Sabtu, 31 Desember 2011

AUDIO Panduan Akhlaq Penuntut Ilmu Ust Abu Qotadah, Masjid Ponpes Al Ukhuwah Sukoharjo


 Dari Yahya bin Ya’mar, rahimahullah dia berkata:
Dahulu, yang pertama kali mempersoalkan masalah takdir di Bashrah adalah Ma’bad al-Juhani. Maka suatu ketika, aku beserta Humaid bin Abdurrahman al-Himyari memutuskan untuk bersama-sama berangkat menunaikan haji atau umrah, kami berkata, “Seandainya kita bisa dipertemukan dengan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kita tanyakan kepadanya mengenai apa yang dilontarkan oleh orang-orang itu seputar masalah takdir.”
 Maka kamipun bisa bertemu dengan Abdullah bin Umar bin al-Khaththab tatkala masuk ke dalam masjid. Kemudian aku dan temanku memeluknya. Seorang dari kami memeluk dari sebelah kanan, sementara yang lain dari sebelah kiri. Aku pun mengira bahwa temanku akan menyuruh diriku untuk berbicara. Maka aku pun berkata, “Wahai Abu Abdirrahman -panggilan Ibnu Umar-, sesungguhnya telah muncul di tempat kami orang-orang yang suka membaca/menghafal al-Qur’an dan gemar mengumpulkan ilmu -lalu dia menceritakan keadaan mereka- akan tetapi mereka mengklaim bahwa takdir itu tidak ada, dan semua urusan itu terjadi begitu saja/tidak ditakdirkan sebelumnya.”

Maka dia -Ibnu Umar- radhiyallahu anhuma berkata, “Apabila kamu bertemu dengan mereka, sampaikan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka juga berlepas diri dariku. Demi tuhan yang dengannya Abdullah bin Umar bersumpah, seandainya salah seorang di antara mereka mempunyai emas sebesar gunung Uhud lalu dia infakkan niscaya Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman terhadap takdir.”
Lalu dia -Ibnu Umar radhiyallahu anhuma- berkata:
Ayahku Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu menuturkan kepadaku, dia berkata:
Pada suatu hari, ketika kami sedang duduk-duduk bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul seseorang dengan pakaian yang sangat putih dan memiliki rambut yang sangat hitam. Tidak tampak padanya bekas menempuh perjalanan. Namun, tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenali identitasnya. Sampai akhirnya dia duduk di depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian meletakkan kedua lututnya di depan lutut beliau dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya………(HR. Muslim no. 8, lihat Syarh Muslim [2/5-17])
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Apabila engkau menghadiri majlis ilmu, maka janganlah kehadiranmu melainkan untuk menambah ilmu dan pahala, bukannya hadir dengan kesombongan, mencari kesalahan untuk engkau sebarkan atau sesuatu yang ganjil untuk engkau beberkan. Karena ini adalah perbuatan orang-orang yang rendah dan tidak akan beruntung dalam ilmu selama-selamanya”. (Al-Akhlak was Sair fi Mudaawaatin Nafus halaman 92)
Tujuan hadir di majelis ilmu, bukan hanya terbatas pada faidah keilmuan semata. Ada hal lain yang juga harus mendapat perhatian serius. Yaitu melihat dan mencontoh akhlak guru. Demikianlah para ulama terdahulu. Mereka menghadiri majelis ilmu, juga untuk mendapatkan akhlak dan budi pekerti seorang ‘alim. Untuk dapat mendorong mereka berbuat baik dan berakhlak mulia. Diceritakan oleh sebagian ulama, bahwa majelis Imam Ahmad dihadiri lima ribu orang. Dikatakan hanya lima ratus orang yang menulis, dan sisanya mengambil faidah dari tingkah laku, budi pekerti dan adab beliau. Abu Bakar Al Muthaawi’i berkata,“Saya menghadiri majelis Abu Abdillah – beliau sedang mengimla’ musnad kepada anak-anaknya- duabelas tahun. Dan saya tidak menulis, akan tetapi saya hanya melihat kepada adab dan akhlaknya”(Siyar A’lam Nubala 11/316)
Selengkapnya simak dalam kajian berikut semoga bermanfaat
 

Leave a Reply

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Arsip Blog