ
“Bila anak Adam meninggal maka amalnya terputus kecuali dari tiga hal, anak shalih yang mendoakannya, shadaqah jariyah, dan ilmu yang bermanfaat.”
Tiga perkara ini pada hakikatnya adalah bagian dari usahanya, jerih payah dan amalnya. Sebagaimana terdapat dalam hadits:
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَدَهُ مِن كَسْبِهِ
“Di antara yang terbaik dari apa yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya dan sungguh anaknya adalah termasuk dari usahanya.”
Shadaqah jariyah juga seperti wakaf dan sejenisnya, termasuk bagian dari amalnya. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (Yasin: 12)
Juga ilmu yang dia sebarkan di tengah manusia sehingga orang-orang mengikutinya setelah dia meninggal, itu juga termasuk dari usahanya. Dalam sebuah hadits di kitab shahih disebutkan:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” (Tafsir Ibnu Katsir, surat An-Najm: 39)

1 HR. Ahmad dan Ibnu Majah, lafadz di atas adalah lafadz Ahmad. Niyahah atau meratapi mayit, telah dilarang oleh Rasulullah n dengan larangan keras dan termasuk dosa besar, karena pelakunya telah diancam dengan ancaman keras sebagaimana dalam hadits:
النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Seorang wanita yang niyahah (meratapi mayit) bila tidak bertaubat sebelum matinya maka akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan memakai pakaian yang menutupi tubuhnya dari tembaga yang meleleh dan kulitnya terkena penyakit kudis (secara merata).” (Shahih, HR. Muslim)

Jumat, 06 April 2012

Kedudukan Masjid di Dalam Islam

(ditulis oleh: Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc.)
الْـحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَمَرَ بِرَفْعِ الْـمَسَاجِدِ وَذِكْرِ اسْمِهِ فِيْهَا جَمِيْعَ الْـمُؤْمِنِيْنَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْـمُلْكُ الْـحَقُّ الْـمُبِيْنُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصَّادِقُ الْأَمِيْنُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Segala puji bagi Allah l yang telah menjadikan masjid sebagai sebaik-baik tempat di muka bumi. Saya bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali hanya Allah l dan saya bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad n adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tencurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang berjalan di atas petunjuknya.
Hadirin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah l dan berupaya untuk memuliakan masjid dengan memakmurkannya serta menjaganya dari hal-hal yang akan menghinakannya. Masjid adalah tempat yang di dalamnya dipenuhi oleh rahmat Allah l dan para malaikat-Nya serta tempat berkumpulnya orang-orang yang shalih dari hamba-hamba-Nya. Rasulullah n telah menyebutkan di dalam banyak hadits tentang keutamaan orang yang berjalan menuju masjid. Di antaranya beliau n bersabda:
مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً
“Barangsiapa yang bersuci dari rumahnya kemudian berjalan ke salah satu rumah dari rumah-rumah Allah l (masjid) untuk menunaikan salah satu kewajiban dari kewajiban-kewajiban Allah l, maka kedua langkahnya salah satunya akan menghapus dosa dan langkah yang lainnya akan mengangkat derajat.” (HR. Muslim)
Begitu pula disebutkan dalam sabdanya n:
مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ أَوْ رَاحَ أَعَدَّ اللهُ لَهُ فِي الْجَنَّةِ نُزُلاً كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ
“Barangsiapa menuju masjid pada waktu siang hari atau malam hari maka Allah l akan memberikan jamuan hidangan baginya di surga pada setiap siang dan malam.” (HR. Muslim)
Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang menunjukkan keutamaan berjalan ke masjid. Bahkan disebutkan pula di dalam hadits lainnya keutamaan orang duduk di masjid untuk menunggu didirikannya shalat. Yaitu bahwa selama dia menunggu shalat, dirinya mendapatkan keutamaan orang yang melakukan shalat dan malaikat senantiasa mendoakannya selama dirinya masih memiliki thaharah atau tidak batal sucinya. Nabi n bersabda:
