Kamis, 24 November 2011

Salman Al-Farisi Mencari Islam

Namibia-desert
|Saat hidayah menerangi hati, takkan gentar jiwa menantang aral. Gunung tak masalah untuk didaki, laut pun tak peduli untuk diarungi, lezatnya pangkat pun siap ditanggalkan. Semua ini guna mencecap nikmatnya hidayah yang tak terbeli.
Dalam lipatan buku sejarah dan hadits, tertoreh nama Salman Al-Farisi. Seorang sahabat Nabi dari negeri seberang. Seorang alim yang mengetahui dua kitab suci. Sejarah keislamannya mencerminkan mahal dan manisnya hidayah. Kisah Salman masuk Islam termaktub di dalam Musnad Ahmad secara lengkap dengan sanad yang shahih. Salman menceritakannya secara langsung kepada Ibnu ‘Abbas g.
Sebelum Rasulullah ` diutus membawa cahaya hidayah, pemuda Salman adalah pemuda Persia, anak kesayangan dari seorang tokoh di sana, sampai-sampai ayahnya tidak membiarkannya keluar rumah lantaran sayang terhadap putranya.
Salman awalnya adalah seorang Majusi penyembah api yang taat. Dia senantiasa menjaga api agar tidak padam. Suatu hari, Salman diperintah untuk melihat kebun ayahnya. Dia pun bertolak dari rumah menuju kebunnya. Di tengah perjalanan, Salman mendengar suara orang-orang Nasrani sedang beribadah di dalam gereja. Salman, yang tidak mengetahui dunia luar, pun penasaran terhadap suara tersebut. Dia masuk ke dalam gereja melihat ibadah yang mereka lakukan.
“Demi Allah, ini lebih baik daripada agama yang kami anut.” tukasnya dalam hati.
“Dari mana asal agama ini?” tanya Salman kepada mereka.
Mereka menjawab, “Syam.”
Dia terus di gereja hingga matahari tenggelam dan tidak mendatangi kebun ayahnya. Saat dia pulang, ayahnya mengatakan padanya, “Dari mana kamu, Nak? Bukankah aku telah menyuruhmu untuk melihat kebun?” Salman pun menceritakan perihalnya. Demi melihat anaknya condong kepada agama Nasrani, ayahnya pun merantai kakinya dan tidak memperbolehkannya keluar rumah.
Salman tak patah arang. Dia mengirim utusan untuk menemui orang-orang Nasrani dan berpesan, “Jika ada orang yang datang dari Syam, tolong beritahu saya.”
Datanglah saudagar Nasrani dari Syam. Tatkala mereka ingin pulang ke negari Syam, Salman lepaskan rantai besi di kakinya, lari dari rumah, dan ikut bersama rombongan saudagar tersebut. Sesampainya di Syam, Salman bertanya, “Siapa yang paling utama ilmunya dalam agama ini?”
“Uskup di gereja.” jawab mereka.
Salman pun mendatanginya dan tinggal bersamanya. Ternyata, pendeta ini adalah pendeta yang berakhlak jelek. Dia memotivasi orang-orang untuk mengumpulkan uang, namun ternyata dia gunakan untuk kepentingan pribadi, dan tidak memberikannya kepada orang miskin.
Saat ajal menjemput pendeta ini, dia digantikan oleh seorang yang baik. Seorang figur yang zuhud terhadap dunia, berakhlak mulia, cinta terhadap akhirat, dan rajin beribadah siang dan malam. Salman sangat mencintai gurunya ini.
Tak lama, pendeta ini pun menemui ajalnya. Sebelum pendeta meninggal, Salman bertanya kepadanya siapa orang yang masih berada di atas agama ini. Pendeta itu pun mengatakan, “Anakku, Demi Allah, pada hari ini aku tidak mengetahui ada seseorang yang menganut ajaran sepertiku. Orang-orang telah binasa dan merubah ajaran Nasrani. Mereka telah meninggalkan banyak dari ajarannya. Kecuali, seseorang di daerah Maushil, Fulan, dia menganut ajaran sepertiku. Ikutilah dia.”
Demikianlah, Salman ke Maushil setelah penguburan pendeta dan berguru kepada seorang Nasrani di sana. Lagi, maut pun menjemput gurunya. Sebelum ajal menjemput, dia bertanya kepada gurunya siapa yang masih berada di atas ajaran ini. “Fulan di daerah Nashibin.” katanya. Hal ini berulang kali terjadi pada Salman, berpindah dari satu guru ke guru yang lain dari satu tempat ke tempat yang lain demi mencari hidayah ajaran agama yang benar. Sampai-sampai, Salman pernah berujar, “Saya berganti guru sebanyak belasan kali. Dari satu guru ke guru yang lain.”
Hingga pada akhirnya, dia berguru kepada seorang pendeta di kota yang bernama ‘Ammuriyah. Tak lama, pendeta itu pun meninggal dunia. Sebelum pendeta itu meninggal dunia, Salman bertanya dengan pertanyaan yang sama, siapa orang yang masih dengan setia memeluk agama Nasrani yang murni. Pendeta pun menjawab, “Anakku, Demi Allah, sekarang ini saya tidak tahu ada seseorang yang menganut seperti agama kita ini. Tetapi, sudah dekat zaman Nabi yang diutus membawa agama Nabi Ibrahim. Tempat hijrahnya banyak pohon kurma dan diapit dua tempat yang banyak batu hitam (Madinah). Dia memiliki tanda yang tidak tersembunyi: mau memakan hadiah, tidak mau memakan sedekah, dan antara dua pundaknya ada tanda kenabian. Jika kamu bisa tinggal bersamanya di negeri itu, lakukanlah.”
Selang beberapa lama, datanglah serombongan saudagar dari negeri Arab. Salman pun meminta tumpangan kepada mereka dengan bayaran beberapa sapi dan kambing hasil pekerjaannya. Di tengah perjalanan, tepatnya di Wadi Al-Qura, saudagar tadi menzhalimi Salman. Dia menjual Salman sebagai budak kepada seorang Yahudi.
Tak lama bersama Yahudi itu, Salman pun dijual lagi kepada seorang Bani Quraizhah dari Madinah. Salman dibawa ke Madinah. Saat memasukinya, Salman paham inilah kota yang dimaksud oleh gurunya.
Lalu, Rasulullah ` pun diutus. Saat itu, beliau tinggal di Makkah dan Salman tidak mengetahui perihal beliau dikarenakan kesibukannya sebagai budak.
Pada saat Nabi ` hijrah ke Madinah, seorang sepupu tuannya datang tergopoh-gopoh mengeluhkan sesuatu, “Wahai Fulan, semoga Allah membinasakan Bani Qailah (yakni Anshar), Demi Allah! Hari ini mereka berkumpul di Quba menemui seseorang dari Makkah, dia sangka bahwa dirinya Nabi.” tukasnya kepada sepupunya.
Salman yang waktu itu berada di atas pohon gemetar demi mendengar berita ini hingga hampir menjatuhi tuannya. Dia turun dan bertanya kepada sepupu tuannya, “Apa katamu? Apa katamu?”
Tuannya pun marah dan memukulnya. “Apa urusanmu?! Kembali bekerja!” katanya.
Salman menjawab, “Tidak, saya hanya ingin memastikan saja.”
Malamnya, Salman mengambil perbekalan yang dia kumpulkan. Dia pergi ke Quba menemui Rasulullah `. Salman menemui beliau dan mengatakan, “Saya diberitahu bahwa Anda adalah seorang yang shalih dan sahabat Anda adalah orang yang membutuhkan. Ini milik saya untuk sedekah.” Salman mendekatkan bekalnya kepada Nabi `. Beliau pun berkata, “Makanlah kalian.” Sedang beliau tidak menyentuhnya sama sekali. “Ini satu tanda.” kata Salman dalam hati.
Salman pun pulang. Saat Rasulullah ` hendak berangkat ke Madinah, Salman mendatangi beliau, membawa bekal yang lebih banyak daripada kemarin, dan mengatakan, “Saya melihat Anda tidak memakan sedekah, ini hadiah untuk Anda sebagai bentuk pemuliaan saya terhadap Anda.” Beliau pun makan darinya dan menyuruh sahabatnya untuk makan bersama beliau. “Dua tanda.” kata Salman dalam hati.
Di lain hari, Salman menemui Nabi ` di pekuburan Baqi’. Salman pun melihat punggung Nabi ` untuk memeriksa tanda ketiga yang berupa tanda kenabian di antara pundak beliau. Rasulullah ` paham bahwa Salman ingin melihat tanda kenabian. Maka Rasulullah ` pun menurunkan pakaian atasnya yang berupa selendang waktu itu. Saat Salman melihat tanda kenabian pada punggung beliau, dia pun memeluk Rasulullah `, menciumnya, dan menangis. Setelah sekian lama merindu hidayah, akhirnya Salman pun bertemu dengan pembawa panji hidayah. Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam. Makhluk yang pantas untuk dibela hingga titik darah penghabisan. Tak heran, Salman pun kemudian menjadi salah satu benteng Rasulullah ` dalam sekian peperangan.
Demikianlah kisah indah Abu Abdillah Salman Al-Farisi. Seorang sahabat yang mencari jati diri. Kesulitan demi kesulitan dialaminya demi menuntut kebenaran. Kasih sayang dari ayahnya tak cukup untuk menghentikannya dari memburu kebenaran. Begitulah jiwa yang telah Allah kehendaki menerima cahaya hidayah. Semoga Allah meridhai dan merahmatinya. (Abdurrahman)
Bookmark and Share