لاَ يَزَالُ الْعَبْدُ فِي صَلاَةٍ مَا كاَنَ فِي مُصَلاَّهُ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ، وَتَقُوْلُ الْمَلاَئِكَةُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ، حَتَّى يَنْصَرِفَ أَوْ يُحْدِثَ
“Tetaplah seorang hamba dikatakan sebagai orang yang shalat selama dia berada di tempat shalatnya dalam keadaan dia menunggu ditegakkannya shalat. Dan malaikat akan berdoa untuknya seraya mengatakan, ‘Ya Allah, ampunilah dia dan rahmatilah dia’, sampai (hamba tersebut) meninggalkan masjid atau terkena hadats.” (HR. Muslim)
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Namun sungguh sangat memprihatinkan kenyataan yang kita saksikan. Karena di masa kini ternyata hanya sedikit jumlah orang-orang yang mencari keutamaan yang telah Allah l janjikan bagi orang yang memperbanyak pergi ke masjid untuk beribadah di dalamnya. Sehingga masjid-masjid banyak yang sepi, sementara pasar, mal, dan supermarket serta tempat-tempat hiburan dipenuhi oleh pengunjung. Bahkan apabila seseorang yang memerhatikan keadaan beberapa masjid di masa sekarang dan membandingkannya dengan keadaan masjid di masa Rasulullah n serta di masa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun, maka dia akan mendapatkan perbedaan yang sangat besar. Karena masjid di masa-masa terbaik umat ini benar-benar dimuliakan dan difungsikan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh syariat. Di saat itu, masjid disamping berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat untuk menuntut ilmu dan tempat bertolaknya kaum mujahidin serta sebagai sarana untuk mengikat hubungan persaudaraan di antara kaum mukminin. Sehingga di masa itu, masjid meskipun di luar waktu shalat lima waktu tidak pernah kosong dari orang-orang yang ingin beribadah di dalamnya. Masjid di masa itu senantiasa didatangi oleh kaum muslimin yang ingin beribadah di dalamnya serta didatangi oleh orang-orang yang ingin mengajarkan ilmu dan yang ingin menuntut ilmu. Sedangkan di waktu-waktu shalat, masjid dipenuhi oleh seluruh kaum muslimin yang hendak menjalankan shalat, tidak ada yang menyelisihi kewajiban ini kecuali orang-orang yang punya udzur dan kaum munafiqin.
Hadirin rahimakumullah,
Adapun masjid-masjid di masa sekarang ini, maka sebagian besarnya, sebagaimana yang kita saksikan telah berubah keadaannya dari keadaan masjid di masa-masa terbaik umat ini. Tidak sedikit di antara masjid yang ada di zaman kita dibangun namun tidak terdengar dikumandangkannya adzan dari masjid tersebut kecuali hanya pada beberapa waktu shalat saja. Tidak sedikit pula masjid yang terdengar darinya suara adzan namun tidak ada yang mendatanginya. Disamping itu, adapula masjid yang dibangun akan tetapi untuk dibangga-banggakan bentuk dan keindahan bangunannya saja, sehingga dijadikan oleh sebagian kaum muslimin sebagai tempat wisata. Adapula yang digunakan untuk shalat lima waktu, namun di sisi lain digunakan pula untuk acara-acara ibadah yang diada-adakan yang tidak ada syariatnya di dalam ajaran Islam. Bahkan terkadang dalam pelaksanaan acara tersebut juga terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap syariat yang sangat tidak pantas untuk dilakukan di tempat yang mulia ini, seperti adanya iringan musik, asap dan bau rokok yang diisap oleh orang-orang yang menghadirinya serta kemungkaran lainnya. Bahkan yang lebih menyedihkan, tidak sedikit dari masjid yang dimakamkan di dalamnya orang-orang yang telah meninggal dunia dari kalangan orang-orang yang dianggap sebagai wali, untuk kemudian dijadikan sebagai kuburan yang dikeramatkan. Sehingga akibatnya terjadilah di dalam masjid tersebut perbuatan-perbuatan syirik kepada Allah l. Yaitu dengan menjadikan orang yang dimakamkan di masjid tersebut sebagai perantara untuk meminta kepada Allah l.