Leave a Reply





tulis gambar diatas

Hijrah ke Negeri Habasyah (Ethiopia)

gurunPada periode Mekah di awal dakwah Islam, Rasulullah ` mulai gencar berdakwah setelah Rabbnya memerintahkan untuk terang-terangan berdakwah. Musuh Islam pun menunjukkan kekhawatirannya. Manuver-manuver kekejaman mereka lakukan untuk mengembalikan kaum muslimin kepada agama kaumnya.
Allah melindungi Rasul-Nya ` dengan perantaraan pamannya, Abu Thalib, yang merupakan tokoh kaumnya. Demikian pula Abu Bakr, beliau dilindungi oleh keluarganya. Namun, sahabat yang lainnya tidak memiliki pelindung. Mereka disiksa dengan siksaan yang berat.
Hijrah Pertama ke Negeri Habasyah (Ethiopia)
Pada tahun kelima kenabian, Rasulullah ` mengisyaratkan kepada para sahabat untuk hijrah ke negeri Habasyah, untuk mendapatkan perlindungan Raja Najasyi[1] yang beragama Nasrani. Beliau ` bersabda, “Di negeri Habasyah ada seseorang raja yang rakyatnya tidak akan dizalimi. Maka, pergilah kalian ke sana hingga Allah memberikan jalan keluar bagi kita.”
Dua belas lelaki dan empat wanita pun berangkat meninggalkan Mekah menuju Habasyah secara bertahap. Mereka lari membawa agama dan keselamatan diri mereka. Di antara mereka adalah Utsman bin Affan, dan istrinya, Az-Zubair bin Awwam, Ibnu Mas’ud, Mush’ab bin Umair dan lainnya.
Kaum Quraisy mencium gelagat ini. Mereka mengejar kaum muslimin sampai ke pantai. Namun, mereka tidak mendapatkan satu pun dari kaum muslimin.
Dua bulan berlalu sejak mereka bermukim di Habasyah. Mereka mendengar kabar burung bahwa penduduk Mekah masuk Islam semuanya. Mereka pun pulang ke tanah air dengan perasaan gembira, memeluk Islam bersama keluarga.
Tak disangka, ternyata kabar burung yang mereka peroleh ini tidak benar. Ketika mereka sudah hampir sampai kota Mekah, seseorang memberi tahu mereka bahwa penduduk Mekah belum masuk Islam. Mereka merasa takut sekaligus cemas sehingga tidak langsung memasuki Mekah demi mendengar berita ini. Hingga akhirnya, mereka memasuki kota Mekah dengan diam-diam atau di bawah perlindungan seseorang dari kaum Quraisy. Di sana, kembali para sahabat disiksa lebih berat dari sebelumnya.
Hijrah Kedua ke Negeri Habasyah
Melihat betapa menyedihkannya keadaan yang menimpa para sahabat waktu itu, Rasulullah ` menganjurkan untuk kembali berhijrah ke Negeri Habasyah.
Delapan puluh sekian lelaki dan sembilan belas wanita berhijrah menuju Habasyah, menuju tempat yang aman dan tenteram untuk beribadah kepada Rabbnya.

Susulan dari Quraisy
Mendengar kepergian kaum muslimin ke negeri Habasyah, tokoh Quraisy pun bermusyawarah. Mereka mencari cara agar kaum muslimin bisa kembali ke Mekah untuk mereka siksa. Keputusannya, mereka akan mengutus dua orang yang pandai bernegosiasi dengan membawa hadiah kepada Najasyi.
Mereka mengutus ‘Amr bin Al-‘Ash z (yang waktu itu masih kafir) dan ‘Imarah bin Al-Walid (dalam riwayat lain: Abdullah bin Abi Rabi’ah) membawa hadiah untuk raja Najasyi dan para pendetanya. Setiap pendeta mereka beri hadiah seraya mengatakan, “Kami menemui raja hanya karena beberapa orang bodoh kaum kami. Mereka keluar dari agama kaumnya dan tidak masuk ke agama kalian. Lalu, kaum kami menginginkan agar raja mengembalikan mereka. Jika kami berbicara dengan raja, mintalah beliau untuk menuruti apa yang kami maukan.”
Para pendeta itu menjawab, “Ya. Kami lakukan.”
Lalu, mereka pun menemui raja Najasyi dan memberikan hadiah istimewanya. Tak lupa, mereka bersujud ketika pertama menemui Najasyi. Saat mereka memberikan hadiahnya kepada Najasyi, mereka mengatakan, “Baginda, beberapa pemuda bodoh kami keluar dari agama kaumnya, tetapi tidak pula masuk ke dalam agama Anda. Mereka datang membawa agama baru yang tidak kita ketahui. Mereka ada di negeri Anda. Dan kami telah diutus oleh kerabat mereka, ayah, paman, dan kaum mereka agar Anda bersedia untuk mengembalikan mereka.”
Raja Najasyi marah dan mengatakan, “Tidak, demi Allah! Aku tidak akan mengembalikan mereka hingga aku berbicara dengan mereka dan aku lihat bagaimana perkaranya. Mereka adalah orang-orang yang berlindung di tanah airku, memilih untuk bertetangga denganku daripada selainku. Jika memang seperti apa yang kalian katakan, aku kembalikan mereka, jika tidak, aku tetap lindungi mereka dan aku tidak turut campur antara mereka dan kaumnya.”
Para pendeta menyarankan untuk mengembalikan mereka, namun Najasyi tetap mengatakan, “Tidak, demi Allah, hingga aku mendengar ucapan mereka dan aku tahu urusan sebenarnya.”
Najasyi memerintahkan untuk memanggil kaum muslimin. Datanglah kaum muslimin dengan Ja’far bin Abi Thalib z sebagai juru bicara. Mereka menemui Najasyi dan tidak bersujud kepadanya. Para pendeta mengatakan, “Bersujudlah kalian kepada raja.”
“Kami tidak sujud kecuali kepada Allah U.” jawab Ja’far.
“Kenapa?” tukas Najasyi heran.
“Allah telah mengutus seorang Rasul di tengah-tengah kami. Beliau adalah Rasul yang diberitakan oleh Isa bin Maryam q bernama Ahmad. Beliau memerintah kami untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, menegakkan shalat, menunaikan zakat, serta memerintahkan untuk berbuat ma’ruf dan melarang dari kemungkaran.”
Najasyi merasa takjub terhadap perkataan ini. Melihatnya, ‘Amr bin Al-‘Ash menimpali, “Semoga Allah memperbaiki Anda, keyakinan mereka tentang Isa bin Maryam berbeda dengan keyakinan Anda.”
“Apa yang Nabi kalian yakini tentang Ibnu Maryam?” tanya Najasyi kepada kaum muslimin.
“Beliau meyakini apa yang Allah firmankan bahwasanya dia adalah Ruh yang Allah tiupkan dan kalimat-Nya yang Dia ucapkan pada Maryam. Dia mengeluarkannya dari perawan yang belum pernah didekati lelaki dan tidak pernah melahirkan anak.” kata Ja’far.