Akhirnya, jadilah masjid yang seharusnya dibangun untuk menghidupkan dan mengagungkan Sunnah Nabi n menjadi tempat untuk pelanggaran terhadap syariat dan menjauhkan kaum muslimin dari Sunnah Nabi n. Jadilah masjid yang seharusnya dibangun untuk beribadah kepada Allah l sebagai tempat untuk berbuat dosa dan kemungkaran yang paling besar yaitu perbuatan syirik kepada Allah l. Padahal menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, baik dengan membangun tempat ibadah di atas kubur atau mengubur seseorang di tempat ibadah adalah perbuatan orang-orang Nasrani. Sementara itu, kaum muslimin telah dilarang oleh Nabi n dari meniru-niru perbuatan mereka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim di dalam kedua kitab Shahihnya, bahwa Ummul Mukminin ‘Aisyah x meriwayatkan:
أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ ذَكَرَتْ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَنِيْسَةً رَأَتْهَا بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ وَمَا فِيْهَا مِنَ الصُّوَرِ، فَقاَلَ: أُولَئِكِ إِذَا مَاتَ فِيْهِمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ أَوِ الْعَبْدُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا، وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَرَ، أُولَئِكِ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ
Bahwasanya Ummu Salamah x menyebutkan kepada Rasulullah (tentang) gereja yang beliau x melihatnya di negeri Habasyah dan gambar atau patung yang ada di dalamnya. Maka (Nabi n) berkata: “Mereka (orang-orang Nasrani) apabila (ada yang) meninggal di antara mereka seorang yang shalih atau hamba yang shalih, (maka) mereka membangun di atas kuburnya tempat untuk beribadah (gereja) dan mereka membuat di dalam tempat ibadah tadi gambar dan patung-patung tersebut. Mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah l.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Bahkan Nabi n menjelang wafatnya berpesan di dalam sabdanya:
أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كاَنَ قَبْلَكُمْ كاَنُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوْا القُبُوْرَ مَسَاجِدَ، فَإِنِّيْ أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
“Ketahuilah bahwasanya orang-orang sebelum kalian dahulu menjadikan kuburan nabi-nabi mereka dan orang-orang shalih mereka sebagai tempat ibadah, maka sungguh janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah karena aku melarang kalian dari perbuatan tersebut.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, seharusnya orang-orang yang diberi amanah untuk menjalankan kegiatan di masjid adalah orang-orang yang memahami ajaran Islam dengan benar. Sehingga masjid dimuliakan dan difungsikan sebagaimana mestinya serta tidak diajarkan atau dilakukan di dalamnya perbuatan syirik, bid’ah, dan segala yang bertentangan dengan syariat.
Hadirin rahimakumullah,
Disamping dimuliakan dengan beribadah di dalamnya, masjid juga harus dijaga dari sisi fisiknya. Yaitu dijaga dari hal-hal yang bisa merusak bangunannya, dijaga kebersihannya, dan dicegah dari hal-hal yang akan mengotorinya. Begitu pula diupayakan agar masjid selalu dalam suasana yang nyaman dan terjaga dari bau yang tidak sedap. Berkaitan dengan masalah ini disebutkan dalam hadits:
أَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبِنَاءِ الْمَسَاجِدِ فِيْ الدُّوْرِ وَأَنْ تُنَظَّفَ وَتُطَيَّبَ
“Rasulullah n memerintahkan untuk membangun masjid di desa-desa dan agar (masjid tersebut) dibersihkan dan diberi wewangian.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud serta dishahihkan Al-Albani)
Begitu pula Nabi n melarang masuknya bau yang tidak sedap ke dalam masjid seperti bawang putih apalagi bau rokok dan yang semisalnya, sebagaimana tersebut dalam sabdanya n:
مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ -يَعْنِي الثُّومَ- فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا
“Barangsiapa yang memakan dari tanaman ini –yaitu bawang putih– maka janganlah dia sekali-kali mendekati masjid kami.” (Muttafaqun ‘alaih)
Akhirnya kita memohon kepada Allah l agar menunjukkan kepada kita kebenaran dan memberikan pertolongan kepada kita untuk menjalankannya. Begitu pula kita memohon kepada-Nya agar kita bisa mengetahui yang batil adalah batil dan memberikan pertolongan kepada kita untuk menjauhinya. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Khutbah kedua