Najasyi pun mengambil sepotong kayu kecil di tanah dan mengangkatnya seraya mengatakan, “Wahai sekalian pendeta dan rahib. Mereka tidak menambahi dari apa yang aku yakini tentang anak Maryam meski hanya sebesar kayu ini. Selamat datang bagi siapapun yang datang dari pihak Nabi kalian. Saya bersaksi bahwasanya beliau adalah Rasulullah. Saya bersaksi bahwa beliau adalah yang diberitakan oleh Isa. Seandainya bukan karena kerajaan yang ada di tanganku, niscaya aku mendatangi beliau dan menciumi kedua sandal beliau. Tinggallah kalian sekehendak kalian di negeriku.”
“Kembalikan hadiah dua orang ini.” tambah Najasyi.
Gagallah rencana Quraisy untuk mengembalikan kaum muslimin di negeri Habasyah ke Mekah.
Kembali dari Habasyah
Beberapa tahun setelahnya, mereka mendengar bahwasanya Nabi ` dan para sahabat hendak berhijrah ke negeri Madinah. Sebagian sahabat pun ada yang kembali ke Mekah untuk berhijrah bersama Rasulullah ` ke Negeri Madinah. Mereka berjumlah tiga puluh tiga lelaki dan delapan wanita. Dua lelaki di antaranya meninggal di Mekah dan tidak sempat ikut bersama Rasulullah `. Tujuh orang lelaki ditahan oleh kaumnya. Sedangkan yang dua puluh empat berhasil mengikuti Rasulullah ` berhijrah dan mengikuti perang Badr.
Surat Untuk Najasyi
Pada tahun ketujuh hijriah di negeri Habasyah, Rasulullah ` mengirimkan surat kepada Najasyi, isinya adalah ajakan Rasulullah ` untuk masuk Islam. Najasyi pun mengikuti seruan Nabi `. Beliau masuk Islam waktu itu pula seraya mengatakan, “Andai aku mampu untuk menemui beliau, niscaya aku akan menemuinya.”
Di dalam surat itu juga terkandung perintah Nabi ` untuk mengirimkan para sahabat ke Madinah. Sebagian para sahabat pun diangkut di atas dua perahu oleh Najasyi. Mereka mendatangi Nabi ` tepat pada waktu ditaklukannya kota Khaibar.
Surat itu juga mengandung perintah Nabi untuk menikahkan diri beliau dengan Ummu Habibah bintu Abu Sufyan yang waktu itu berada di Habasyah. Najasyi pun meminangkan Ummu Habibah untuk Rasulullah `. Sedangkan yang menikahkan Ummu Habibah dengan beliau adalah Khalid bin Sa’id bin Al-‘Ash. Mahar pernikahan beliau sebesar empat ratus dinar yang diberikan oleh Najasyi.
Ummu Habibah dahulu berhijrah ke Habasyah bersama dengan suaminya, Ubaidullah bin Jahsy. Namun, Ubaidullah murtad ke agama Nasrani di Habasyah dan meninggal beragama Nasrani.
Najasyi z Meninggal Dunia
Saat Najasyi meninggal dunia, Rasulullah ` memerintahkan kepada para sahabat untuk berkumpul melakukan shalat ghaib, bertakbir empat kali sebagaimana tata cara shalat jenazah pada umumnya. Beliau bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari v yang artinya, “Hari ini telah meninggal seorang lelaki yang shalih dari negeri Habasyah. Mari kita menshalatinya.”
Kejadian inilah yang merupakan dasar disyariatkannya shalat ghaib. Namun, ada satu hal yang patut diperhatikan darinya. Najasyi masuk Islam seorang diri di negeri Habasyah. Sedangkan kaumnya masih beragama Nasrani, sehingga tidak ada yang menshalati jenazah beliau di sana. Oleh karena itu, Rasulullah ` mengajak para sahabat untuk menshalatinya. Adapun jika seseorang meninggal di tempat yang kemungkinan besar dia dishalatkan, tidak disyariatkan untuk menshalatinya dengan shalat ghaib, menurut pendapat sebagian ulama.
Demikianlah beberapa peristiwa terkait dengan hijrah ke bumi Habasyah. Allahu a’lam bish shawab. (Abdurrahman)
Disarikan dari:
Mukhtashar Sirah Ar-Rasul `, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab v.
As-Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hisyam v.
As-Sirah An-Nabawiyah, Muhammad bin Ishaq v.
Shahih Sirah An-Nabawiyah, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani v.

[1] Najasyi adalah gelar bagi penguasa Habasyah, sebagaimana Kaisar adalah gelar bagi penguasa Romawi. Najasyi yang melindungi kaum muslimin dan masuk Islam bernama Ashĥimah bin Baĥr z.
Bookmark and Share

Leave a Reply





tulis gambar diatas

Jumat, 18 November 2011

Teman Tapi Shalih

Friendship_Bliss_by_ms_dost

Sobat Tashfiyah,
Senang dong kalo kita punya sahabat yang bisa jadi tempat curhat. Apalagi, kalo dia bisa memberi solusi dan bimbingan. Lha bagaimana kalo sobat kamu justru jadi biang onar buat kamu. Kamu lagi cekcok sama temen, eh, dia nggak mendamaikan, malah membantu memusuhinya. Bisa berabe kan?
Makanya, Islam, agama sempurna yang kita anut ini memberi pengarahan dalam mencari teman. Soalnya, banyak orang terjerumus ke dalam kubangan kemaksiatan -bahkan kekufuran- gara-gara teman yang buruk. Baca deh firman Allah ini:
“Dan pada hari itu orang zhalim menggigit jari mereka dan mengatakan, ‘Wahai, seandainya aku berjalan bersama Rasul.*. Celakalah aku, andai aku tidak menjadikan Fulan sebagai sahabat karib.*. Dia telah menyesatkanku dari peringatan (yakni agama Islam) setelah datang kepadaku. Dan sesungguhnya syaithan benar-benar meninggalkan manusia (ketika manusia sudah terjerumus ke dalam jebakan mereka).” [Q.S. Al-Furqan:27-29].
Mau Nggak Dikasih Misik?
Kamu tahu misik kan? Misik itu wewangian yang konon sangat disukai orang Arab. Wanginya sangat harum. Nah, mengenai misik ini, Rasulullah ` pernah membuat ibarat, “Permisalan teman duduk yang shalih dan teman duduk yang jelek seperti pembawa (penjual) misik dan peniup tungku (pandai besi). (Duduk dengan) pembawa minyak wangi bisa jadi ia akan memberimu minyak wangi, bisa jadi engkau membeli darinya, atau bisa jadi engkau akan dapati darinya aroma yang wangi. Sementara (duduk dengan) pandai besi, bisa jadi ia akan membakar pakaianmu (karena debu bara yg beterbangan), dan bisa jadi engkau dapati darinya bau yang tak sedap.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Nah, itu tadi permisalan teman yang shalih dan teman yang buruk. Teman yang baik bisa menularkan keshalihannya, minimalnya kamu dapat perlakuan yang baik dari dia. Sedangkan, teman yang buruk bisa menularkan keburukannya, minimalnya kamu dijahati sama dia. Nah, maka dari itu, cari teman yang shalih (apalagi penjual misik yang shalih, bisa dapat parfum gratis nih).
Kamu, Teman Kamu, dan Agamamu
Sebagai muslim, tentu agama Islam ini sangat berarti banget buat kamu. Tentunya kamu tahu kalau agama ini adalah kunci masuk surga. Makanya, agama kamu ini harus didahulukan daripada apapun. Untuk menyempurnakan agama kamu, kamu mesti pilih teman yang baik. Alasannya, seperti sudah disebutkan, teman punya pengaruh gede banget buat diri kamu.
Rasulullah ` pun bersabda, “Seseorang itu berada di atas agama teman karibnya, maka lihatlah oleh kalian siapa temannya.” [H.R. At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani ]. Kalau teman kamu jarang shalat, ya biasanya kamu nggak begitu jauh dari teman kamu. Kalo teman kamu suka minum khamr (baca: whiskey, sampanye, bir, Mansion, Topi M***ng™, dll), biasanya kamu nggak menolak kalau ditawari. Jadi, cari teman yang ngajakin shalat zhuhur, shalat dhuha, ngingetin kalau pas lupa shalat (shalat kok lupa), dan lainnya.
Makanya, seorang penyair Arab, ‘Adi bin Zaid pernah bilang (bilangnya sih pakai bahasa Arab, ini langsung diterjemahkan):
“Jangan tanya tentang seseorang, tapi tanyalah tentang temannya
Setiap teman mengikuti temannya
Jika kamu di suatu kaum, carilah sobat yang paling baik
Dan jangan berkawan yang jelek, nanti kamu jelek, ikut orang jelek”
Eiitt, ini bukannya ngajakin kamu biar jadi eksklusif lho (nge-geng sama itu-itu aja, kalau sama teman lainnya nggak mau). Cuma, kalau teman dekat ya cari yang shalih. Soalnya, teman dekat ini yang sangat berpengaruh buat kamu.
Jadikan Ngaji Teman Dekat
Sobat, ada satu cara manjur bin mujarab buat menyelamatkan agama kamu dari rongrongan teman yang buruk. Coba deh kalau di sekitar kamu ada pengajian yang berlandaskan Al-Quran dan sunnah, kamu luangkan waktu untuk ikut acara itu. Biasanya gratis kok. Nah, di situ kamu bisa bergaul dengan teman-teman yang gaul abis. Maksudnya, gaul tentang ilmu agama yang bisa diajak konsultasi atau berbagi ilmu agama. Plus, mengingatkan kalau kamu melampaui batas. Allahu a’lam bish shawab.
Bookmark and Share

Leave a Reply





tulis gambar diatas

Apa Cita-Citamu ?