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلىَ الظَّالِمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَه لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصَّادِقُ الْأَمِيْنُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Masjid adalah tempat mulia yang dibangun untuk ditinggikan nama Allah l di dalamnya. Bahkan karena tinggi dan mulianya tempat tersebut dan berbedanya tempat tersebut dengan bangunan lainnya yang ada di muka bumi ini maka masjid disebut pula dengan istilah rumah Allah l. Allah l menyebutkan di dalam firman-Nya:
“Bertasbih kepada Allah di rumah-rumah (masjid) yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. (Yang bertasbih tersebut adalah) laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (An-Nur: 36-37)
Tingginya kedudukan masjid di dalam Islam juga ditunjukkan oleh perbuatan Nabi n di saat sampainya beliau n di kota Madinah pada peristiwa hijrah. Yaitu bahwa yang pertama kali dibangun oleh beliau n adalah masjid. Hal ini tentu menunjukkan betapa pentingnya masjid bagi kaum muslimin dan betapa mulianya kedudukan masjid di dalam agama Islam. Oleh karena itu, sudah semestinya bagi kaum muslimin untuk memuliakannya dan menggunakannya sesuai dengan fungsinya, serta menjaganya dari hal-hal yang tidak sepantasnya untuk dilakukan terhadapnya. Allah l telah mengancam orang-orang yang menghinakannya, baik yang berkaitan dengan orang-orang yang hendak beribadah di dalamnya maupun yang berkaitan dengan bangunannya. Allah l berfirman:
“Dan siapakah yang lebih zalim dari orang yang menghalang-halangi disebutnya nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah), mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang besar.” (Al-Baqarah: 114)
Hadirin rahimakumullah,
Kebiasaan seseorang yang senantiasa menuju masjid dan beribadah di dalamnya adalah merupakan tanda keimanan seseorang. Allah l telah menyatakan keimanan mereka di dalam ayat-Nya:
“Tidaklah orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid Allah kecuali orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta yang menegakkan shalat, menunaikan zakat serta tidak takut kecuali kepada Allah, maka merekalah yang termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (At-Taubah: 18)
Begitu pula Nabi kita Muhammad n menyebutkan bahwa di antara orang-orang yang mendapat pertolongan-Nya berupa naungan dari sengatan panas matahari di padang mahsyar nanti adalah orang-orang yang hatinya senantiasa mengingat masjid. Oleh karena itu, marilah berupaya untuk memakmurkan masjid. Terutama ketika mendengar panggilan adzan untuk shalat berjamaah. Karena shalat berjamaah keutamaannya 27 derajat lebih tinggi dari shalat sendirian. Maka sungguh sangat rugi orang-orang yang tidak mau memenuhi panggilan adzan. Kalau seseorang itu mau berpikir, maka siapa yang tidak ingin mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat? Seseorang ketika dalam urusan perdagangan atau bisnisnya dijanjikan akan mendapatkan hasil 27 kali lipat lebih banyak oleh teman bisnisnya dibanding melakukan perdagangan dengan yang lainnya, tentu dia akan segera menyepakatinya. Padahal yang namanya perdagangan tidak bisa dijamin keberhasilannya. Sementara ajakan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dan berlipat-lipat yang akan didapat pada kehidupan sesungguhnya di akhirat nanti yang dijanjikan oleh Allah l yang pasti akan menunaikan janji-Nya, ternyata tidak didatangi kecuali hanya beberapa orang saja. Itupun sebagiannya datang dengan rasa malas atau terlambat tanpa udzur. Pemandangan yang demikian ini tentunya sangat memprihatinkan karena keadaan yang seperti ini menyerupai sifat orang munafik, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah l:
“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (An-Nisa: 142)
Akhirnya marilah kita senantiasa takut kepada Allah l dan marilah kita mengikuti agama yang dibawa oleh Rasulullah n.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّينِ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِينَ، اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِينَ فِي كُلِّ مَكَانٍ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، إِنَّهُ سَمِيْعٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

Pengikut