CITA-CITA

LIBURAN SEKOLAH. Bagi yang sudah lulus sekolahnya, sekarang mulai memikirkan  mau melanjutkan kemana. Mau kuliah ? kerja masuk pesantren ? atau masuk militer? Masing-masing pilihan merupakan sarana untuk mencapai cita-cita yang diinginkan.
Setiap manusia pasti memiliki cita-cita. Bila tidak, tentu dia tidak memiliki semangat hidup. Waktu kecil, ketika kita ditanyai “Mau jadi apa?” Kebanyakan dari kita biasanya menjawab, “Mau jadi tentara, mau jadi dokter, mau jadi presiden, dll” . Dalam perkembangannya, karena pengaruh pengetahuan yang semakin berkembang, cita-cita pun berubah. Anak kecil mungkin akan berubah-ubah jawabannya ketika ditanya apa cita-citanya. Beda dengan orang dewasa yang jawabannya mantap tak berubah. Kok bisa? Ya, karena cita-cita merupakan gabungan dari kemampuan dan pandangan hidup seseorang.
Anak kecil, yang kemampuannya masih berkembang dengan cepat, tentu saja cita-citanya berkembang sesuai kemampuannya. Beda dengan orang dewasa, yang sudah mulai bisa mengukur bakat dan kemampuannya, sehingga benar-benar mengerti apa yang ingin dan bisa ia capai.
Namun, kita juga sering menemui orang yang sudah cukup berumur, namun hidupnya luntang-lantung tidak jelas. Kalau ditanya mau jadi apa, jawabannya, “pingin jadi orang kaya”. Sungguh jawaban yang menggelikan, ingin menjadi orang kaya tetapi tidak berusaha bekerja dengan baik. Dari sini kita bisa melihat bahwa tidak semua orang yang memiliki cita-cita bisa menggapainya. Tergantung dari usaha yang dilakukannya (tentunya setelah melalui ketetapan  Allah).

Cita-Cita Seorang Muslim
Lalu apakah cita-cita seorang muslim? Dan bagaimana usaha untuk menggapainya? Allah  berfirman :
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kalian mati melainkan dalam keadaan beragama Islam” [QS. Ali Imran : 102]
Saudaraku…
Kita semua bukanlah hamba uang, bukan hamba ketenaran, bukan pula hamba nafsu kita sendiri. Kita semua adalah hamba Allah . Konsekuensi kita sebagai hamba (budak) adalah kita wajib melaksanakan apa-apa yang diperintahkan dan menjauhi apa-apa yang dilarang oleh pemilik kita, yaitu Allah.  Dan cita-cita tertinggi bagi seorang hamba Allah adalah ia bertemu Allah dalam keadaan muslim, kemudian ia memperoleh rahmat-Nya untuk masuk ke surga-Nya.
Jika begitu, sudah semestinya seorang muslim menjadikan cita-citanya di dunia sebagai sarana untuk mencapai cita-cita tertinggi di akhirat. Misalnya kamu ingin menjadi ahli pemrograman komputer. Maka niatkanlah belajar komputer bukan hanya untuk bekerja mendapatkan uang, namun juga sebagai sarana untuk meningkatkan produktifitas dan memudahkan kaum muslimin dalam bekerja. Dan juga -semoga Allah  memudahkanmu- berusahalah agar kemampuanmu itu bisa digunakan untuk berdakwah (misal dengan membuat website dakwah, program penghitungan zakat, dll). Niatkanlah semua perbuatan yang kita lakukan sebagai ibadah kepada Allah . Rasulullah  `mengajarkan,

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. [HR. Bukhori dan Muslim dari shahabat Umar bin Khaththab ]
Tidak Cukup Hanya Belajar Ilmu Dunia
Namun, untuk menggapai cita-cita akhirat, tidak cukup hanya dengan belajar ilmu dunia. Kita juga harus belajar ilmu agama secara sungguh-sungguh. Kita harus mempelajari Apa sih tauhid itu? Apa syirik itu? Lalu bagaimana dengan cara-cara ibadah rutin harian kita? Itu tidak boleh kita tinggalkan. Silahkan kamu belajar komputer, namun kewajiban belajar ilmu agama tidak boleh ditinggalkan.
Kamu mungkin berpikir, “Wah, ngapain serius belajar agama. Saya nggak mau jadi ustadz kok, saya  mau jadi programmer !”
Saudaraku….belajar agama bukan hanya untuk mereka yang akan menjadi ustadz. Kita belajar agama karena kita membutuhkannya setiap hari, bahkan setiap detik. Sebagai contoh cara kita shalat. Apakah shalat kita sudah benar? Sudah sesuai tuntunan Rasulullah ? Sudahkah kita mengerti bacaan shalat kita? Jangan sampai kita membaca sholat hanya was-wes-wos, asal baca namun tidak tahu artinya. Bagaimana sholat bisa mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar, jika kita tidak tahu artinya?
Itu tadi baru contoh kecil, bagaimana kita benar-benar membutuhkan ilmu agama dalam setiap tarikan napas kita. Karena setiap tujuan pasti membutuhkan jalan. Jalan untuk menjadi ahli komputer dengan belajar komputer. Jalan untuk menjadi dokter, tentu dengan belajar ilmu kedokteran. Jalan untuk masuk surga tentu saja dengan belajar agama.

Kita Pasti Akan Mati
Kalau kita hidup selamanya di dunia, kita bisa saja hanya belajar ilmu dunia. Tapi itu mustahil, karena setiap manusia pasti akan mati. Sehingga, hanya bercita-cita menjadi dokter, insinyur, atau yang lainnya tentu bukanlah pilihan yang bijak. Berusahalah untuk selalu bersungguh-sungguh dalam belajar, baik dalam belajar ilmu dunia, maupun ilmu akhirat. Apabila engkau merasa bosan dalam belajar, maka ingatlah kembali  tujuanmu dalam belajar, ”Apa cita-cita kita di dunia dan di  akhirat ?”
Semoga Allah  memudahkan kita untuk mencapai cita-cita kita.
“Bersungguh-sungguhlah mengupayakan apa-apa yang bermanfaat untukmu, memohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu merasa lemah” [ H.R. Muslim dari shahabat Abu Hurairah ]
Wallahu a’lam bish shawab. (Ristyandani)
Bookmark and Share

Leave a Reply





tulis gambar diatas
 
  منهج السلف في الدعوة إلى الله
  منهج السلف في النقد والتحذير
  حكم الانتماء إلى الجماعات
  مفاهيم خاطئة حول العلماء
  مشكلة القدح في العلماء
  التحذير من بعض رموز الفرقة
أكثر من 200 مادة صوتية لأصحاب الفضيلة:
سماحة الشيخ الإمام عبد العزيز بن باز - رحمه الله تعالى
محدث العصر الإمام محمد بن ناصر الدين الألباني - رحمه الله تعالى
فقيه الزمان الشيخ الإمام محمد بن صالح العثيمـين - رحمه الله تعالى
سماحة المفتي الشيخ عبد العزيز بن عبد الله آل الشيخ - حفظه الله تعالى
فضيلة الشيخ العلامة صـالـح بـن فوزان الفـوزان - حفظه الله تعالى
علامة اليمن المحدث الشيخ مقبل بن هادي الوادعي - رحمه الله تعالى
فضيلة الشيخ العلامة عبد المحسن بن حمد العباد - حفظه الله تعالى
معالي الشيخ العلامة صالح بن محمد اللحيدان - حفظه الله تعالى
فضيلة الشيخ العلامة عبد الله الغديان - حفظه الله تعالى
فضيلة الشيخ العلامة صالح الأطرم - حفظه الله تعالى
فضيلة الشيخ العلامة عبد العزيز الراجحي - حفظه الله تعالى
معالي الشيخ صالـح بن عبد العزيز آل الشيخ - حفظه الله تعالى
فضيلة الشيخ عبد المحسن بن نـاصـر آل عبيكان - حفظه الله تعالى

لتشغيل صوتيات الموقع تحتاج إلى هذين البرنامجين
 
أنت الزائر رقم:
Hit Counter
منذ 12 شوال 1426
 
Copyright © 2005   anti-erhab.com

Pengikut

Arsip Blog